Oleh Doddi Ahmad Fauji
Kepada Soeria Disastra
Hampir saja saya dideportasi, tapi langit membukakan pintunya, dan meneruskan ratapanku kepada Yang Maha Mendengar. Aku berprasangka baik, Tuhan berkenan menolongku di detik-detik terakhir!
DI sebuah ruangan, diajak memasukinya oleh security. Ternyata di dinding sebrang juga ada pintu. Security membuka pintu di seberang. Begitu terbuka, saya langsung terperanjat dan takut, karena ‘ujug-ujug norojol’ anjing besar mau menerkam saya. Saya sempat berteriak sambil mundur!
Pawang anjing langsung menarik rante, dan menyebut nama, tentunya nama si anjing.
“Jangan takut. Dia tidak galak, tapi kamu harus diam!” kata security Australia itu, dengan Bahasa Indonesia terbata-bata.
Di ruangan serba putih ini, jadi ada empat mahluk: saya, security, anjing, dan pawangnya.
Anjing jenis herder warna hitam, tubuhnya sebesar domba adu. Saat berdiri, mulutnya bisa menjangkau wajah saya. Dia mengendus dari ujung rambut turun ke bawah, dan berhenti di sekitar pinggang saya, kemudian meronta-ronta.
Pawang menarik anjing, sedang security segera memeriksa saku pada jaket yang masih saya kenakan. Australia di Bulan September, dingin banget gaes. Ia mendapatkan obat saset dari saku jaket saya, mengamatinya, dan tampak berusaha membaca tulisan kecil-kecil yang tertera pada bungkus obat. Anjing melanjutkan endusannya, namun mengeluarkan reaksi meronta-ronta lagi. Anjing itupun dibawa kembali oleh si pawang.
Alhamdulillah ya Allah, selamat, tak diterkam anjing.
“Ini obat keras apa?” tanya security dengan Bahasa Indonesia terbata-bata.
Sepertinya ia kursus Bahasa Indonesia baru level middle. Selain ucapannya yang masih terbata-bata, jangan-jangan ia pun belum fasih membaca tulisan Bahasa Indonesia, hingga harus bertanya, ‘ini obat keras apa?’ Tapi itu sudah sangat-sangat bagus, dibandingkan dengan saya yang terbata-bata bicara Inggris, dan tak bisa dipahami oleh front counter Imigrasi Australia, hingga si security yang terbata-bata itu, didatangkan untuk mengintrogasi saya.
“Ini Antimo,” jawab saya.
“Terangkang lebih jauh,” katanya.
“Ini obat supaya tidak mabuk saat naik kendaraan, termasuk naik pesawat,” saya menerangkan dengan diperagakan, seperti apa orang mabuk lalu muntah.
Dia tampaknya paham. Namun dia berucap, “Obat ini saya tahan!”
Saya menggangguk.
Saya bisa menjelaskan kenapa membawa antimo ke dalam pesawat terbang pada bulan September tahun 1995 itu. Berkali-kali antimo saya tenggak sebelum berangkat ke Australia, agar bisa tidur dengan lelap. Sepertinya saya stres karena sempat gagal berangkat ke Australia, hingga sulit tidur.
Sekira pukul 23.00, saya menyelinap keluar dari rumah saudara di Kampung Melayu, Jakarta Timur, lalu pergi ke terminal Kampung Melayu, dan mencari toko atau pedagang apapun yang sekiranya masih buka. Saya mendapatkan antimo dari sebuah kios. Kembali ke rumah, saya tenggak dua butir antimo. Tak lama kemudian, saya tak ingat apa-apa.
Saya kira perkara antimo sudah selesai. Rupanya saya masih menjalani wawancara dengan sederet pertanyaan. Tujuan apa Anda datang ke Australia? Pertanyaan ini mudah dijelaskan. Di mana Anda akan menginap? Pertanyaan ini juga bisa saya jelaskan.
Saya menjelaskan keberangkatan ke Kota Perth untuk singgah saja, dan akan melanjutkan ke kota Melbourne untuk mengikuti festival teater kampus di Wolongong University. Di Perth, saya akan singgah di rumah Bambang Purwoko, yang menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA). Tentang legalitas ikut festival teater mahasiswa di Australia ini, saya perlihatkan surat rekomendasi dari PR III IKIP Bandung, kala itu dijabat Drs. Karna Yudibrata, serta dari Direktur Kesenian, Ditjen Kebudayaan, P&K, yang kala itu dijabat penyair Saini KM.
Ada pertanyaan yang sangat menyebalkan. Berapa dollar Anda punya uang? Saya jawab melantur, dan mengatakan jumlah yang banyak. Sebenarnya saya dan Yoyo Yogasmana, teman yang menjadi rombongan kami, hanya memiliki USD200. Untung saja uang itu tidak diperiksa, atau apalagi dirampas. Kiamat kecil jika itu terjadi.
Akhirnya kami bisa keluar dari Bandara PER di Kota Perth itu.
Namun, bisa keluar dari Bandara, tidak dideportasi, bukan berarti persoalan begitu saja tuntas. Justru ada masalah yang hingga kini cukup terganggu, yaitu perkara retaknya karib pertemanan.
Bandara PER sudah sepi ketika aku dan Yoyo mendorong troly barang dari lobby, dan segera menggeluyur keluar pintu. Nyaris tidak terlihat orang, kecuali beberapa Ausy, yang ketika kami coba bertanya, dengan dibantu gerak tangan pula, mereka tidak mengerti. Saya sadar, harus terus-menerus belajar Bahasa jendela dunia itu. Sebelum berangkat, kami sudah belajar memperkaya diksi, dengan bermain scrable. Tapi tentu tak cukup, apalagi hanya dadakan.
Kini saya bisa berseluncur tentang nama bandara internasional di Kota Perth itu, dan ternyata memiliki sekian sebutan, yaitu IATA: PER, ICAO: YPPH, adalah bandara internasional di sebelah selatan Guildford, Australia Barat.
Planga-plongo di bandara yang sudah sepi, akankah sampai ke tempat tujuan?
(Bersambung)
Discussion about this post