Oleh. Heri Maja Kelana
Ketika Slavoy Zizek bilang bahwa “Cinta” adalah realisme magis, awalnya saya tidak paham apa yang dikatakan pemikir kontemporer tersebut. Kemudian ia (Zizek) melanjutkan pembicaraannya, dan ia mengatakan bahwa “setiap orang pasti pernah sakit dan disakiti oleh cinta, tapi mengapa masih membutuhkan cinta?”.
Dari pernyataan yang dilontarkan Zizek pada video biografi Zizek, saya berpikir kembali pada realisme magis. Apa cinta ini masuk pada realisme magis?
Saya sepakat bahwa cinta seperti sumur (sejarah) yang tidak pernah habis ketika kita memasukinya. Bahkan mengambil serpihan-serpihan dari cinta itu sendiri. Maksud saya, cinta adalah bahasan yang tidak pernah selesai diperbincangkan. Karena cinta banyak memiliki pintu yang akan mengantarkan pada banyak ruang.
Pada buku kumpulan puisi Aku Lelakimu Setia Menunggumu karya Kang Maman, saya menemukan magisnya cinta. Magisnya cinta yang saya temukan pada bagian “Ibu Anak-anakku”. Pada bagian lain, saya menemukan pula, akan tetapi saya melihat puisi yang paling kuat dari buku ini ada pada bagian Ibu Anak-anakku.
Pada bagian Ibu Anak-anakku, aku lirik seperti tidak meminjam tubuh orang lain. Aku lirik hanyut pada narasi puitik yang sedang dibangunnya. Pada bagian ini, terdapat 12 puisi, dan sepertinya 12 puisi ini adalah kredo dari narasi cinta yang dibangun pada buku ini.
Kejujuran pada 12 puisi sangat terasa pada saya sebagai pembaca. Aku lirik bermain cinta lewat aforisme dengan intensitas kata perlarik tidak lebih dari 8 kata. Rata-rata 1,2,3,4 kata perlarik sudah dapat membuat semacam aforisme.
Aforisme dibangun bukan oleh pemadatan makna atau akrobat kata, melainkan dengan kata sederhana dengan kekuatan kejujuran dari seorang aku lirik.
Sebelum membaca buku kumpulan puisi Kang Maman, saya membaca novel dari Emili Zola yang berjudul Therese Raquin. Saya sulit sekali mencerna apa yang ingin dikatakan oleh Emili Zola dalam novel ini. Selain menceritakan kisah percintaan yang aneh dari karakter tokoh yang aneh pula. Therese dan Laurent. Namun saya berhasil menamatkan membaca novel tersebut.
Ketika membaca puisi Kang Maman, kepala saya tidak bersih tentunya. Masih tersimpan Therese dan Laurent. Namun saya mencoba untuk menjadi pembaca yang bersih, pembaca yang tidak dipengaruhi oleh teks-teks bacaan sebelumnya (bacaan yang pernah saya konsumsi). Namun hal itu sia-sia dan tidak berhasil. Karena bayangan-bayangan teks itu hasil dari pengalaman sejarah saya mengonsumsi setiap teks. Dan saya kira ini pun mungkin yang terjadi pada Kang Maman.
Pada novel Therese Raquin saya menemukan riang gembira dan optimis berhadapan dengan sikap pencemas. Dan ini menjadi satu cerita yang luar biasa.
Pada puisi Kang Maman, terutama bagian Ibu Anak-anakku saya juga menemukan sikap riang gembira dan optimis berhadapan dengan pencemas yang ditunjukan oleh aku lirik. Pada puisi “i” dalam bagian Ibu Anak-anakku ditulis
i
Dalam cinta
Karena cinta
Demi cinta
Beranilah berkata:
Tidak
Tidak
Tidak
Puisi “I” pada bagian Ibu Anak-anakku tidak dapat diartikan hanya dari satu teks puisi ini saja. Melainkan harus membaca keseluruhan puisi yang ada pada buku ini. Di atas saya mengatakan bahwa pada bagian Ibu Anak-anakku, 12 puisinya sebagai kredo. Puisi ini salah satunya.
Uniknya lagi, keseluruhan puisi yang ada pada buku ini, memiliki rima akhir yang taat. Tetapi bukan pantun, gurindam, syair, haiku, atau soneta. Bukan pula mantra. Saya tidak tahu disiplin apa yang dipakai dalam menulis puisi ini, yang jelas saya hanya ingin mengatakan bahwa kata-kata pada kumpulan puisi ini bernada.
Cinta, tema yang diangkat pada kumpulan puisi ini dihidupkan oleh kata-kata bernada. Cinta tanpa nada, akan biasa-biasa saja. Akan tetapi, dengan adanya nada, maka cinta akan menemukan jalannya sendiri, seperti alunan nada, kadang tinggi, rendah, atau stagnan tergantung si aku yang memainkannya.
Uniknya lagi, puisi satu dengan puisi yang lain saling bersahutan. Kadang saling menguatkan, kadang saling menegasikan. Ya begitulah cinta.
Dari sinilah semakin meyakinkan bahwa cinta dapat dikatakan realisme magis. Cinta itu entah adanya di mana, bentuknya seperti apa, namun dapat dirasakan bahkan dapat menyakiti. Dan tidak sedikit orang yang tersakiti oleh cinta. Namun banyak pula orang yang membutuhkan cinta.
Pergilah
Jangan tengok ke belakang
Jika dusta meraja penuh salah
Lupakan semua kenang
Ini yang tadi saya katakan sikap optimisme dari aku lirik. Atau pada larik
Lupakan momen patah
Meski kau sangat tabah
Di tanah di mana kau tengadah
Selalu dipayungi langit indah
Lalu sikap pencemas yang saya katakan di atas terdapat pada larik
Dekap erat bahagiamu
Jangan biarkan jadi layu
Hanya karena lelaki penipu
Yang cuma bisa tawarkan pilu
Atau pada puisi lainnya yang saya kutip secara utuh
ii
Tak pernah aku mengutukmu jadi batu
Agar bisa kupeluk semau-mauku
Tak pernah aku menyihirmu diam membisu
Agar hanya aku satu milikmu
Aku lelakimu
Bebaskanmu ‘tuk memilih hanya satu:
Aku!
Puisi-puisi Kang Maman lahir dari pengalaman yang luar biasa, meski memilih kata yang sederhana. Dan kesederhanaan inilah yang memunculkan keterikatan dengan pembacanya. Kekuatan Kang Maman pada kumpulan puisi Aku Lelakimu Setia Menunggumu pada kejujuran akan cinta yang dituangkan lewat bahasa yang sederhana. Bahasa yang dapat dicerna dalam sekali duduk membaca, namun maknanya tidak mudah hilang.
Dan inilah puisi dalam konteks perpindahan peristiwa yang luar biasa. Percepatan waktu dan sebuah fenomena yang tak pernah terpikirkan datang silih berganti memasuki ruang-ruang informasi memori otak kita. Seperti Citayam Fashion Week.
Discussion about this post