Portal Nusa.id___ Perubahan iklim kian ekstrem terasa dan nyata adanya. Dalam catatan BMKG menyatakan nilai anomali dari suhu udara bulan agustus pada periode 1981-2020 di Indonesia adalah sebesar 26.46 c dan suhu udara rata-rata bulan agustus 2022 adalah 26.81 c. dan itu merupakan anomali tetingi ke-5 sepanjang periode data pengamatan sejak 1981. Bukan tanpa penyebab, suhu udara menjadi ektrem. Bila ditelusur secara umum ihwal pemicu perubahan iklim misalnya, dapat ditemukan dua pemicu pastinya disebabkan oleh aktivitas manusia dan alam itu sendiri.
Menimbang itu, aksi nyata untuk iklim mesti segera dilakukan, sebab bila tidak berabehlah semuanya. Namun selalu ada pro dan kontra dalam lingkaran diskursus perubahan iklim sendiri. Pasalnya tak sedikit ( di tengah banjir data, dan fakta tentang nyatanya perubahan iklim) orang yang menyangkal/menunda/ menghambat dengan diskursus-diskursusnya, lalu melempar wacananya ke publik untuk menggoyahkan keyakinan publik akan climate change. Para peneliti serupa William F Lamb bersama kawann-kawannya dalam penelitiannya yang bertajuk: “Discourse of climate delay” yang terbit pada tahun 2020 lalu, menyatakan:
” Discourses of climate delay’ pervade current debates on climate action. These discourses accept the existence of climate change, but justify inaction or inadequate efforts. In contemporary discussions on what actions should be taken, by whom and how fast, proponents of climate delay would argue for minimal action or action taken by others. They focus attention on the negative social effects of climate policies and raise doubt that mitigation is possible. Here, we outline the common features of climate delay discourses and provide a guide to identifying them.”
ia memaparkan beberapa tipe wacana/narasi/diskursus yang bergulir, diantaranya sebagai berikut:
1. wacana pengalihan tanggung jawab.
Wacana ini digulirkan untuk menanyakan kembali perihal tanggung jawab terhadap perubahan iklim.
“Siapa yang bertanggung jawab untuk mengambil tindakan, bro, sis? Demikian penyataan yang mengalihkan tanggung jawab dan menunda aksi iklim.
a. Individualisme.
Individulisme, yang dimaksud bahwa krisis iklim merupakan tanggung jawab setiap individu. Oleh karena itu, aksi yang mesti dilakukan adalah aksi yang individual dan intropeksi semata. Tanggung jawab jenis ini, sebenarnya mempersempit ruang solusi iklim dengan memberi jarak pada perubahan sistemik, politis, yang dikerjakan secara kolektif. Biasanya yang keluar dari mulut si individualis: “Gak usah bawa-bawa pemerintah, dan perusahaan. krisis iklim itu salah kita, salah konsumen. Fokus bebenah diri aja deh!”
b. Whataboutisme
Gampangnya, wahtaboutisme itu; “Emisi kita kecil, noh yang besar negara china. Lah pecuma dong ngurangin emisi tapi yang lain nggak!”
c. Free-rider (penunggang gratis)
Narasi ini mengklaim bahwa orang lain/negara lain akan meraup keuntungan dari mereka yang memimpin mitigasi perubahan iklim:” Kita yang ngurangi emisi karbon, kita juga yang bakal ambruk ekomoninya, tapi eh yang lain yang enaknya. Gak adil deh! Udah ah!”
2. Wacana perubahan gak perlu drastis, santai aja kali!
a. Optimisme teknologi
Merupakan contoh utama yang menyatakan bahwa dengan kemajuan teknologi akan dengan cepat menurunkan emsi. Jadi, fokus aja ke pengembangan teknologi.
b. Banyak bunyi, klaim blablabla, tapi nihil aksi.
Narasi ini biasa muncul dari klaim palsu para pemimpin negara tentang komitmennya terhadap aksi iklim dan mereka berbangga dengan klaimnya tersebut. “ Indonesia sebagai garda terdepan, dan memimpin aksi nyata untuk iklim.”
c. Energi fosil adalah solusi
Narasi ini mengklaim bahwa bahan bakar fosil adalah bagian dari solusi perubahan iklim.
“Jauh lebih efisien energi fosil, dan itu membantu Indonesia segera bertransisi ke pembangunan yang berkelanjutan.”
d. Mayarakat gak bisa ditegasin.
Narasi ini timbul dari kebijakan yang menghindar dari kebijakan restriktif. Mereka mengatakan bahwa “Masyarakat gak bisa dibatasai, dan ditegasin, mending cari cuan, datangkan investasi. Bangun ini-itu. Dengan sukarela nanti masyarakat pasti berubah, percaya deh!”
3. Wacana kriris iklim itu gak bisa dihindari; udah dari sononya!
a. Perubahan itu mustahil
Narasi tipe ini, beraggapan sekuat dan se-edan apapun kita coba transformasi itu mustahil, sebab perlu secara radikal; menata ulang kembali kehidupan kita dengan alam, dan itu tidak mungkin.
b. kiamat
Narasi tipe ini bentuk narasi putus asa, dan mengatakan semuanya sudah terlmbat: “Pada akhirnya akan kiamat dan hancur-lebur, buat apa mencegahnya?”
4. Wacana bukannya untung, aksi iklim malah buntung, coy!
a. Kebijakan perfeksionis.
Narasi ini datang dari rasa khawatir dan waspada para pemangku kebijakan terhadap kebijakan iklim, mengingat mereka ingin setiap kebijakan yang bertelur didukung publik. Biasanya mereka mengatakan; “Percuma bikin kebijakan ini-itu, nanti juga didemo, kok. Liat aja kalau batu bara dihentikan, terus mati listik, nanti pada teriak”
b. Kita belum sejahtera.
Klaim dari narasi tipe ini sangat ekstrem dengan mengatakan bahwa kebijakan iklim akan mengancam mata pencaharian hidup dan standar hidup: “ Kalau besok distop energei kotor nih, ya, ekonomi kita makin ambruk! Suer, deh!
c. Keadilan soial.
Narasi ini mencoba mengalihkan isu iklim dan menawarkan isu-isu sosial dalam diskursus kebijakan. Biasanya yang disodrkannya itu; “Mending ongkos buat iklim pake aja untuk makmurkan rakyat. Masih banyak noh rakyat yang miskin.”
Dari empat tipe wacana/narasi tentang menunda aksi nyata buat iklim, yang mana nih, yang bergulir di Indonesia? Semuanyakah?
Discussion about this post