Oleh Doddi Ahmad Fauji
Sebuah foto dikirim anggota grup WA Sunda Panceg, dan di bawah foto, ada komentar dalam bahasa Sunda, bunyinya seperti ini: Ti mimiti Presiden, Gubernur, Bupati parat nepi ka Kepala Desa ku foto kieu kudu na mah ngageter jiwa ragana,,, geuningan nu ngarti kana protes teh lain ukur kolot atawa jalma dewasa, cacakan budak sampurna pisan dina cara protes na…
Ayo pamarentah geus kuduna jeung waktuna jalan akses rahayat dibebenah nepi ka genah.
BERGERAK ✊🏻✊🏻✊🏻 kang_ooss/garsel ❤️🙏🏻
Diterjemahkan secara bebas, kira-kira seperti ini: Dari mulai Presiden, Gubernur, Bupati hingga ke Kepala Desa, oleh foto ini harusnya tergetar jiwa dan raganya. Yang mengerti pada protes teh, bukan hanya orang tua atau sudah dewasa, bahkan anak kecil sempurna sekali dalam mengajukan protesnya.
Foto tersebut apakah asli atau editan, melahirkan perbedaan cara pandang. Saya teruskan foto tersebut ke beberapa grup WA, untuk memancing respon para anggota grup. Di Grup PortalNusa, muncul respons berupa ketawa hahaha… Juga di grup Cek Fakta, muncul emoticon kartun sedang tertawa terpingkal-pingkal. Namun di grup webinar tentang persampahan, komentar pertama yang muncul adalah: Boa edan (jangan-jangan gila).
Siapapun bisa berkomentar, apakah lahir dari spontanitas, atau dari permenungan yang dikaitkan ke bidang ilmu, sosiologi, antropoligi, hukum, teknologi, atau agama.
Melihat foto anak kecil berlaku seperti buaya sedang melata, di satu sisi, ada permakluman bahwa manusia adalah hommo ludens, mahluk bermain, apalagi anak kecil, yang lebih dekat dengan keriangan dan kegembiraan. Kebebasan berekspresi dan berimajinasi pada anak kecil, adalah kemerdekaan yang terampas dari orang dewasa.
Permakluman akan hommo ludens ini, berlanjut pada pikiran, bahwa sudah benar anak kecil itu diberi ruang untuk berekspresi, berani, kreatif, dan tidak jadi penakut. Jangan bermimpi punya anak jadi jenderal besar, bila diwaktu kecilnya, untuk melata dilumpur sudah dilarang, dan dengan ancaman menakut-nakuti.
Dunia hanya milik para pemberani. Tapi berani saja tidak cukup. Manusia juga harus kreatif yang menjadi salah satu pancaran dari kecerdasan. Manusia kreatif pasti cerdas. Berani saja tapi tidak cerdas dan kreatif, sangat mungkin ke depannya gampang diperalat jadi bodyguard belaka.
Berani dan kreatif saja tidak cukup. Manusia juga harus kuat fisik dan batinnya. Men sana incorpor sano kata orang Yunani, alias dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang kuat pula. Kalau kata Nabi Muhammad, di dalam tubuh manusia ada segumpal darah. Bila gumpalan darah itu sehat, maka sehatlah jasadnya. Sebaliknya, bila gumpalan darah itu sakit, sakit pula jasadnya. Ketahuilah, segumpal darah itulah yang dinamakan kalbu.
Dengan diberi kebebasan berenang setengah melata dalam lumpur, sangat mungkin anak itu, bila terarah dan diarahkan, apalagi ada yang membiayai, kelak menjadi Sekjen PBB.
Akrab dengan alam, hujan-hujannan, adalah terapi terbaik untuk melahirkan imunisasi penyakit paru-paru macam bengek, asma, atau bronhitis.
Itu jika kita melihat sisi positif dari foto di atas, apakah asli atau hasil editan.
Di sisi lain tentu ada kekecewaan terhadap para otoritas penyelenggara negara, seperti Badan Perencanaan Pembangunan dan instansi yang terkait. Dalam foto itu terlihat, anak-anak melata dalam lumpur dari lubang panjang bekas jejak roda kendaraan. Ini menegaskan, pembagian kue pembangunan yang salah satunya diwujudkan dalam infrastruktur, sungguh masih jauh dari adil dan merata.
Ketika bangsa modern sedang berpikir menambang helium di bulan, diam-diam berlomba mengembangkan reaktor nuklir serta memproduksi peralatan modern, bangsa kita, baru bisa melata sebagai budak yang didikte untuk menjadi pengikut, pengguna, dan pembelanja produk mereka.
Apakah foto tersebut bisa ditinjau dari kurikulum Merdeka Belajar?
Inilah yang menjadi kegelisahan saya selaku lulusan IKIP. Ganti menteri, ganti kurikulum, ganti atribut, yang menyita sekian anggaran. Misalnya dulu, dari SMA diganti menjadi SMU, berapa dana rakyat harus digelontorkan? Misalkan satu siswa punya dua baju, masing-masing harus mengganti bet dari SMA ke SMU, belum lagi stempel, plank, raport, dan atribut lainnya harus diganti, berapa dana yang disia-siakan sebagai proyek ganti nama itu?
Benar bahwa kurikulum bukan saja harus adaptif, tapi harus bisa menjangkau jauh ke depan. Tapi, menjangkau jauh ke depan itulah yang sulit dilakukan ketika imajinasi terbatas. Adapun pendidikan imajinasi, salah satunya terdapat pada karya seni. Kita bisa menilai, ketika Juara Baca Puisi di Disdik Banten pada 2018, hanya diberi piagam dan dua helai serbet, maka seperti itulah salah satu wajah ‘broker’ bangsa kita ini. Yang lainnya, memandang kesenian sebagai live service.
Puisi memang tidak bisa meruntuhkan gedung DPR. Tapi puisi adalah kata, dan kata adalah asal mula dari semua penciptaan Tuhan. Bika Ia berkehendak, cukup berucap: Kun, fayakun (Jadi, maka jadilah) (QS. Yasin ayat 84).
Allah Swt. menurunkan wahyu kepada King David (Nabi Daud), adalah dalam bentuk syair yang bisa ditembangkan. Dalam Quran pun ada surat yang istimewa untuk puisi, yaitu surat nomor 26 yang artinya Para Penyair. Sungguh, tak ada Surat Para Presiden, Gubernur, apalagi Kades atau Lurah.
Kasihan anak-anak itu, jika ada pengendara ofroad sedang tenge, mungkin itu anak akan terlidas truk. Tapi saya berdoa, semoga mereka jadi jenderal, atau punya keinginan besar untuk mengejar pencapaian Nabi Kontemporer, Mark Zuckerber, yang telah turut memungkinkan komentar ini bisa dituliskan dan dibagikan. Peun!
Discussion about this post