Arip Senjaya
Sudah lama saya dengar cerita dari orang-orang yang pernah mengalami langsung bahwa ada keluarga-keluarga di Jawa yang membebaskan anggota-anggota keluarganya dalam memilih agama sebagaimana negara sendiri membebaskan rakyatnya untuk memilih agama apa pun. Semua agama itu baik. Keluarga-keluarga tersebut—seperti negara ini—seakan tidak ikut campur dalam urusan kebebasan beragama. Itu benar-benar pilihan bebas.
Lantas saya bertanya-tanya kepada diri sendiri apakah keluarga-keluarga ini, juga negara ini, mengizinkan siapa pun untuk menentukan metode penelitian sastra dengan bebas?
Kadang-kadang saya mendengar—entah benar entah tidak—bahwa di kampus tertentu di zaman saya kuliah S1 dulu para mahasiswa tidak boleh meneliti sastra berisi pemikiran kiri. Kiri itu apa, jangankan mahasiswa, banyak dosen pun tidak tahu kecuali mencurigai istilah tersebut, tanpa pernah ada kajian-kajian ilmiah bidang ini.
Mungkin “kiri” itu Rusia karena berada di sebelah kiri Eropa dan juga disebabkan Amerika yang kita sebut “Barat”, dan Rusia adalah komunis, dan komunis itu anti-Tuhan, antiagama. Tapi jika itu diserap dari bahasa Inggris left tentu dalam bahasa aslinya ia tidak bermakna negatif, sedangkan di negara kita kanan itu selalu bermakna kebaikan dan kiri itu selalu bermakna keburukan. Bersalaman dengan tangan kanan, makan dengan tangan kanan, menulis sebaiknya dengan kanan, hormat dengan tangan kanan, memberi uang dengan tangan kanan, menunjuk sesuatu dengan tangan kanan; tapi cebok dengan tangan kiri, dan segala hal yang semestinya kita kerjakan dengan tangan kanan lalu dilakukan dengan tangan kiri akan disebut tidak etis, tidak bermoral, tidak baik, negatif.
Cebok dengan tangan kanan akhirnya disebut jorok. Bukan ceboknya, tapi kanan itu terhormat.
Jadi, istilah “kiri” itu istilah yang belum apa-apa sudah bermuatan negatif karena berkaitan dengan budaya kita sendiri memahami kata tersebut. Jika kita mengenangkan puisi “Kampung” Subagio Sastrowardoyo, tampaknya apa yang dikatakan Subagio sebagai Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya itu benar-benar nyata dalam tradisi memahami istilah di lembaga-lembaga akademik.
Mencurigai apa pun tanpa mempelajarinya dalam hemat saya malah kampungan, terlebih jika hal ini terjadi di lembaga-lembaga akademik.
Tapi memang kenyataannya begitu. Dalam puisi tersebut Subagio bilang bahwa:
…
hawa di sini sudah pengap oleh
pikiran-pikiran beku
Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
…
Di mana setiap orang ingin bersuara
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai
Maka barang siapa di masa Reformasi masih saja pencuriga, sungguh ia termasuk dalam kelompok manusia kampungan Orde Baru, tak peduli itu dosen, tak peduli itu guru, tak peduli itu mahasiswa, tak peduli itu pengarang, tak peduli itu agamawan, tak peduli itu aktivis, tak peduli itu rektor kampus ternama.
Masa awal Reformasi
Nah, mari kita bicara tentang seorang aktivis yang paling saya kenali. Namanya Dadan Saputra. Di masa Orba itu belum lama tumbang, ia ternyata harus mengganti skripsinya dengan skripsi baru karena ia ketahuan menggunakan pendekatan Kritik Sastra Marxis. Itu artinya, pilihan ilmu jauh lebih tidak bebas daripada pilihan agama sebagaimana yang di bagian awal sekali saya contohkan, ilmu ternyata lebih sakral dan lebih ketat daripada agama, ilmu jauh lebih bercokol daripada Orde Baru itu sendiri. Pilihan ilmu seakan mengandung konsekuensi bahaya bagi negara, kemanusiaan, ketuhanan, secara serempak tetapi pilihan agama tidak. Saya sampai sering berpikir jangan-jangan cara kita beragama itu tidak menyadari agama sebagai ilmu! Kalau pilihan agama bebas, kenapa pilihan ilmu tidak? Benarkah negara mengatur para dosen pembimbing agar membuat batas-batas bagi kebebasan akademik mahasiswa atau dosen-dosen macam itu berimajinasi tentang batasan-batasan tersebut?
Dalam kasus Dadan, mungkin karena dosen pembimbingnya masih produk Orba, sehingga kita mungkin bisa mengatakan mereka belum move on dari mentalitas Orba itu sendiri. Mereka memasuki Reformasi dengan mental Orba. Bahwa sekarang ternyata masih juga ada dosen-dosen macam itu, bahkan rektor-rektornya pun beberapa macam itu, problem kita berarti bukan Orba atau bukan Orba, tetapi kampungan atau tidak kampungan, sehingga kita harus kembali membenarkan puisi “Kampung” Subagio saja.
Lagi pula, kalau kita kembali kepada isu sastra kiri tadi, memang begitu banyak produk sastra yang kekiri-kirian, disadari atau tidak oleh pengarangnya. Karenanya pilihan Dadan tepat jika memakai pendekatan Marxis untuk membicarakan sastra yang mengandung semangat kiri. Cara pandang Marxis juga bisa berlaku pada produk-produk sastra yang berlawanan dengan semangat kiri sehingga produk riset menjadi kritik terhadapnya.
Namun sayang sekali di masa awal Reformasi itu sastra kiri seakan suatu sastra haram (tapi sastra yang bertolak belakang dengan semangat kiri tidak disebut sastra halal). Sastra kiri seakan atheis dan atheisme itu suatu problem moral yang menghantui lembaga akademik sebagai representasi negara. Padahal tentu saja peneliti muda tingkat skripsi macam Dadan Saputra saat itu boleh jadi jauh lebih beragama daripada dosen pembimbingnya sendiri, dan kalaupun tidak tetap harus dihargai selaku anak muda yang sedang mencari kebenaran. Secara kebetulan saya mengenal Dadan dan ia tak pernah meninggalkan ibadah-ibadah wajibnya, bahkan ia sering juga mengerjakan ibadah sunat seperti puasa sunat Senin-Kamis. Ia bisa dipercaya dan karenanya ribuan mahasiswa mengikuti dia turun ke jalan di minggu-minggu penting penggulingan Rezim Bapak Pembangunan itu.
Menurut saya pilihan ilmu tidak harus sama dengan pilihan agama sehingga ideologi seseorang tidak identik dengan agama atau ilmunya juga. Mungkin yang terjadi dalam kasus Dadan adalah suatu asimilasi spiritual: Marxisme di satu sisi dan Islam di sisi lainnya memang beririsan dalam hal-hal tertentu sehingga pilihan pendekatan Kritik Sastra Marxis adalah kebebasan ideologis dalam arti asimilasi tersebut. Bukankah orang-orang Indonesia sudah sejak lama pandai melakukan asimilasi dalam berbagai hal? Agama, seni, budaya, filsafat, pendidikan, segalanya merupakan hasil-hasil asimilasi, tidak ada lagi yang murni, atau mungkin juga disebut hasil-hasil dialektika.
Berkaca pada contoh pengalaman Dadan, pada saat itu saya sering berpikir jangan-jangan negara adalah pembimbing utama sebenarnya para mahasiswa. Mana ada di zaman kami orang bisa bebas membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Jangankan meneliti, membaca pun terasa haram bagai haramnya menghirup heroin. Dan ketika Reformasi kami masuki, keadaan belum benar-benar berubah. Yang kemudian menjadi otoritas memang bukan lagi simbol macam Presiden, tetapi moral berbulu ilmu! Dan moral itu sendiri tak lebih dari standar nilai sepihak pembimbing yang “mengatasnamakan negara”—sadar atau tidak—dan seakan-akan itulah ilmu, padahal benar-benar moral dan sebagai moral itu adalah moral kampungan.
Moral yang tidak kampungan tentu melalui tahapan pengkajian dan tidak berlaku sepihak.
Apa buktinya? Di masa yang sudah seharusnya kita mencicipi kebebasan akademik, malah skripsi-skripsi itu benjadi bangun datar, tidak terlihat grafik peningkatan kebebasan mahasiswa dalam memahami dunia. Buku-buku Pramoedya kini dapat dimiliki dengan bebas, tapi mereka sedikit saja yang membacanya. Prestasi akademik lalu dinyatakan dengan nilai IPK (Indeks Prestasi Akademik). Sungguh, nilai IPK itu omong-kosong, tak lebih dari simbol untuk keberhasilan yang tidak menunjukkan kebebasan sama sekali.
Nilai IPK yang baik dapat dimiliki dengan mudah saja: jangan sering bolos kuliah, dan katakan “maaf” jika terlambat masuk, titipkan tanda tangan kepada kawan jika terpaksa bolos; kerjakan tugas-tugas dan ujian pada waktu yang sudah ditetapkan; skripsi kerjakan dengan cepat, cepat itu prestasi; kalau perlu dekati dosen dengan lebih akrab; kalau perlu bawa hadiah-hadiah untuk dosen; intinya mahasiswa bisa bersandiwara untuk semua itu. Banyak juga dosen yang tahu dengan sandiwara-sandiwara moral itu, tapi mereka suka kok menonton sandiwara. Banyak dari mereka itu yang akan merasa seakan tamu kehormatan di sebuah gedung kesenian dusta kedisiplinan.
Kenapa di zaman saya banyak orang kuliah S1 hingga enam atau tujuh tahun? Karena ilmu itu bukan bangun datar, tapi sebuah dimensi yang membutuhkan ruang dan waktu untuk menyetel setiap sisinya agar tidak terlalu condong sana-condong sini. Mereka yang lama kuliah dan pembaca serius memang sering ada dalam kelabilan ruang, seakan setiap bagian yang dibacanya menjadi sudut baru, garis baru, lekukan baru, patahan baru, yang sulit ia kontrol sendiri, sehingga ia perlu waktu dan waktu. Tujuh tahun S1 pun rasanya belum cukup!
Kenapa di zaman sekarang prestasi akademik itu ukurannya cepat lulus? Karena ilmu tidak lagi labil, ilmu telah tegak sebagai segitiga sama sisi, segi empat yang presisi, lingkaran yang sempurna. Masya Allah!
Ketika ilmu dibiarkan dalam dirinya sendiri dan mahasiswa menghamba kepadanya, sudah jadilah ia agama yang lebih agama daripada agama-agama itu sendiri. Mahasiswa muslim yang saya kenal boleh tidak taat beribadah menurut selera masing-masing—kadang solat kadang tidak, puasa wajib dibatalkan alasan apa saja, tapi mereka tak akan sanggup melawan teori dan metode yang mereka tetapkan sendiri dan atas dukungan dosen pembimbingnya. Ilmu telah menjadi Tuhan yang paling menakutkan mereka.
Masuk akal kiranya di zaman saya ada gelombang demostrasi Reformasi yang akbar itu, karena ada geliat kebebasan akademik yang tidak mendapat tempat di dalam kelas sehingga ditransformasi ke arah kebebasan berpendapat. Jalan raya adalah mimbar akademik yang sebenarnya ketika ruang-ruang kelas di kampus-kampus kami berisi moral-moral sakral sepihak saja. Tidak mungkin sekarang ada demonstrasi besar-besaran lagi karena mahasiswa tidak belajar kebebasan dalam ilmu, tidak ada “ideologi-asimilatif-dialektik” macam Dadan Saputra yang saya contohkan di atas.
Untuk apa jalan raya bagi mahasiswa sekarang? Apakah mereka merasa tidak ada kebebasan akademik? Apakah mereka kini tak boleh membicarakan Karl Marx, Pramoedya, Utuy Tatang Sontani? Kata siapa? Sekarang kalian bebas membaca buku-buku yang dulu dilarang!
Karena itu kalian kini tak butuh jalan raya lagi!
Lalu datanglah masa belajar daring, ya, memang ini zaman yang pas buat ketakriduan pada kebebasan akademik lagi! Jangan-jangan puisi-puisi mimbar macam karya-karya W.S. Rendra tidak lagi punya gema buat angkatan kalian. Jangan-jangan ya… dan jangan tersinggung, kecuali kalian adalah para kampungan yang saya maksudkan itu.
Baik. Akhirnya harus saya akui berdasarkan perkembangan terkini, bahwa negara telah berhasil menjadi agama di atas agama, lembaga akademik di atas lembaga-lembaga akademik sebenarnya, pembimbing di atas pembimbing-pembimbing, dan telah menjadi puisi yang tidak merindukan mimbar kebebasan lagi seperti puisi-puisi kamar yang kehilangan negara dan minder di atas cinta.
Mana mungkin ada cinta tanpa kebebasan mencintai ilmu dan negara![]
Arip Senjaya, dosen sastra dan filsafat Untirta.
Discussion about this post