Pada 26 Juli 1922, penyair Chairil Anwar lahir, berarti di tahun 2022 ini, si Binatang Jalang itu berusia Satu Abad.
Oleh Doddi Ahmad Fauji
SEBERAPA penting penyair hadir bagi sebuah bangsa?
“Siapa dia yang teriak-teriak itu?” tanya Caesar kepada para punggawanya, saat mereka berjalan di alun-alun hendak menemui kerumunan masa.
“Dia penyair, Caesar!”
“Negara tidak butuh puisi. Gantung penyair!” Kata Caesar.
Penggalan dialog di atas, terdapat dalam naskah Julius Caesar gubahan William Shakespeare. Naskah tragedi bermuatan politik ini pernah dipentaskan oleh Studiklub Teater Bandung dari terjemahan Asrul Sani, dengan sutradara Suyatna Anirun, pada 1997 di lima Kota Pulau Jawa, tentu salah satunya di Kota Bandung. Pada 1997 juga, Julius Caesar versi terjemahan Ikranagara, dipentaskan oleh Teater Lembaga IKJ di Jakarta, dengan judul dirombak Brutus Vs Caesar.
Lakon Julius Caesar berkisah tentang siapa pahlawan dan siapa penghianat, ketika Julius rubuh ditikam pedang Kaska yang bengis, dan pastinya yang paling menyakitkan, adalah tusukan terakhir dari pedang Brutus sebagai anak asuhnya. “E tu Brutus?” (kamu juga Brutus), kata Julius, sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir.
Lakon Julius Caesar dipentaskan STB dan Teater Lembaga, seakan memprediksi bakal terjungkalnya Pak Harto setahun kemudian, 21 Mei 1998. Setelah 14 menteri-nya secara serempak mundur dari Kabinet, dan Ketua MPR/DPR Harmoko yang sebelumnya getol mengkampanyekan Pak Harto untuk kembali jadi Presiden, namun tiba-tiba di gedung MPR/DPR Senayan dengan disiarkan TV, Harmoko mengatakan sebaiknya Pak Harto mengundurkan diri jabatan Presiden RI untuk Periode ke-7.
Pak Harto pun lengser ke prabon, tapi tak sampai menemui ajal sesakit yang dialami Julius. Namun, sebelum Pak Harto turun tahta, seorang penyair jalanan yang paling garang dalam mengeritik penguasa dan kekuasaan, yaitu Wiji Thukul, hilang dari peredaran hingga sekarang. Berdasar kabar yang tak terusut, Wiji Thukul diculik aparat.
Berikut petikan larik-larik garang yang menukik dari Wiji itu: Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!
Lenyapnya Wiji di era akhir Orde Baru itu, terasa similar dengan penyataan Julius kepada punggawanya: Negara tak butuh puisi. Gantung penyair!
Puisi memang hanyalah benda ‘intangible’ yang tak akan bisa membangun atau merobohkan gedung-gedung, tak bisa mengenyangkan perut lapar, juga tak dapat membungkam suara-suara miring yang mengganggu kuping. Namun puisi yang berhasil menyelami lubuk kata, bisa menjadi inspirasi dan menyalakan ruh, lalu menerangi kegelapan sanubari, dan akhirnya menggerakan manusia. Keyakinan ini berangkat dari diktum bahwa pusi adalah bahasa, dan dengan larik ‘kun fayakun’ (Jadi maka jadilah), Allah mencipta ini mayapada.
Penyair Subagio Sastrowardoyo menulis puisi dengan juluk Kata: Asal mula adalah kata/Jagat tersusun dari kata/Di balik itu hanya/ruang kosong dan angin pagi.”
Banyak penyair di Indonesia, tapi kenapa banyak yang memilih Chairil Anwar sebagai salah satu ikon kepenyairan di Indonesia? Kenapa misalnya, tidak memilih Subagio? Banyak sebabnya, antara lain karena penahbisan oleh kritikus sastra HB Jassin.
Di luar penahbisan, bila kita amati secara sungguh dan jujur, puisi Chairil yang ditulis pada dekade 1940-an, memiliki artikulasi yang kuat dalam mengkomunikasikan gagasan melalui bahasa, yang terasa lebih segar di banding penyair pendahulunya, dan jauh lebih ‘lingas’ dibanding bertumpuk puisi yang di-kotret pada era majalah dinding pribadi internet (madingpret = facebook).
Dulu Chairil menggeram: Yang bukan penyair, dilarang ambil bagian. Geraman itu tak ujug-ujug digonggongkan, tapi karena berjubalnya puisi yang menurut Chairil, tidak mengandung ruh ‘zeit geitz’ (semangat jaman).
Di era madingpret, bahkan bukan saja siapapun boleh menulis puisi, tapi siapapun bisa menyebut dirinya penyair, atau disebut penyair oleh temannya, atau terabsen sebagai penyair oleh tim marketing pemangku estetika puisi yang disebut kurator. Tapi bila jeli kita periksa, terlalu banyak puisi sekarang ini yang ‘kalah awu’ oleh kebengalan puisi Chairil. Meski Chairil ‘menang awu’, justru ia yang terpental, ‘yang terempas dan yang putus’.
Untuk mencari jawab pertanyaan ‘seberapa penting penyair bagi sebuah bangsa’, ingatan saya pun berkelana ke galur-galur yang pernah di-cukcruk, pada obrolan-obrolan santey namun serius di sebuah apartemen nun di Kota Moscwa yang jauh, di mana perang Rusia-Ukraina 2022, genderangya di tabuh di kota ini.
Di Kota yang dikelilingin kanal sepanjang 72 KM itu, agar banjir tak mendera, terdapat penguasa yang bertahta di Lapangan Merah atau Kremlin. Para Presiden Rusia berkantor di sini, dan genderang perang ditabuh oleh Putin dari situ. Ada patung yang berbanjar untuk menghormati orang-orang penting di Rusia. Tetengger ketiga terjauh dari Kremlin, didirikan untuk mengenang Bapak politik orang Rusia, yaitu Ihya Ulyanov Lenin. Tetengger terjauh kedua adalah patung Yuri Gagarin, astronot yang menjadi kebanggaan Rusia, dan tetengger terdekat dari Kremlin ternyata patung Alexander Pushkin.
Pushkin adalah penyair Rusia yang disanjung-sanjung dan menjadi ikon sebuah bangsa. Penghargaan atasnya, dengan dibuatkan patung terdekat dari Kremlin, dan pada sastrawan Dostoyevsky menulis: “Pushkin adalah salah satu penyair dunia yang memiliki kemampuan lebih untuk berubah sepenuhnya. Ia dapat menjadi warga dunia tanpa sedikit pun meninggalkan identitasnya.” Begitulah sepenggal bunyi naskah pidato fenomenal Dostoyevsky. Diterbitkan pada 1 Agustus 1880 dengan judul Buku Harian Penulis. Penerbitan naskah pidato terjadi beberapa bulan sebelum kematiannya (Iwan Jaconiah, mediaindonesia.com/sajak-kofe).
Selain dibuatkan patung tetengger, hal-hal yang terkait dengan Pushkin pun dibuatkan museumnya hingga berdiri di lima lokasi. Itulah salah satu cara bangsa besar dalam capaian peradaban, meski kadang pepimpin politik Rusia tampak garang dan barbar, dalam menghargai salah satu inspirator bangsanya. Penyair adalah inspirator lewat kata, bahkan Tuhan mencipta buana juga dengan kata.
Dari patung Pushkin, ingatan saya menjalar ke sepetak tanah di mulut Jl. Veteran II, yang tak jauh dari Istana Negara, di Jakarta. Pada sepetak tanah itu terdapat plank kecil warna hitam, dengan tulisan putih: Taman Chairil Anwar.
Kecil amat itu taman, bahkan untuk anak Paud bermain bola, dan ini jadi cerminan sikap pemimpin bangsa besar, dalam menempatkan Chairil yang membuatnya terasa terpental. ***
Discussion about this post