Oleh: Arip Senjaya
Setiap anak-anak adalah kita di masa lalu, anak siapa pun itu. Bahagia atau sedih melihat kehidupan anak-anak adalah bahagia atau sedih melihat kita di masa lalu. Tapi “melihat” itu sendiri tidak terjadi di masa lalu; “melihat” adalah proses aktual yang sedang dan masih berlangsung ke arah yang sudah kita tinggalkan. Kita tidak akan bisa memasuki masa kotor-kotoran lagi, masa ingus meleleh tanpa peduli orang jadi jijik, masa telanjang tanpa beban moral, masa kemerdekaan ada di dalam ketiadaan makna terhadap kemerdekaan itu sendiri.
Kita hanya akan mengingat semua itu perlahan hilang setelah kita mengenal sekolah. Kita akan diseragamkan, kita akan disiapkan untuk setuju, kita akan dipaksa untuk tepat waktu, kita tidak boleh lagi punya kuku yang kotor. Betapa singkat masa kebebasan, masa tanpa moral itu, dan lantas kita memasuki masa pendisiplinan yang begitu panjang. Bahkan sejak Taman Kanak-Kanak kita sudah bersiap untuk kehilangan taman bermain, sebab kita akan diajari mewarnai, bukan kotor-kotoran lagi; diajari membaca, bukan meludah sembarangan; diajari gosok gigi dan bukan makan kerikil atau lumpur lagi.
Makin jauh kita sekolah, makin jauh juga kita dengan masa lalu kebahagiaan itu. Kita diminta sekolah-sekolah kita untuk mengejar kebahagiaan yang ada di depan sana, masih jauh, harus lulus dan masuk sekolah berikutnya! Setelah kita masuk sekolah terbaik, kita diminta untuk mengejar lagi kebahagiaan di depan sana, masih jauh, perguruan tinggi terbaik! Setelah sampai di perguruan tinggi terbaik kita diminta untuk mengejar karier terbaik yang masih jauh! Setelah kita bekerja, kita diminta untuk mengejar posisi terbaik dan masih jauh! Setelah di posisi terbaik, kita diminta untuk membeli bungalau, lalu pulau, dan segala macam lagi yang masih jauh.
Maka kita akan cemburu melihat kanak-kanak yang tidak mengejar hal-hal yang jauh.
Ya, tentu kita ingat saat itu kita juga bersedih karena menginginkan es krim dan dilarang orang tua kita karena gigi kita berlubang. Tapi kita segera menangis, dan mengeringlah penderitaan itu dengan sekejap hingga berganti kebahagiaan lagi: kita boleh makan es krim tapi jangan bilang-bilang orang tua (akal kita bekerja dengan sederhana). Atau kita lupa dengan urusan es krim sebab penggantinya jauh lebih baik dari es krim: kita lari ke sungai dan berenang, kita menemukan kubangan kerbau dan berkubang, kita menemukan jambu jatuh dari pohon dan kita dengan lezat mengunyahnya. Jauh lebih banyak kebahagiaan saat itu daripada penderitaannya.
Foto di atas adalah foto kita di masa lalu, saat kita bahagia melihat jalanan penuh kubangan. Dulu, kita akan jadi belut pula seperti kedua anak itu, dan sekolah dan kedewasaan membuat kita kehilangan segalanya karena kita sedang mengejar-ngejar yang jauh belaka.[]
Arip Senjaya, dosen filsafat dan sastra Untirta.
Discussion about this post