Cerpen Wawan AD
Hidup dalam lilitan serba kekurangan secara materi, tak membuat Akbar menjadi mundur dalam mengejar cita-cita. Hanya satu yang terus ingin ia perjuangkan. Waktu, tenaga pikirannya ia curahkan demi menjemput asa. Cita-cita yang terus bergelayut menghantui dalam angannya. Mengabdi di desa tercinta, dengan menjadi guru di sebuah kampung terpencil yang terletak di pinggiran kota kecamatan.
Terdorong oleh situasi itulah, ia terus mewujudkan segala asa dan mimpi, yang terus merasuk dalam setiap hela napasnya. Betapa keinginan untuk merubah kondisi daerahnya yang tertinggal dari daerah lain begitu kuat. Ia ingin mengubah pola pikir warga kampungnya untuk sadar akan pendidikan. Satu pesan yang pernah disampaikan oleh salah satu gurunya ketika Akbar duduk di bangku SMA dulu, “Dengan pendidikan akan mengubah segalanya.” Kata-kata itulah, yang terus terngiang ditelinganya.
Semangat bajanya terus saja menggelora, memompa dalam jiwa pemuda yang satu ini. Tak patah semangat dalam mengejar untuk mewujudkan mimpinya sekali pun hambatan selalu datang merintangi. Tentu restu ibu yang meneguhkan dan meyakinkan Akbar untuk terus berusaha tanpa pantang menyerah.
Segala harapannya diwujudkan menempuh berbagai level pendidikan dengan segudang prestasi.
Keterbatasan dan kekurangan ekonomi yang ia alami, bukanlah hambatan yang bisa menghentikan mimpinya, dan itu semua ia jadikan cambuk untuk dapat membuktikan bahwa ia mampu berprestasi, mampu bersaing dengan mereka yang lain.
Dalam usia lima tahun Akbar kecil sudah ditinggalkan ayahnya. Usia yang tentu masih belia dan membutuhkan sosok ayah. Semua peran itu, kini digantikan sang ibu. Sejak ditinggalkan ayahnya, ibunyalah yang bekerja siang malam, demi untuk menutupi segala macam kebutuhan hidup sehari-hari yang kian membengkak.
Pekerjaan yang tak pernah ia pilih, mulai dari mencuci pakaian tetangga, menyetrika, menjadi pembantu rumah, hingga menjaga anak tetangga yang membutuhkan bantuannya. Semua itu terus ia jalani tanpa mengeluh. Ada banyak tawaran dari keluarga ayahnya Akbar, yang terus saja datang meminta untuk tinggal di tempatnya. Namun, prinsip ibunya yang tidak ingin merepotkan orang lain. Apa pun akan ibunya lakukan selagi masih bisa diatasi sendiri.
Kondisi ini tidak membuat Akbar kecil menjadi cengeng, ia tumbuh dalam kondisi yang serba sederhana, menjadikannya mengerti akan arti hidup, pahit manisnya kehidupan sudah ia rasakan. Bukan suatu hal aneh dan mampu mengusiknya, ketika ia dihadapkan pada persoalan romantika kehidupan. Semua ini, ia jalani dengan penuh semangat dan rasa syukur.
Kehilangan ayah tentu tidak diharapkan Akbar waktu itu, tapi apa hendak dikata guratan takdir tak bisa ia tolak, dan dihindari. Tuhan punya skenario lain, dibalik sebuan nestapa, akan ada cerita yang sangat indah setelahnya. Terasa pahit memang waktu itu, tapi berusaha untuk tetap yakin akan banyak terkandung hikmah di dalam peristiwa tersebut.
Masa kanak-kanak hingga remaja dihabiskan bersama ibunya. Tumbuh dan berkembang seperti kebanyakan anak pada lainnya di desa. Seperti kebanyakan anak kampung, permainan yang dekat dengan mereka seperti, main petak umpet, main layangan juga berbagai macam permainan anak-anak pada masanya, Akbar lakukan bersama teman-teman sebayanya.
Belum juga hilang rasa sakit akibat kehilangan ayah, Akbar harus merelakan ibunya di panggil sang pencipta. Keadaan ini bagai luka yang membuatnya terburuk. Hatinya sakit, semakin merasa tercabik-cabik, mengingat kedua sosok yang tentu sangat ia rindukan berkumpul bersama, dan kini telah tiada, hanya meninggalkan kenangan.
Munirah semenjak ditinggal suami, kondisi badannya semakin menurun rapuh. Sekian lama ia menderita sakit. sekali pun usaha sudah dilakukan maksimal dengan membawanya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bayu Asih, tapi apa hendak dikata. Tepat pukul 13.00 WIB, hari Ahad tanggal 12 Januari 1990, Munirah menghembuskan napas terakhirnya dipangkuan anak tercinta, Akbar Mualana dan dikelilingi keluarga besarnya.
Alam pun ikut bersedih seolah merasakan duka mendalam atas kehilangan Munirah, wanita tangguh, pekerja keras, jujur, tabah, penuh tanggung jawab merawat dan membesarkan buah hatinya seorang diri. Gumpalan awan hitam yang bergelayut mulai menetes dari langit, hujan turun dengan lebat, seolah mengiringi kepergian ibunda tercinta.
Sejak ditinggal ibu, Akbar hidup sebatang kara. Tanpa saudara kandung, tidak punya kakak juga adik. Membuat ia merasa sakit dengan keadaan seperti ini. Sebenarnya sudah sejak lama penawaran datang dari saudara-saudara ayahnya, nakan tetapi, Akbar selalu saja menolak halus, karena ingin tetap tinggal bersama ibu. Dulu, ia berpikir, apabila dia ikut paman, nanti ibu akan tinggal seorang diri.
Untuk kesekian kali pamannya datang kembali, membujuk agar Akbar mau tinggal bersamanya.
“Bar ….” Pamannya membuka obrolan. “Ayahmu sudah lama tiada, tiga hari lalu ibumu menyusul, paman yakin Akbar masih berkabung, masih sakit. Niat paman datang kesini, mau mengajak Akbar, untuk tinggal bersama paman.”
Tak sepatah kata keluar dari bibirnya. Hanya tetesan air mata seolah menjawab pertanyaan. Suasana hening menyelimuti keadaan mereka. Keduanya terdiam, membisu.
Andreas pamannya terus saja meyakinkan, hingga akhirnya Akbar pun bisa luluh ikut tinggal bersamanya. Andreas adalah adik dari ayahnya Akbar yang sekarang bertugas di kesatuan TNI di kota kecil itu. Kehadiran Akbar di rumah di sambut suka cita oleh anak dan isterinya. Kebetulan Andreas dan isterinya sangat mengingin-kan anak laki-laki, sementara kedua anaknya perempuan. Maka kehadiran Akbar di rumahnya itu menambah kebahagiaan ter-sendiri bagi mereka. Setelah sekian lama merindukan kehadiran anak laki-laki di tengah kehangatan keluarga mereka. Sekarang telah hadir, meski ia bukan anak kandung mereka sendiri, tapi tak mengurangi kebahagiaan itu.
Hidup di lingkungan, yang penuh dengan kedisiplinan yang ketat bersama keluarga pamannya. Bagi Akbar sesuatu hal yang biasa karena sudah sejak kecil, hal itu juga ditanamkan oleh mendiang ibunya. Setelah sekian lama tinggal bersama keluarga pamannya, ia sudah mulai menikmatinya.
Dalam satu kesempatan obrolan ringan terjadi sambil makan malam, Tante Neni membuka obrolan,
“Gimana tinggal dengan tante dan paman, Bar?” Akbar tidak menjawab, hanya tersenyum, tanda tak ada masalah yang meng-ganjal dalam benaknya.
Kemudian Intan dan Ajeng, menyambung pertanyaan yang sama “Ya kak Akbar, gimana tinggal disini?”
Akbar masih saja bungkam. Hanya senyuman yang keluar dari bibirnya.
“Oh iya, sekarang kan waktu pendaftaran masuk ke SMA, kamu mau masuk SMA mana?” Andreas menanyakan perihal niat melanjutkan sekolahnya. Akbar terdiam sejenak, menghabiskan nasi yang sedang dikunyahnya. Lalu mencoba menjawab per-tanyaan pamannya
“Iya, saya mau melanjutkan sekolah,” jawabnya.
“Ya, bagus harus itu. Jangan sampai putus sekolah,” tante Neni menambahkan.
“Terus bagimana dengan persyaratannya?” tanya Andreas.
“Ya, Paman. Akbar belum mengambil Ijazahnya. Ijazah Akbar masih disekolah,” Jawab Akbar.
“Loh kenapa emang?”
“Anu, Paman. Akbar belum bayar uang ujiannya.”
“Oh, gampang. Nanti paman bayarkan.”
Hidup dibawah bimbingan pamannya seorang anggota TNI, ketat penuh disiplin, membuat Akbar semakin tumbuh menjadi pemuda tegar, setegar batu karang dalam menghadapi terjangan ombak lautan. Kuat, kokoh, tabah, apa pun keadaannya.
Prestasi semasa SMP dulu menjadikan modal awal masuk SMA favorit di tempat tinggal sekarang, maka tak heran sekali pun, ia tinggal dan sekolah di SMP Desa dulu, tapi tetap bisa bersaing soal prestasi dengan mereka yang sekolah di kota. Kecerdasan Akbar menjadikan paman semakin bangga atas pencapaian prestasinya itu. Tinggal bersama keluarga pamannya, Akbar bisa memposisikan diri untuk tak banyak tingkah, sehingga paman dan tantenya semakin sayang padanya, dan selalu memotivasi setiap rencana serta keinginannya.
Tak terasa masa SMA tiga tahun sudah terlewati dengan baik. Tak jauh dengan waktu di SMP dulu. Di SMA pun berbagai macam prestasi diraihnya, tentu itu bukan cuma-cuma, melainkan hasil dari segala macam jerih perjuangan dalam meraihnya. Berkat keuletan dan kesungguhan dalam belajar. Ditambah lagi ia aktif di organsasi sekolah. Kegiatan itu yang menjadikannya semakin luwes dalam berinteraksi dengan berbagai kalangan, hingga kemudian bisa meraih juara umum di sekolahnya, hal itu tidak lain karena disiplin yang ditanamkan sejak kecil dari mendiang ibu juga tempaan ditempat baru bersama pamannya.
Tekad dan cita-cita yang lama yang ia idamkan menjadi guru masih saja menyala bahkan semakin berkobar dalam dirinya. Itu semua akan dijadikan kado istimewa bagi ayah dan ibunya di alam sana. Maka selepas Sekolah Menengah Atas, Akbar mencoba ikut test Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri di Ibu Kota, dengan mengambil salah satu Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, salah satu mata pelajaran yang menjadi Favoritnya.
Pengumunan hasil Ujian Masuk Perguruan Tinggi pun menjadi hari spesial yang ditunggu-tunggu olehnya. Hari yang ditunggu itu akhirnya tiba, surat kabar Nasional harian KOMPAS memuat pengumuman hasil test yang diikuti banyak siswa di seluruh penjuru. Ternyata nama Akbar Maulana tercantum di urutan ke 10 di antara Mahasiswa yang lulus seleksi. Akbar bersyukur, mimpi yang pernah ia ukir, kelak bisa diwujudkan.
Masuk universitas yang menjadi impiannya sejak kecil kini jadi kenyataan, kesempatan ini tentu tidak di sia-siakan olehnya, belajar dengan tekun, dengan tidak ada waktu yang terbuang percuma. Beres kuliah, ia disibukan dengan aktifitas lain, baik di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau pun di kegiatan sosial ke-masyarakatan.
Akbar sejauh ini masih efektif dalam mengatur waktu dengan segudang aktifitas yang dijalankan dalam kesehariannya. Selain dua aktifitas tadi, Akbar bekerja paruh waktu guna memenuhi kebutuhan hidup selama berada di lingkungan kampus. Ke-mandiriannya, membuat ia tidak terlalu bergantung pada kiriman dari paman dan tantenya, tapi ia bekerja serabutan yang dijadikan untuk bekal memenuhi segala macam kebutuhannya, mulai dari menerima les mengaji, privat mata pelajaran bagi anak-anak SMP dan SMA hingga menjadi guru di Sekolah Dasar Tunas Bangsa.
Kini ilmu pengetahuannya semakin bertambah, pergaulannya semakin luas dengan berbagai kalangan berkat aktif di organisasi kampus. Dengan bekal ilmu yang didapatkan juga pengalaman, Akbar semakin mantap penuh keyakinan dalam menatap masa depan dengan penuh rasa percaya diri.
Masa-masa kuliah kini tinggal kenangan, 5 tahun telah berlalu dijalani penuh asa. Ilmu yang di dapat dari kampus menjadi bekal untuk kehidupan selanjutnya. Akbar pulang ke kampung halaman, untuk menjalankan segala macam yang selama ini ia programkan, membangun daerahnya melalui pendidikan.
Mengarungi luasnya samudera kehidupan tak bertepi dan menyusuri liku-liku pengabdian tentu tidak semudah membalikan kedua telapak tangan. Semua ada dengan resikonya masing-masing. Segala macam hambatan, rintangan, bahkan tentangan dari masyarakat setempat, atas segala niat baik melalui program yang ia jalankan, mampu ia hadapi dengan sabar, tawakal dan santai, karena harapannya suatu hari nanti perubahan itu akan terjadi.
Seiring berjalannya waktu, dengan penuh sabar lambat laun, perubahan itu sedikit demi sedikit menampakkan hasilnya. Di mana kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya mulai tumbuh, tidak hanya sampai pada tingkat sekola menengah pertama saja, bahkan ada yang sampai masuk Universitas. Sambil menghela napas panjang, alhamdulillah tanda syukur yang tak terhingga, terucap lirih dari bibirnya, penuh kenang atas semua perjuangannya.
Kampung yang dulu kumuh tertinggal kini sudah berubah total semenjak kembalinya Akbar studi dari Universitas di Ibu Kota. Pola pikir masyarakat sudah mulai berubah pula. Bahkan pembangunan kampung mengalami perubahan yang sangat drastis.
Akses jalan sudah bagus beraspal, di mana yang sebelumnya jalan menuju kampung Cisoka begitu menantang maut. Listrik kini juga sudah mulai menyala menerangi kampung. Kemudian sarana pendidikan dari mulai Taman kanak-kanak, Madrasah Diniyah, Sekolah Dasar Binangkit, Sekolah Menengah Pertama Cerahnya Mentari, dan Sekolah Menengah Atas Langlangbuana. Lalu sarana peribadatan Masjid Jamie Al-Firdaus, Majlis Ta’lim semuanya Akbar konsep dan bangun bersama masyarakat secara gotong royong.
Kini masyarakat bisa menikmati kemudahan fasilitas itu semua, tentu berkat dari jerih payah Akbar. Masyarakat yang asalnya menentang dengan program-program yang akan di-jalankan oleh Akbar, melihat bukti dari semua realisasi ikhtiar dan doa, akhirnya semua kini terbukti. Bagi Akbar hal-hal demikian dianggap angin lalu.
“Aku persembahkan kado istimewa ini untuk ayah dan ibuku juga untuk desaku,” pungkasnya, penuh bahagia.
***
WAWAN HERMAWAN demikian nama yang diberikan orang tua, dilahirkan di Purwakarta, mengawali pendidikan formal di SDN V Kembang-kuning (SDN 2 Cibinong Jatiluhur) lalu pindah ke SDN 1 Tajursindang, SMPN 2 Sukatani, SMAN 1 Sukatani, sedangkan S1 diselesaikan di UIN SGD Bandung dan UT UPBJJ Bandung. Kini mengabdi-kan diri di SDN-SMPN Satu Atap Terpadu Cibinong, kumpulan cerpen ini merupakan hasil dari corat-coret selama mengisi waktu senggang dari kegiatan mengajar. Bisa silaturahmi dengan penulis di: No. Hand phone 0819-0946-5534 atau di alamat email: Wawanhermawan0683@gmail.com
Discussion about this post