Buah Nalar Tumbuh dari Akar Kontradiktif (Bagian 6, habis)
Nalar Terikat
LAWAN warna putih adalah tidak putih. Namun dalam kaitan bendera Republik Indonesia, lawan warna putih adalah ‘tidak putih’, lalu apa yang tidak putih dalam bendera Indonesia, hanya ada warna merah. Maka dalam nalar terikat, jawaban bisa diberikan langsung merujuk pada ‘itu’ yang memang tiada lagi pilihan, yang dalam kaitan bendera Indonesia, hanya ada warna merah dan putih.
Melalui paparan di atas, tentang ‘ada’ dan ‘tidak ada’ serta ‘putih’ dan ‘tidak putih’ dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam kerja bernalar itu terdapat nilai ‘kontradiktif’ atau bertentangan makna kata. Guna mengembangkan cara bernalar hingga ke hakikat kata yang medasar atau radikal itulah penulisan puisi dengan tema atau topik yang kontradiktif, terasa perlu untuk diuji-cobakan terus-menerus.
Hakikat Berpuisi dan Kepenyairan
BAGI saya, berpuisi setara dengan berfilsafat, maka dengan demikian, hakikat kepenyairan ialah melakoni hidup sebagai filsuf. Menulis puisi dengan tema apapun, memiliki tujuan untuk merenungkan nilai-nilai yang bisa ditempatkan sebagai jalan untuk mencari dan menyuarakan kebenaran, sekalipun kebenaran di tangan manusia bersifat pilihan (lternatif). Kebenaran dari hasil olah pikir manusia adalah keberan alternatif, sedangkan kebenaran mutlak hanya milik Allah.
Upaya mencari dan menyuarakan keberan selaras dengan arti harfiah dari filsafat, yaitu mengkaji kebenaran masalah mendasar dan umum tentang pelbagai persoalan yang menyangkut keberadaan diri, nilai, akal, pikiran, etika, bahasa, pengetahuan, dan lain-lain.
Metodologi atau tatacara untuk mencapai pikiran yang benar, bernas, waras itu, dalam ilmu filsafat barat, digunakanlah cara berpikir logis atau waras. Terkadang logis (logika) dijadikan sebagai metode untuk berfilsafat, namun di sekempatan yang lain, logis atau waras itu, logika atau nalar itu, ditempatkan sebagai bagian atau hanya cabang dari ilmu filsafat.
Jika menyebut Filsafat Barat, akan menyebut bangsa Yunani, terutama setelah lahir pertanyaan, pernyataan, pendapat, dan karya trio filsuf akal budi: Sokrates, Plato, Artistoteles.
Sebelum ketiga tokoh filsafat akal budi itu, telah muncul para filsuf termasyhur, yang merenungi hakikat alam dan penciptaannya, yang karena itulah, mereka disebut sebagai filsuf helenisme (filsafat alam). Bahasan tentang alam ini berkisar pada unsur utama (arkhe) yang telah menyusun alam semesta ini. Filsfuf Thales berpendapat ‘air’ menjadi unsur utama, Anaximandros mengatakan sesuatu yang nonfisik dan tak terbatas, lalu Anaximenes mengatakan unsur udara.
Nah, setelah filsafat helenisme, lahirlah filsuf yang membahas ilmu pasti dan matematika, yaitu Phytagoras, Heraklitus, Parmenides, Anaximendes, dll. Teori Phytagoras (570–495 SM) yang disebut teorama, dianggap paling bernas dalam matematika, hingga namanya diabadikan menjadi salah satu cabang dalam ilmu matematika, selain cabang aljabar, aritmetika, kalkulus, geometri, dll.
Sebelum lahir tatacara berpikir (filsafat) itu, jawaban untuk pertanyaan tentang unsur yang membentuk alam ini, orang Yunani selalu berpaling pada dongeng atau mitos, yang di Indonesia, hingga kini masih banyak masyarakat yang mengedepankan dongeng, mitos, babad, legenda, dll. Indonesia mesti mencari tatacara berpikir sendiri, untuk melahirkan filsafat sendiri. Perlukah?
Dalam persebaran ilmu filsafat, dikenal dua aliran, yaitu Barat dan Timur. Filsafat Barat diawali dan diwakili oleh bangsa Yunani, sedangkan Filsafat Timur yang sering dijadikan rujukan adalah bangsa China, India, dan Jazirah Arabia. Indonesia merski berada di Timur, tidak disebut atau dicatat sebagai bangsa yang punya sejarah filsafat dan masuk ke dalam golongan filsafat timur. Indonesia tidak masuk ke dalam barisan Barat pun Timur. Artinya, Indonesia harus merumuskan sendiri, dan itu dapat dimulai dari pertanyaan apa lawan dari ‘ada’?
Bandung, November 2021
Doddi Ahmad Fauji
Discussion about this post