Portalnusa.id—Selain bencana kekeringan, banjir besar, kriris pangan, kriris air, dan suhu panas. Efek dari perubahan iklim menyebabkan gangguan kesehatan mental manusia. Karena dengan makin geliatnya informasi dari media, membuat orang kian cemas dan khawatir akan kemungkinan-kemungkinan masa depan dunia akibat kriris iklim, dan itu makin memperburuk kesehatan mentalnya.
Tidak sedikit, orang yang mengidap eco-anxiety, dan kawula muda yang mendominasinya. Berdasarkan penelitian Veronica dkk yang meneliti perihal gambaran eco-anxiety kelompok aktivis iklim extintction rebeliion Indonesia mengatakan bahwa: Eco-anxiety termanifestasi dalam emosi negatif seperti rasa sedih, marah, kecewa, kaget, frustrasi, stres, terbebani, khawatir, takut, terancam, putus asa, dan tidak berdaya. Mereka juga mengalami gejala fisiologis seperti badan lemas, tidak bertenaga, kesulitan tidur, dan sakit kepala atau pusing. Yang paling ektrem dari eco-anxiety menyebabkan orang untuk melukai dirinya sendiri, dan melakukan bunuh diri.
Dilansir dari the Guardian, seoarang aktivis lingkungan Buddhis, Bruce telah membakar dirinya di Mahkamah Agung AS bertepatan dengan hari bumi. Tidak hanya Burce. David Buckle, seorang pengacara hak-hak sipil di Jalan Ptopect Park Newyork City pada suatu pagi menyiram dirinya dengan bensin dan membakar dirinya sendiri. Tetapi beberapa menit sebelum ia membakar dirinya, ia telah mengririmkan email ke media, dan mengatakan bahwa: kematian saya oleh bahan bakar fosil, mencerminkan apa yang kita lakukan terhadap bumi kita sendiri.
Menimbang itu, aksi iklim yang positif mesti digalakkan untuk menyelamatkan siapapun, dimanapun dari ancaman bunuh diri karena kecemasan iklim.
” Sebab sekalipun para anggota/partisipan di extintion rebellion indonesia, di satu sisi memiliki emosi negatif, tetapi disisi lain terbantu meregulasi eco-anxiety yang mereka alami karena tersedianya wadah untuk berkontribusi dalam menghadapi perubahan iklim,” ujarnya.
Discussion about this post