Oleh: A Mundzir
Ketika keputusan besar diambil tanpa visi yang jelas, sepak bola Indonesia kembali terperangkap dalam siklus yang sama.
Pemecatan Shin Tae-yong (STY) sebagai pelatih Timnas Indonesia menjadi polemik baru yang memancing pertanyaan besar di kalangan suporter. Jika tujuan keputusan ini adalah kemajuan, mengapa kontraknya diperpanjang tahun lalu? Siapa sebenarnya yang mula-mula mencetuskan ide untuk memberhentikan STY, pelatih yang dianggap telah membawa perubahan signifikan pada Timnas?
Sampai saat ini, tidak ada jawaban transparan mengenai asal muasal keputusan ini. Namun, pola seperti ini sudah berulang. Pemecatan pelatih dengan alasan “evaluasi internal” tanpa penjelasan detail kerap memunculkan kecurigaan adanya agenda tersembunyi, baik itu kepentingan politik, ekonomi, atau intervensi pihak-pihak tertentu yang lebih mementingkan keuntungan pribadi dibandingkan prestasi Timnas. Dalam sistem yang tidak transparan, wajar jika isu tentang mafia sepak bola kembali mencuat.
Keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan: siapa yang akan menggantikan Shin Tae-yong di kursi panas pelatih Timnas? Apakah kembali mengimpor pelatih asing, atau mencoba mencari talenta lokal yang dianggap lebih memahami kultur pemain Indonesia? Jika memilih pelatih asing, ada satu tantangan besar yang sering terabaikan—kemampuan mereka memahami karakter pemain Asia, khususnya Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa keberhasilan pelatih dari Eropa, Amerika, atau Amerika Latin tidak hanya bergantung pada skill mereka, tetapi juga pada adaptasi terhadap gaya bermain dan kultur lokal.
Kita masih ingat bagaimana Luis Milla yang membawa harapan besar akhirnya tersingkir bukan karena hasil buruk, tetapi karena ketidaksesuaian dengan dinamika internal sepak bola Indonesia. Alfred Riedl juga mengalami hal serupa, meski membawa Timnas ke final Piala AFF 2010. Apakah Indonesia akan kembali mengulang pola ini, di mana pelatih asing hanya menjadi “korban” dari sistem yang belum siap mendukung perubahan?
Keputusan pemecatan STY juga berpotensi mengganggu stabilitas tim. Program jangka panjang yang sedang dibangun olehnya bisa terhenti, memaksa pemain untuk kembali beradaptasi dengan filosofi dan pendekatan baru. Akibatnya, fondasi yang telah dibangun bisa runtuh sebelum sempat berkembang menjadi kekuatan yang stabil.
Pemilihan pelatih pengganti, siapapun itu, tidak boleh dilakukan secara reaktif atau sekadar untuk memenuhi target jangka pendek. Indonesia membutuhkan pelatih yang memiliki visi jangka panjang, bukan sekadar nama besar. Selain itu, pelatih tersebut harus diberi dukungan penuh oleh federasi, termasuk kebebasan dalam menjalankan program tanpa intervensi non-teknis.
Namun, persoalan ini tidak akan selesai hanya dengan menunjuk pelatih baru. Sepak bola Indonesia membutuhkan reformasi menyeluruh, terutama dalam aspek transparansi dan akuntabilitas pengambilan keputusan. Publik berhak mengetahui alasan di balik keputusan strategis seperti pemecatan STY. Apakah ini benar-benar hasil evaluasi obyektif, atau hanya permainan politik dan kepentingan segelintir pihak?
Selain itu, pemerintah harus kembali serius dalam memberantas mafia sepak bola. Satgas Anti-Mafia Bola yang sempat aktif pada 2019 perlu dihidupkan kembali dengan wewenang yang lebih besar. Kasus pengaturan skor dan intervensi dalam pengelolaan Timnas harus diselidiki hingga tuntas. Reformasi tata kelola federasi juga menjadi keharusan untuk memastikan sepak bola Indonesia dikelola oleh orang-orang yang kompeten dan berintegritas.
Sepak bola merupakan salah satu simbol harapan dan kebanggaan bangsa. Namun, selama pengelolaannya masih terjebak dalam kepentingan pribadi, mimpi besar Indonesia untuk berjaya di pentas internasional akan sulit tercapai. Pemecatan Shin Tae-yong menjadi cermin dari masalah yang lebih besar di tubuh sepak bola nasional. Jika tidak segera dibenahi, keputusan ini hanya akan menjadi episode lain dalam siklus kegagalan yang terus berulang.
Indonesia tidak hanya membutuhkan pelatih baru, tetapi juga arah baru dalam mengelola sepak bola. Reformasi yang mendalam, transparansi dalam pengambilan keputusan, dan komitmen untuk mendukung pelatih dalam jangka panjang adalah kunci untuk membangun Timnas yang kompetitif. Sepak bola adalah milik rakyat, dan sudah saatnya suara rakyat menjadi bagian dari perubahan yang nyata.
Penulis: A Mundzir, seorang Jurnalis dan Wakil Ketua 3 DPD PJS Jabar.
Discussion about this post