Oleh Doddi Ahmad Fauji
Buah Nalar Tumbuh dari Akar Kontradiktif (Bagian 1)
BUKU antologi puisi ini, diproses memakan waktu yang lama, hampir dua tahun. Belakangan ini, saya makin sensitif berhadapan dengan puisi, justru ketika antusias masyarakat dalam menulis puisi, tampak mengalami euforia di berbagai negara. Karya tulis berupa puisi, prosa, artikel terus berseliweran di berbagai media sosial, penerbitan buku kian menggunung, namun bangsa Indonesia terasa makin tertinggal dalam berapresiasi terhadap kata, dan dampaknya tetap tak dapat menciptakan piranti kreatif peradaban. Kita semakin harus membeli peralatan teknologi canggih, bahkan hasil tani-ternak yang dibutuhkan agar jiwa-raga kian sehat, kuat, dan waras.
Puisi adalah salah satu genre atau jenis dari karya sastra, yang harus menjadi bacaan sekaligus panduan, menjadi hiburan sekaligus renungan, jadi tontonan sekaligus tuntunan, karena secara etimologi, sastra itu mengandung arti media pembelajaran, tentu pembelajaran yang baiklah muaranya.
Pernah dulu, kata sastra ditambahi dengan afiks ‘su’,yang artinya baik, hingga tertulis kata ‘susastra’, agar tiap tulisan bermuara pada kebaikan, disampaikan dengan bahasa yang tertata baik, dan mengusung topik baik pula. Namun ternyata kata ‘baik’ memiliki batas yang luas, hingga karya yang dinilai kits atau junk pun, terasa masih menyimpan sisi baiknya, yaitu sebagai contoh yang tidak baik, agar pembaca tidak ikut terjerumus. Karena batasan baik amat beragam, akhirnya afiks ‘su’ dihilangkan, dan kembali digunakan istilah sastra. Meski demikian, secara keseluruhan para pengguna bahasa berharap karya tulis yang bisa disebut sastra tetaplah yang baik, maka ditulislah istilah ‘kesusastraan’ dan tidak dituliskan dengan istilah ‘kesastraan’.
Seperti apakah karya sastra yang baik? Jawabannya, sekali lagi, sangat vartiatif dan bisa banyak versi, tergantung pada wawasan, latar sosial dan budaya pembaca, serta capaian pendidikannya.
Namun saya ingin mengamini pernyataan Aristoteles, bahwa karya sastra yang agung ialah yang bermuatan tragedi, yang kelak bisa membangun kesadaran para pembaca. Salah satu tragedi yang dialami manusia adalah menjalani kondisi yang kontradiktif.
Manusia yang multidimensi, seringkali terjebak dalam kondisi yang kontradiktif. Terkadang manusia ingin sama dengan yang lain, yang sedang trend dan menjadi mainstream (arus utama), agar tidak ketinggalan jaman, atau malah takut disebut tidak update alis jadul (jaman dulu), tapi adakalanya manusia ingin berbeda dari yang lain, agar unik dan out of the box. Dalam satu sesi berfoto ria misalnya, di-unggah ke sosmed, ada foto dengan caption (penjelasan) gerakan out of the box, tapi mereka yang berfoto itu, mengenakan baju seragam. Bagaimana bisa ide out of the box dijalankan oleh orang-orang yang membutuhkan seragam dan keseragaman?
Begitulah manusia, berdiri di antara dua bahkan lebih jalur yang seringkali bertentangan arah dan arus, antara tujuan dan praktik, antara ‘das solen dan das sein’, antara harapan dan kenyataan. *
(Bersambung)
Discussion about this post