Oleh: Hendi Tantular A
Ulfi Rizki, ibu muda berusia 24 tahun, hanya bisa menahan sedih di salah satu bangsal RSUD Al Ihsan, Provinsi Jawa Barat. Harapannya untuk membawa pulang sang buah hati pupus meski dokter menyatakan bayinya sudah boleh pulang dari rawat inap pada Rabu, 8/1. Masalahnya, ia tidak mampu melunasi biaya rumah sakit.
Ulfi mengaku pihak rumah sakit mengharuskan pembayaran sebesar 75 persen dari total biaya rawat inap, yang mencapai lebih dari Rp 8 juta. Upaya Ulfi untuk meminta keringanan belum membuahkan hasil. Pihak rumah sakit tetap mewajibkan pembayaran uang muka sebesar Rp 2 juta, dengan sisa biaya dapat diangsur.
“Bagaimana bisa pulang, 75 persen tidak punya, 2 juta juga tidak ada”. ujar Ulfi kepada media.
Kehamilan pertama Ulfi penuh tantangan. Saat mengalami komplikasi berupa pecah ketuban, sementara usia kandungan belum mencukupi, ia bersama suaminya mendatangi bidan di tempat tinggal mereka. Sang bidan menyarankan agar Ulfi segera dirujuk ke rumah sakit.
Pasangan ini awalnya menuju RSUD Tegalluar, rumah sakit baru yang diharapkan dapat membantu masyarakat sekitar. Namun, rumah sakit tersebut tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, membuat pasangan ini bingung. Akhirnya, mereka membawa Ulfi ke RSUD Al Ihsan.
Pada 26 Desember 2024, Ulfi melahirkan bayi prematur yang memerlukan perawatan intensif di ruang khusus bayi prematur. Sementara itu, Ulfi sendiri sudah diizinkan pulang pada hari ketiga setelah membayar biaya perawatan secara umum. Hingga kini, ia hanya bisa bersedih karena tidak memiliki uang untuk membawa pulang sang bayi.
Ironisnya, kasus serupa terjadi sebulan sebelumnya di RSUD Al Ihsan. Bayi Rasya, yang baru berusia 9 bulan, didiagnosis mengalami infeksi serius dan memerlukan operasi darurat. Keluarga Rasya juga menghadapi kendala biaya dan akhirnya harus membayar secara umum agar bayi tersebut dapat pulang.
Sejumlah wartawan mencoba mengonfirmasi pihak-pihak terkait, termasuk Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Kabupaten Bandung. Ketua Tim RIJK (Regulasi, Informasi, dan Jaminan Kesehatan), Iwan Muhamad, menyatakan, “Setiap warga Kabupaten Bandung yang membutuhkan Jaminan Kesehatan Universal (UHC) sebenarnya dapat dibantu sesuai aturan yang berlaku. Namun, kewenangan terkait UHC berada di Dinas Sosial dan Sekretariat Daerah Bidang Kesra.”
Hingga berita ini diturunkan, pihak Dinas Sosial dan BPJS Kesehatan belum memberikan tanggapan.
Program Jaminan Kesehatan Universal (UHC) bertujuan untuk memastikan seluruh masyarakat Indonesia mendapatkan akses layanan kesehatan tanpa kendala finansial sesuai perundangan yang berlaku dan UU Dasar 1945.
Kasus Ulfi menjadi gambaran nyata bahwa pelaksanaan UHC di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Meski regulasi menjamin hak kesehatan warga, implementasinya di lapangan sering terkendala birokrasi, kurangnya koordinasi antar instansi, serta ketidakjelasan informasi bagi masyarakat.
Kasus ini menuntut perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan pihak RSUD harus lebih responsif terhadap kondisi warga miskin. Selain itu, transparansi dalam pengelolaan UHC dan edukasi kepada masyarakat tentang hak-hak kesehatan mereka harus ditingkatkan.
Sampai kapan nasib rakyat kecil seperti Ulfi Rizki dan bayi-bayi lainnya akan terus terabaikan? Saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, menjadikan kesehatan masyarakat sebagai prioritas utama. ***
Penulis: HTA: aktivis pelayanan kesehatan masyarakat Kab. Bandung. Kesehariannya sebagai jurnalis BitNews.id, juga menjabat sebagai Ketua DPC Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Kab. Bandung.
Discussion about this post