BUAH NALAR TUMBUH DARI AKAR KONTRADIKTIF (Bagian 2)
SESUATU yang nyata dan pasti, tak bisa ditawar-tawar lagi, semua manusia pasti mati, dalam keadaan sakit keras atau tampak sehat nan bugar, dalam usia sudah lanjut atau masih di dalam kandungan, dalam keadaan kaya-raya atau berada pada titik paling memprihatinkan. Tapi yang paling ditakutkan oleh semua manusia normal, ialah meninggal dalam kondisi yang amat buruk, yaitu tengah memunggungi Tuhan sebagai Prima Kausa, seraya menjadi alamat kebencian atau kutukan manusia liyan.
Pada 27 – 28 Juni 2021, saya merasa akan mati mengenaskan, karena demam dan gigil yang memuncak, membuat saya bermimpi dengan isi yang mengerikan, dikejar-kejar ular berbisa bersama orang-orang yang amat jahat. Saya terbangun, dan segera menggantikan posisi kepala, dari semula berada di utara, berpindah ke selatan. Sehabis berganti posisi, saya berdoa lalu tidur lagi. Syukurlah mimpi menakutkan itu tidak datang lagi, tapi demam tinggi terasa benar belum juga turun. Mungkin saya kena virus corona, tapi saya tidak mau di-test swab, takut benar-benar positif lalu jadi panik dan dibawa ke RS. Banyak kawan mengalami seperti saya lalui, mereka dibawa ke RS untuk diobati, tapi malah meninggal di sana.
Dirindukan atau ditakutkan, kematian akan datang juga. Tapi saya takut mati dalam keadaan amat buruk. Saya teringat beberapa utang dan pekerjaan yang belum juga rampung, dan entah kenapa, begitu sulit kurampungkan. Saya tak mau menyalahkan orang lain, meskipun belum rampungnya beberapa pekerjaan itu, terikat oleh tabit dan karakter kinerja orang lain yang tak tuntas, lalu pergi begitu saja, dan saya yakin dia tidak takut atau tidak terbayangkan bakal mati dalam perjalanan. Moga yang pernah berbuat buruk kepada siapapun, ia segera menyadarinya lalu beralih haluan, menjadi manusia yang baik lagi bermanfaat, minimal bermanfaat bagi diri dan keluarganya, dan lebih bagus lagi bila bisa bermanfaat untuk orang lain.
Saya ingin menyelesaikan utang-utang pekerjaan tertunda itu, lalu berdoa, “Ya Allah, ini kali ketiga saya merasakan kondisi seperti ini, yaitu tahun 2001 dan 2012 lalu, dan sekarang tahun 2021, sebuah angka yang kebetulan terdiri dari 0, 1, dan 2. Beri saya waktu baik, kesempatan baik, tenaga dan pikiran baik, untuk merampungkan yang menjadi kewajiban saya. Kembali ke 0, mulai dari langkah 1, lalu 2, dan seterusnya. Sembuhlah sembuh hai batinku yang terluka!”
Demam itu berlalu, tapi penciuman dan pengecapan tidak berfungsi normal. Minyak kayu putih dikucurkan ke lidah, tak terasa pahit, dan tak tercium wanginya. Tiba-tiba saya juga merasa tak bisa berpikir jernih. Berkali-kali menulis artikel, terhenti di tengah jalan. Setelah saya baca ulang, artikel itu terasa kusut, tak bermakna, tidak inspiratif, tidak bertenaga, dan malah mencerminkan orang yang aral, sarat dendam amarah, atau putus harapan. Akhirnya saya hapus. Lalu saya baca-baca berbagai referensi dan pernyataan tokoh-tokoh hebat, dari mulai Sayidina Ali, Thomas Hobbes, Friederich Nitzsche, hingga para penulis tak dikenal yang terasa oleh saya, pernyataannya datar dan kadang sok tahu.
Menilai orang lain ‘sok tahu’ itu, kemudian saya renungkan berulang-ulang, kenapa harus muncul dari pikiran saya?
Untunglah kali ini saya tidak reaktif. Saya menyadari, hal buruk dari sifat saya, adalah reaktif dengan spontan melontarkan kritikan, kadang tanpa tendeng aling-aling, padahal lontaran kritik saya itu, bisa jadi hanya kebenaran alternatif yang saya yakini, adapun pendapat orang lain belum tentu salah juga, malah bisa jadi lebih mengandung kebenaran yang argumentatif, dengan didukung oleh data dan fakta yang afdol nan sohih.
Teringat saya pasti mati, dan tak boleh mati dalam keadaan buruk serta punya utang, memandu hati untuk bisa luluh dan luruh, dan berusaha ‘ngupahan maneh’ (mengobati diri sendiri, dengan jalan menghibur diri). Saya tak boleh menyalahkan siapapun, tapi juga tak boleh larut dalam kesedihan sambil menyalahkan diri sendiri. Yang terbaik saat ini, lupakan sakit itu, dan segera bertindak. Meratap dan menyalahkan keadaan, hanya ikut mempertegas jiwa yang lemah. Mengeluh dan banyak menyalahkan orang lain, hanya menunjukkan diri ini tidak bisa mensyukuri apa-apa yang sudah diberikan, yang saat ini ada di hadapan.
Saya akui, saya bukanlah penulis artikel brilian, yang inspiratif, yang bila dibukukan, akan laris bak kacang goreng, dan dicatat sebagai best seller. Namun tidak sedikit orang yang justru bergelar master atau malah doktor, tampak tidak dapat menulis artikel dengan lebih baik: “Maka nikmat Tuhan yang mana lagikah yang akan kau dustakan?”
Baik atau tidak baik, maka artikel pengantar buku antologi Puisi Kontradiktif ini harus selesai, guna memenuhi isi doa yang saya panjatkan: “Beri saya waktu baik, kesempatan baik, tenaga dan pikiran baik, untuk merampungkan apa yang menjadi kewajiban saya. Wahai jiwaku yang terluka, sembuhlah sembuh!” *
Bersambung.
Discussion about this post