Oleh: Velix Wanggai
Developing Papua: The Political Economy of the Division Policy of Papua Province, 1969-2004.
Sepenggal 1 kalimat diatas adalah judul thesis master penulis ketika menempuh pendidikan di Flinders University, Australia di awal tahun 2000-an, dan sempat dipresentasikan di seminar Indonesia Project, the Australian National University, pada mid-Mei 2005. Pemikiran diatas terasa semakin relevan di hari-hari ini, ketika hadir pemikiran yang beragam dalam mensikapi kebijakan Negara atas penataan daerah di Tanah Papua saat ini.
Kita menyadari, Penataan Daerah (pemekaran, pembentukan daerah baru) di Tanah Papua adalah sebuah keniscayaan. Tentu pula, kita sangat menaruh perhatian tinggi atas aspirasi, catatan dan kritikan, sehingga kita perlu mengelola resiko dan konsekuensi yang muncul dari penataan daerah. Tentu, pengambil kebijakan Negara telah menyiapkan, mempertimbangkan dan mengambil langkah dalam mempersiapkan secara komprehensif atas hadirnya daerah otonom baru.
Dinamika pemekaran hari ini di Tanah Papua, sebenarnya perlu disikapi biasa saja oleh publik Papua. Kembali ke akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, negara-negara Barat dan juga negara-negara berkembang, mengkritik struktur birokrasi tradisional dan ukuran yang besar, inefisien dan sentralistik.
Sejalan dengan reformasi administrasi yang terjadi dibelahan negara, kebijakan penataan daerah mengemuka dalam hubungan pusat – daerah, termasuk di Irian Jaya saat itu. Dalam konteks Papua, di awal 1980-an Gubernur Busiri Suryowinoto membentuk sebuah tim yang diketuai oleh Kepala Biro Pemerintahan HS Thamrin SH yang beranggotakan 42 orang yang berasal dari pemerintahan daerah, kampus, dan organisasi kepemudaan. Tim ini bertugas untuk menyusun desain pemekaran Irian Jaya.
3 Skenario Pemekaran ala Gubernur Busiri Suryowinoto
Dari proses formulasi kebijakan, akhirnya muncul 3 skenario provinsi baru, yang penulis sebut 3 Skenario Provinsi ala Busiri Suryowinoto.
Skenario I terdiri dari 3 Provinsi Irian Jaya Utara, Irian Jaya Selatan dan Irian Jaya Barat.
Skenario II terdiri dari Provinsi Irian Jaya Utara, Irian Jaya Selatan dan Irian Jaya Barat. Skenario I dan Skenario II, namanya provinsi-nya sama, namun ruang lingkup yang berbeda.
Skenario III terdiri dari Provinsi Irian Jaya Timur, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat.
Merespon gagasan pemekaran provinsi ini, Pemerintah menugaskan Menteri Dalam Negeri, Supardjo Rustam membentuk tim kecil untuk mengkaji aspirasi dan gagasan pemekaran, evaluasi dan merumuskan skenario ke depan. Saat itu, Pemerintah dihadapkan dengan pilihan, apakah dimekarkan dari level bawah (the scenario from the bottom level), artinya pemekaran kampung, kecamatan dan kabupaten, ataukah skenario pemekaran dari level atas (the scenario from the top level), yakni pembentukan provinsi secara langsung menjadi 3 provinsi.
Memilih Pendekatan Pemekaran dari Bawah
Sejak pertengahan 1980-an Pemerintah lebih memilih penataan daerah dari bawah, baik penguatan dan pemekaran kampung, kecamatan dan kabupaten, serta mendorong pembangunan sektoral dan regional. Misalnya, pemekaran kecamatan dari 117 kecamatan di tahun 1989 menjadi 173 kecamatan di tahun 1999. Saat itu, Bappeda Provinsi Papua mendorong program Tipologi Kecamatan, sesuai zona ekologis, geografis, jumlah penduduk dan struktur birokrasi kecamatan. Demikian pula, dimekarkan desa dari 901 desa (1989) menjadi 2.809 desa (1999). Selain itu, di tahun 1996 dibentuk Kabupaten Administratif Timika, Paniai, dan Puncak Jaya, dan Kota Administratif Sorong.
Di era Gubernur Bas Suebu periode 1 (1988-1993), didorong pendekatan kewilayahan berbasis desa, yang lebih dikenal dengan pendekatan makro-sektoral dan mikro-spasial dengan berbagai instrumen kebijakan sektoral dan regional. Hal ini dimaknai dimana kebijakan yang mendorong tumbuhnya zona-zona ekonomi potensial yang terkait dengan pembangunan perdesaan.
Dalam perkembangannya, pada Agustus 1996, Pemerintah melakukan modifikasi struktur organisasi pemerintahan dengan membentuk 3 Wakil Gubernur sesuai 3 wilayah dari eks Pembantu Gubernur. 3 Wakil Gubernur saat itu, yakni Abraham Ataruri, Herman Monim dan Basyir Bachtiar.
Sebagai langkah strategis, pada 11 Januari 1994, Kemendagri membentuk 3 Pembantu Gubernur yang bertugas untuk mengkoordinasi dan mengelola fungsi-fungsi pemerintahan sesuai 3 wilayah, baik Wilayah I (Jayapura, Jayawijaya, dan Paniai), Wilayah II (Yapen Waropen, Biak Numfor, Sorong dan Manokwari), dan Wilayah III (Fakfak, Merauke, Mapurujaya/Timika.
Respon publik saat itu juga beragam dalam mensikapi skenario pemekaran. Beberapa politisi Irian saat itu berpendapat bahwa pembentukan Pembantu Gubernur merupakan langkah yang tepat untuk mengelola pelayanan pembangunan di tingkat paling bawah, dan sebagai landasan bagi hadirnya provinsi baru.
Demikian pula, pamong praja senior, Jhon Jopari menyampaikan agar Pemerintah membentuk 34 Kabupaten baru di Irian Jaya. Hal ini dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal dan membuka peluang karir bagi pegawai lokal diberbagai unit kerja di kabupaten-kabupaten.
Dari sisi kampus, tokoh August Kafiar, melihat kebijakan pemekaran bertujuan untuk mempercepat pembangunan daerah. Karena itu, August Kafiar menekankan pentingnya mempersiapkan sumber daya manusia dan memperkuat pemerintahan di level bawah seperti desa dan kecamatan, serta meningkatkan ketersediaan infrastruktur di wilayah perdesaan dan pedalaman.
Sementara itu, pandangan publik, termasuk media, menekankan pentingnya suatu penanganan khusus melalui pendekatan kultural dalam pembangunan Irian Jaya. Dari seminar nasional Pembangunan Masyarakat Irian Jaya (PWI, 1984), merekomendasikan pentingnya pembangunan pendidikan, kesehatan, transportasi, birokrasi lokal, perencanaan pengembangan wilayah, pembangunan perdesaan dan permukiman dan lembaga-lembaga adat. Pandangan kalangan wartawan ini, sejalan pula dengan pandangan pengamat sosial di pertengahan 1980-an yang menekankan perlunya Pemerintah untuk menata ulang strategi pengembangan wilayah Irian dengan menerapkan pendekatan yang berbasis budaya dan tetap menghormati kepentingan dan identitas lokal.
Di akhir 1990-an, pasca reformasi 1998, lahir gagasan penataan daerah versi Gubernur Freddy Numberi, konsep pemekaran versi Gubernur J.P Solossa, maupun konsep penataan daerah versi Gubernur Lukas Enembe. Di momen lain, pemikiran pemekaran ketiga tokoh Papua, akan diuraikan, sebagai bagian dari perjalanan penataan daerah di Tanah Papua ke depan.
Penataan Daerah untuk Kemuliaan Papua
Dinamika kebijakan pemekaran di Tanah Papua, adalah sebuah perjalanan panjang sejak tahun awal 1980-an. Marilah kita melihat bahwa 4 dekade ini, Pemerintah telah memilih pendekatan kebijakan dari bawah (the scenario from the bottom level), ditandai dengan kabupaten/kota di Tanah Papua saat ini berjumlah 42 Kabupaten/Kota. Proses pengambil keputusan telah diambil oleh pemimpin Papua di semua level dengan pelbagai otoritas dan risorsis. Secara filosofis, hal ini adalah sebuah berkat, Negara hadir untuk pelayanan dasar yang lebih dekat ke akar rumput.
Alangkah baiknya, ke depan, lembaga reprentasi kultural di Papua, dapat mengajak para Bupati dan Walikota se-Tanah Papua dalam perspektif kultural, dalam merumuskan skenario penataan daerah di Tanah Papua, dan strategi mitigasi resiko yang perlu, baik penguatan SDM yang daya saing, pola khusus penerimaan ASN dan pola karir ASN OAP, pemberdayaan pengusaha/wirausaha OAP, strategi khusus pertanahan dan agraria, maupun strategi pengelolaan sumber daya alam yang inklusif dan berkelanjutan berbasis masyarakat adat, serta strategi peran aktif OAP dalam sistem rekrutmen di internal kepartaian dan kontestasi Pemilu. Bahkan diperlukan pemikiran peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang bersifat asimetris politik dalam memastikan peran serta OAP di ruang legislatif di level kabupaten/kota, provinsi dan nasional.
Marilah, kita merenung, penataan daerah adalah hal yang wajar dan normal dalam penggalan perjalanan pembangunan Papua saat ini, dan Irian Jaya di masa lalu, 1980-an. Kita meyakini, pilihan kebijakan dan pendekatan Negara, semuanya ditujukan untuk memajukan, memberdayakan, dan memuliakan Papua, the dignity of Papuan people.
Matraman, Jakarta, 23 Mei 2022
*Velix Wanggai, Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Discussion about this post