Oleh Doddi Ahmad Fauji
SEBELUM internet booming semeriah saat ini, media massa cetak macam koran, tabloid, majalah, adalah jendela informasi dan pengetahuan terdepan. Bukan berarti media massa elektronik macam TV dan radio tidak ikut membuka jendela, tapi informasi dari TV dan radio tidak terjangkau oleh banyak kalangan. Tentu media massa cetak juga tidak terjangkau oleh banyak kalangan, namun material ini lebih mudah didokumentasikan dalam bentuk kliping, dan mudah diperbanyak dengan cara di-copy, jika ada yang membutuhkannya. Media massa elektronik juga bisa didokumentasikan, tapi termasuk mahal biaya pengerjaannya.
Bagi para peneliti akademik dan sejarawan, dokumentasi media massa cetak adalah babon (bahan) paling berharga. Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di Jakarta misalnya, telah dikunjungi oleh para peneliti bahkan dari luar negeri, untuk menyusun skripsi, tesis, hingga disertasi dalam bidang sastra, seni, dan budaya. Keberadaan PDS Jassin terselamatkan karena kebijakan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, yang menyadari betapa pentingnya dokumentasi cetak, hingga PDS Jassin diberi ruang di Kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Para dokumentator di luar Jakarta, dapatkah memperoleh nasib semujur PDS Jassin? Meski, untuk ukuran negara besar Indonesia, fasilitas yang disediakan PDS Jassin pun tergolong kecil. Sangat kecil anggarannya.
Para dokumentator media massa ini tergolong manusia langka, karena selain butuh peminatan khusus, kesadaran tinggi, juga butuh biaya untuk pengadaan materi dan perawatannya. Karena itu, manusia langka seperti ini, patut diapresiasi bukan saja oleh para peneliti, tapi oleh semua stake-holder yang berkaitan dengannya, seperti Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten/Kota dan provinsi, perguruan tinggi, sekolah, perusahaan informasi.
Di era booming internet ini, tiba-tiba muncul postingan lewat FB awalnya, koleksi media massa cetak macam koran, majalah, bulletin, poster, flyer, dll. Salah seorang yang rajin memposting koleksinya itu adalah Kin Sanubary, yang tinggal di Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Saya termasuk orang yang di-tag dalam postingan Kin, yang mengabarkan saya ternyata pernah menulis soal urgensi dakwah lewat karya seni. Tulisan dimuat pada Tabloid Salam, terbit tahun 1996. Tentu tag tersebut sangat menggembirakan, karena koleksi kliping saya hancur babak belur dihantam banjir bandang kota Jakarta pada 2002, dan sebagiannya tercecer dipinjam sana sini, dan tentu tak kembali.
Saya jadi terpikir untuk menyusur galur dokumentasi tertulis, memeriksanya, dan mengelompokkannya berdasarkan tema, dengan harapan dapat dibeundeul dalam bentuk buku elektronik (E-Book), dengan harapan lanjutan, E-Book tersebut bermanfaat untuk penelitian.
Maka saya menjapri Kin Sanubary, melakukan dialog secara virtual dan maraton, sebelum mengutarakan niat ingin mencari-cari tulisan saya yang pernah dimuat di media massa. Menurut Kin, beberapa tulisan saya banyak ia temukan di koran Media Indonesia. Tentu saja, karena saya pernah menjadi wartawan di MI sejak 2 Desember 1998 hingga April 2005. Nah, alhamdulillah, kabar ini makin menguatkan niat.
Berikut petikan Dialog dengan Kin yang dilakukan secara tertulis sejak tanggal 13 – 17 Juli 2022 ini.
Dari mana ide mengoleksi media massa cetak itu muncul?
Apa tujuannya?
Dari mana sumber dananya?
[19:01, 7/13/2022]
Kin Sanubari:
Kin sejak usia Sekolah Dasar sudah mempunyai kegemaran membaca, kebetulan paman mempunyai taman bacaan dan penyewaan buku-buku novel dan komik. Berlanjut hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP), kebetulan menjadi pengasuh dan pengelola koran dinding.
Ketertarikan untuk mengumpulkan dan mengkoleksi koran-koran lawas, bermula sejak menemukan beberapa lembar surat kabar terbitan tahun 1950-an di lemari pakaian kakek, yaitu surat kabar Indonesia Raya terbitan tahun 1953, yang secara tidak sengaja ditemukan sebagai alas tumpukan pakaian.
Hobinya berlanjut dengan cara membeli surat kabar dan majalah secara eceran. Hampir semua surat kabar yang terbit dan beredar dari Bandung dan Jakarta, dibeli Kin secara bergiliran. Ketika duduk di bangku SMP sekitar tahun 1985, Kin baru bisa membeli koran dan majalah secara langganan dengan cara menyisihkan uang bekal sekolah. Ketika itu Majalah Bobo, lalu Majalah Hai dan tabloid hiburan Monitor, dibeli secara rutin dari awal terbitan perdana hingga tak beredar lagi karena dibredel (dibekukan SIUPP-nya).
Motivasi membeli dan mengumpulkan surat kabar dan majalah karena hobi membaca, Kin tertarik dengan berita-berita tentang musik, film, hiburan, dan olahraga. Dengan membaca, Kin menjadi banyak informasi, menambah wawasan dan mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi dalam dan luar negeri.
Sampai sejauh ini, manfaatnya yang terasa untuk sendiri dan untuk publik, bisakah dirinci?
Manfaat dengan mengumpulkan koran dan majalah, bisa turut membantu saudara, kerabat dan sahabat yang membutuhkan berbagai informasi terutama tugas dari sekolah. Biasanya ketika itu para siswa suka diberi tugas untuk membuat kliping tentang olahraga, ilmu pengetahuan dan teknologi atau artikel yang berhubungan dengan sejarah.
Dan Kin mesti bersyukur, semua materi yang dibutuhkan ada di surat kabar yang Kin simpan.
Ada berapa jumlah koleksi sekarang? Dan, apa yang direncanakan kini dan ke depan dengan koleksi itu?
Semula semua surat kabar dan majalah yang Kin kumpulkan tersimpan di lemari dan rak buku, lebih dari 20 tahun lamanya. Dan baru dibuka-buka kembali setelah ada sosial media sekitar tahun 2010-an. Adapun jumlah media cetak yang Kin koleksi, baik surat kabar, koran mingguan, tabloid, dan majalah, ada sekitar 3.000 eksemplar dari kurang lebih 300 perusahaan penerbitan, dalam dan luar negeri.
Koleksi media cetak lawas yang disimpan Kin, baru diketahui publik yaitu ketika surat kabar Pikiran Rakyat tahun 2006 merayakan ulang tahun yang ke 40 tahun, ketika itu PR memuat koleksi koran PR terbitan tahun 1966 pasca peristiwa G30S PKI yang dimiliki Kin, yang secara kebetulan berkaitan erat dengan kelahiran Pikiran Rakyat.
Tulisan ini kemudian dilengkapi dengan pernyataan Kin yang disampaikan lewat Voice of Amerika (VOA), saat Kin diwawancari oleh Leonard Triyono. Saya dikasih dokumentasi audio-nya oleh Kin, dan setelah ditranskripsi, disunting, berikut tuturannya:
Banyak perusahaan pers yang kini sudah tutup, terutama saat pandemi, dan perusahaan yang didirikan pasca-reformasi ketika kebebasan pers dibuka, mereka terbit hanya sebentar, dan tentu kini sudah tidak ada.
Mendapatkan surat kabar luar negeri, bermula dari pendengar siaran radio luar negeri sejak 1980-an, ada di antara penyiarnya yang bekerja dari Indonesia, mereka berkenan mengirimi saya surat kabar yang terbit di negerinya.
Ada surat kabar dari Amerika, di antaranya USA To Day. Kebanyakan surat kabar dari Australia, Jerman, dan Prancis. Saya juga suka berkorespondensi dengan beberapa kedutaan luar negeri yang ada di Indonesia, dan dikirimi surat kabar atau majalah yang terbit di negara mereka.
Koleksi surat kabar luar negeri bisa didapat tanpa harus mengeluarkan uang, karena biasanya dikasih oleh bagian penerangan mereka.
Untuk koran-koran daerah yang terbit di kota atau provinsi lain, ada yang didapat dengan cara korespondensi surat menyurat, atau ketika saya berkunjung ke sebuah kota, saya usahakan bisa mendapatkan koran/majalah, satu hingga tiga eksemplar.
Awalnya hanya satu lemari, dan jumlah bertambah, dan selama bertahun-tahun tersimpan dalam rak buku. Sebagian kena rayap, dan untuk konservasi-nya, salah satunya dengan dikasih plastik, dikasih zat kimia tertentu untuk konservasi dan restorasi yang rusak.
Sekira enam tahun lalu, saya mulai sosialisasikan di sosmed ini koleksi, dan terhubung dengan beberapa kolektor yang sama, dan mereka memberi tahu saya trik-trik untuk konservasi.
Pengoleksian ini dipicu oleh keingintahuan terhadap informasi yang mengundang rasa penasaran, yang muncul di media massa, yang sampul depannya memuatkan foto-foto inspiratif, misalnya pada tahun 1990-an ketika Perang Teluk meletus, konser musik, atau film yang harus ditonton. Puncaknya saat ada sosial media ini, koleksi ini diumumkan kepada publik.
Ada perorangan atau awak media yang datang ke saya, meminta informasi atau data yang mereka butuhkan. Heri Gendut Janarto ketika akan merampungkan novel, ia menghubungi saya, meminta informasi tentang film-film yang tayang di bioskop Yogyakarta sekitar tahun 1970-1980-an, dan di koleksi saya, informasi yang dibutuhkan itu ternyata ada.
Ketika koran Pikiran Rakyat merayakan ultah ke-40, saya diberi penghargaan sebagai pembaca PR terloyal.
Sekira tahun 2.000, saya juga dikunjungi oleh awak media dari Kompas Grup, dari majalah yang diasuh oleh alm Arswendo Atmowiloto, dan diundang dalam acara Tribute to Arswendo Atmowiloto pada akhir 2021.
Koleksi saya yang dititipkan di Redaksi koran Pikiran Rakyat, mendapat apresiasi dari Presiden Jokowi, yang berkunjung dadakan ke PR, dan Pak Jokowi terkagum-kagum melihat koleksi yang ada.
Ada hikmah di balik koleksi yang ada, ketika saya upload ke sosmed, mendapatkan tanggapan langsung dari para pelakunya, para wartawan, dll.
Majalah tertua koleksi saya adalah terbitan tahun 1950, juga surat kabar Nusantara dan Indonesia Raya terbit tahun 1957. Saya belum lahir, dan menemukan surat kabar itu pada tumpukan pakaian di lemari baju.
Ada beberapa awak media, menerbitkan kembali koleksi lawas yang saya miliki di web. Tapi Media cetak lebih punya ciri khas sendiri, yaitu pendalaman materi yang disajikan dan dikabarkan.
*
Biodata
Nama Asli : Ikin Sodikin Mustari
Nickname, ID : Kin Sanubary (sudah digunakan sejak 1985, sebagai nickcname fans di radio)
Lahir : Subang, 4 Januari 1971
Pendidikan : Alumni Politeknik Negeri Bandung (Politeknik ITB, 1992)
Pekerjaan : Karyawan swasta
Alamat : Tanjungwangi, Cijambe, Subang
Istri : Kurnia Fatmawaty
Anak : Iqbal Fathuracman (27 th)
Ichsan Syamsul Alam (21 th)
Ikhwan Fakhrushiddik (15 th)
Discussion about this post