Oleh Doddi Ahmad Fauji
Vanka, ada yang berkata
takdir ibarat roda pedati
naik turun ke atas dan bawah
aku pernah di atas, sampai melambung
namun kemudian terbanting
Vanka, betapa menyakitkan
perusahaan tempatku berladang
tiba-tiba bangkrut meradang
aku jadi morat-marit lebih lucu dari doger monyet
lalu aku lari ke jalanan sebagai orang linglung
luntang-lantung menghitung kerlip bintang
hanya untuk membunuh waktu
Dari keleluasaan angkasa, menguar suara ini:
Jangan jadikan tiang untuk bergantung
jangan jadikan gunung tempat berlindung
uang hanyalah tuak, membuat manusia
mudah mabok dan lupa diri
Betapa pedih hidup terseok-seok di jalanan
tanpa peta dan arah tujuan pasti
malang benar, aku bertemu para rompak
mereka memukuliku hingga babak belur
Aku mengira itulah akhir engah nafasku
menguap bersama harap yang lenyap
lalu pelita sirna dicerna buana
lalu gelap merambat tak terucap
Untung tak dapat diraih
malang tak dapat ditolak
bangkrut, terpuruk, remuk, gelap, lenyap
menjadi kleidoskopku yang tragis
Namun takdir
berputar seperti roda pedati
dan selepas susah akan datang mudah
sehabis terhimpit, siapapun bisa bangkit
Lalu kau muncul dari balik kabut
menunggang kuda putih
berjubah putih
Kuda berlari, menjemput pagi
kuda menerjang, di puncak siang
kuda berderap, di malam gelap
kuda menjemput lelaki yang malang
Lengan bantuan yang kau ulurkan
seperti lentik jemari malaikat
senyuman yang kau terbitkan
adalah matahari yang menumbuhkan
Lalu tunas tumbuh bermekaran
darah menderas seperti hujan tadi malam
kau menatapku, aku menatap-mu
kau mengulurkan senyuman
kubalas dengan anggukan
Dan kita berdua berkuda
menyusuri gunung dan lembah
dua pedang dua sukma
mengepung kota
kuda terus menerabas batas
melintasi terjal imajinasi
menyebrangi samudra cahaya
menjelajahi gelombang suara
Lalu di buana yang fana
takdir seperti ditambatkan
dua menjadi satu, kau dan aku
Bandung, 2018 – 2019
Discussion about this post