Bismillahi-rohman-nirohim.
Eril sudah dikuburkan, semoga ia menerima maghfiroh dan berkah dari yang Maha Agung.
Moga setelah semua reda dan kembali pada sedia kala, kita menatap Sungai Aare, tidak dengan sanjung-menyanjungnya, tapi tersindir keras, kok bisa sungai itu mengalir jernih sejak dari matanya di Alpen, hingga sampai ke muara. Dan, orang-orang soleh tergerak membersihkan Citarum supaya seperti Aare, meski ini berbau utopia, seperti menegakkan benang yang basah.
Namun tak ada yang tak mungkin, terutama bila memang benar kita ini soleh di semua bidang, bukan sekedar di rumah ibadat dan dalam sosmed. Orang soleh pastinya orang yang taat beragama, dan orang yang taat beragama itu pastinya orang yang beriman, dan orang yang beriman itu bukan sekedar mengucapkan, tapi menjalankan anadofatu minal iman (kebersihan itu sebagian dari iman). Bila lingkungan dan diri kita masih kotor, berarti iman kita corencang, keberagamaan kita masih torotol, dan jangan-jangan, kesolehan kita baru sebatas pencitraan.
Kesolehan yang sebatas prasangka, mungkin atau pasti, pasti atau mungkin, rasanya sulit terpanggil untuk mewujudkan ajaran agama yang berlabel ‘rahmatan lil-alamin’ (berkah bagi seluruh alam). Alam bukan hanya manusia, tapi juga batu, gunung, bekicot, maggot, bandot, pepetasan, merecon, pelacur, golok, babi, rendang, got, gang, tempat pembuangan sampah, toilet masjid, pasar tradisional, jurig dan sesajennya, kemenyan dan dukunnya, terutama sampah dan sungai. Seakan sampah itu mati, sungai juga mati, maka sampah dibuang ke sungai oleh warga yang pada tahu apa artinya bersih Sebagian daripada iman.
Semoga setelah menonton kesedihan, atau ikut menjadi pemeran sekalipun sekedar figuran, kita menjadi orang-orang soleh yang hakikiyah, yang dapat memulihkan kelam Citarum, menjadi sungey yang bersih dan jernih, teduh dan sejuk, dan orang-orang dari manca berdatangan ingin berenang di Citarum, lalu setelahnya nyeruput kopi luwak atau bajigur, ditemani rujak bebek atau seblak.
Setadinya (ini kata tidak baku), saya ingin melontarkan pendapat, tapi dirasa tidak etis, dan malah dibilang cari sensasi atau apalah. Namun karena sekarang perkara sudah jelas, dan almarhum juga sudah dikuburkan, saya merasa perlu untuk menakar kewarasan dan kesadaran saya sendiri, maka segera iseng saya nengok FB-nya Kiyai Fritz yang pendapatnya itu, akan dibilang ‘Pret’ oleh yang kontra.
“Sementara pameran mayat dimenangkan oleh Jawa Barat. Ayo Jawa Tengah dan Jawa Timur, pamerkan mayat kalian yang paling harum,” tulis sang Kiyai.
Walau tampak nyinyir, namun justru menjadi sindiran keras apa yang dilontarkan Kiyai Fritz itu, terlebih Jawa Barat ini, menurut KPK adalah Juara, dan juga dulu mah santer ada jargon Jawa Barat Juara. Juara apa weh, yang penting juara.
Penguburan orang meninggal yang diikuti oleh iring-iringan begitu panjang, beberapa kali terjadi di belahan dunia ini, terutama terhadap tokoh atau keluarga tokoh, yang cara meninggalnya itu melahirkan ‘rasa’ di dalam hati. Seperti apa rasa yang dimaksud? Sulit dijelaskan dengan kata-kata. Biarlah Allah yang maha tahu dan dirinya yang ikut tahu.
Saya ingat bagaimana penguburan Mbak Surip si pelantun larik ‘Ai lop yu pul’ itu, membuat jalan ke pemakaman seniman di Bengkel Teater Rendra macet total. Anak-anak dengan ditemani orang tuanya, yang menyumbangkan kemacetan itu. Ada yang rela harus berjalan kaki hingga 3 KM. Rupanya Mbah Surip membuat anak-anak merasa kehilangan salahsatu biduan lucu, yang bikin mereka terhibur. Bahkan ketika Rendra mangkat, jalan ke arah rumah istirahatnya memang macet, tapi kalah oleh damoak si Mbah.
Eril pasti ada pengagumnya. Tapi pasti tak akan sebanyak Mbah Surip kan? Bahkan banyak yang baru tahu, ternyata Kang Emil punya anak bernama Eril. Saya juga baru tahu, dan ini contoh buruk atau justru contoh baik, sangkan aku tak termasuk golongan peng-kepo akut. Duh, ampun gusti.
Penguburan Eril, misalkan ia bukan anak dari tokoh kondang, akankah diantar oleh pelayat yang mengular mengekor? Wallohu ‘alam bisshawab (baru kali ini sebagai wahabiah aku berucap wallohu ‘alam bisshawab).
Penguburan Pak Harto dan Gusdur, pelayatnya juga kelewat banyak. Namun, dari sekian penguburan dengan pelayat banyak itu, akankah jadi jaminan yang meninggal akan masuk sorga? Menurut syariat sih iya.
Kalau ditanya kepada salafiyah yang wahabiyah, adzan di tepi sungai untuk orang hanyut bagaimana hukumnya, mereka akan mengatakan itu bid’ah. Saya berada di lingkaran wahabiah, tidak akan mengatakan ini atau itu bid’ah. Mangga bade kumaha oge, asal jangan merugikan orang lain.
Saya berani mengatakan, bahwa membakar kemenyan untuk mengusir jurig dari kelas virus macam corona, adalah tidak musyrik. Sebab membakar obat nyamuk untuk mengusir insektisida yang tampak itu, pada dasarnya juga sedang mengusir jurig yang bungkeuleukan, karena terlihat oleh mata. Tapi membakar obat nyamuk tak pernah terdengar disebut musyrik.
Saya malah dimarahi, karena mengatakan, jangan-jangan kita sedang bermusyrik kepada Quran, disebabkan menjadikan Quran sebatas ajimat.
**
Ia mati, dan selama hidup, tak pernah disebutkan siapa namanya, namun saat meninggal, dikuburkan oleh penduduk hampir oleh seluruh warga kota. Inilah penguburan yang berusaha memandang hal sakral, dari sudut yang paling melenceng, yaitu saat istri pelukis ternama, yang bernama Tokoh Kita, ujug-ujug wafat. Penguburan ini hanya fiksi, dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang, yang tiba-tiba muncul dalam ingatan saya, ketika melihat sekian story, status, atau apalah di sosmed, yang menyatakan kekagumannya atas peristiwa penguburan Eril.
Saat teringat penguburan istri Tokoh Kita, yang membuat warga terhipnotis oleh kebesaran sang pelukis, bahkan istrinya yang tidak diketahui namanya, warga berbondong-bondong menyatakan dirinya ikut terhipnotis. Pelukis kita ikut di barisan belakang, dengan pakaian lusuh dan tak dikenali, bertanya kepada yang ikut menguburkan, saiap yang meninggal?
“Istri pelukis terkenal di kota kita,” kira-kira begitu jawabannya.
Tiba-tiba saya membaca status Kiyai Frtiz itu, duh antara ingin tertawa dan merenung!
Sebetulnya saya tidak ingin berkomentar apalagi sindir-menyindir, kritik sana kiritik sini, cukuplah sesekali saya mengeritik kebijakan Ridwan Kamil. Dalam suasana berduka, adalah tidak etis jika melontarkan kritik, bukan karena takut dibilang nyinyir, namun perasaan saya mengatakan, itu tidak baik.
Namun bukan hanya pawai dalam pengantaran jenazah yang benar-benar marak. Tapi juga dalam penulisan puisi. Entah kenapa, dan memang tidak sepantasnya pula, saya menulis puisi untuk atau tentang kejadian di Kota Bern itu. Bolehlah saya dianggap tidak punya perasaan.
Saya punya perasaan, makanya juga beberapa kali meneruskan warta yang dianggap cukup penting tentang Eril ini. Tapi hususon untuk menulis puisi, saya tak bisa. Saya berharap bahwa setelah ini, para pembesar dan ambtenar di negeri ini, para clerk dan abdi negara, merenungkan dengan sungguh-sungguh, mengapa sungai Aare begitu jernih dan bersih, sejuk dan teduh, dari hulu hingga muara, padahal kalau ditanya ke orang Islam, akan menuding bahwa penduduk di Swiss banyak bukan orang Islam, karena itu, mereka adalah kafir. Mengapa Citarum dan Cikapundung, Bengawan Solo atau Kalibrantas, dan sungai-sungai lainnya, begitu tercemar dan hitam, padahal berada di negara yang oleh sebagian orang, diseret jadi negara Islam. Beberapa sungai yang saya sebut, bila dideret dalam menelan jumlah korban, jauh lebih banyak dibanding Aare di Bern.
Akankah setelah penguburan itu, warga tergerak membersihkan Citarum, Cikapundung, Citanduy, dan ci ci lainnya, setidaknya untuk menunjukkan bahwa negeri ini dihuni oleh mayorita yang tahu artinya ‘anadofatu minal iman’?
Citarum harus bersih dan jernih, supaya kita mau berenang di sana, dan bila hanyut, tak sampai merepotkan banyak orang dan mengucurkan anggaran besar. Di Citarum, kita tikerelep.***
Discussion about this post