Oleh Doddi Ahmad Fauji
Industri jurnalistik kini memasuki era ‘loper online’, yaitu ‘copy paste’ dari berita web/portal induk, oleh anak-anak atau kaki tangan berbasis kedaerahah. Apa di kata, misalnya sampang.pikiranrakyat.com (bukan nama sebenarnya), malah asyik meneruskan berita dari Lampung, padahal Sampang itu adanya di Madura. Sementara peristiwa di Sampang, tak ter-kemot oleh kaki tangan pikiranrakyat di Sampang. Pabaliut seperti ini, kini sedang marak, atas nama oligarki industri pers.
Disebut oligarki, karena bila dihitung dengan jari, jumlah web/portal berita yang jumlahnya mencapai puluhan ribu, sebenarnya yang benar-benar kuat secara modal, tak lebih dari 10-an, yang setengah kuat, diperkirakan 30-an perusahaan.
Apakah era oligarki perusahaan pers yang melahirkan jurnalisme mulung muntah alias copy paste saja, itu bagus? Ada sisi bagusnya, tentu ada sisi kurangnya. Bagus dan kurang, bisa direnungkan masing-masing.
Kompas punya strategi sendiri, sebagai perusahaan pers yang merambah ke industri perhotelan, perkebunan, dan lain-lain. Tempo juga punya strategi, pun CT yang membangun TV, kini masuk ke lini web dengan menggandeng CNN dan CNBC, juga tak kalah gertak. Grup Tribune hadir dengan strategi progresif, namun grup Jawa Pos, di era internet ini, masuk ke wilayah web tampak kurang ‘greng’, dan masih betah dengan koran-koran Radar yang menjadi satelit di banyak tempat.
Akan seperti apa industri pers nanti, ketika ruh wartawan/jurnalis matisuri, sebagaimana kini, sastrawan atau penyair juga mulai matisuri, dan para pakar kini bisa disebut juga mati, sebab saat ini, siapapun bisa menjadi jurnalis, bahkan jurnalis fesbuk lebih anteb dari web, penyair fesbuk lebih progresif, pun pakar dadakan, hadir bagai jamur di musim penghujan. Kebetulan saat celotehan ini ditulis, di Bandung sedang hujan deras!
Doddi Ahmad Fauji, Dewan Redaksi PortalNusa.id dan Jurdik.id
Discussion about this post