Oleh Santi Dania
Tidak dapat dipungkiri, bahwa kita tidak bisa melepaskan hal-hal seperti pengalaman mistik dan aspek supranatural dalam alam pemikiran sebagian orang Indonesia. Cara berpikir semacam itu, yang Tan Malaka menyebutnya sebagai logika mistika, memang tidak dapat ditinggalkan meski cara berpikir modern Barat yang saintifik juga sudah merasuki masyarakat kita.
Carl Gustav Jung (1875 – 1961), psikolog asal Swiss, adalah orang yang cukup memberi justifikasi hal-hal “irasional” tersebut dalam pemikiran psikologinya yang memasukkan gagasan tentang arketipe dan ketidaksadaran kolektif. Menariknya, Jung tidak memisahkan antara hayat dan karya, dan memang dalam kehidupan sehari-harinya, ia mempraktikkan cara pandang yang holistik dan intuitif.
Setidaknya hal tersebut dapat kita temukan dalam tulisan Buntje Harbunangin dalam buku berjudul Jung Café (2022) yang baru diterbitkan oleh Rapi Berkah Makmur. Buntje, seorang penulis, seniman, konsultan, dan juga praktisi psikologi, memang terlihat punya perhatian khusus terhadap Jung. Namun perhatian itu rupanya tidak hanya pada gagasan-gagasan Jung yang brilian tentang arketipal, the self, collective unconscious, shadow, anima animus, dan sebagainya, melainkan pada kehidupannya yang memang menarik.
Buntje, dalam tulisannya ini, seolah menuruti kata filsuf Prancis, Jacques Derrida dalam sebuah wawancara, “Selama ini cerita tentang seorang filsuf adalah seolah-olah dia lahir, berpikir, dan mati.” Derrida hendak mengatakan, seolah filsuf-filsuf ini tidak punya kehidupan, tidak punya kisah cinta, tidak punya hal-hal malang yang pernah menimpanya.
Buntje enggan mengabaikan kehidupan Jung, termasuk salah satu peristiwa besar dalam hidupnya, yakni saat berselisih dengan raksasa psikoanalisis lainnya, Freud. Buntje menganggap hal-hal demikian sebagai hal yang sangat penting – sama pentingnya dengan buah pemikiran Jung. Itulah sebabnya Buntje menghabiskan nyaris separuh isi Jung Café dengan menuliskan perjalanan hidup Jung.
Tidak hanya itu, dalam mengungkapkan pemikiran-pemikiran Jung, Buntje juga tetap melibatkan dialog antara Jung dan pasiennya, sehingga nuansa berceritanya tetap terasa. Rupanya, Buntje ingin menghadirkan gagasan-gagasan Jung tidak dalam bentuk teks akademik yang kaku, tapi tetap merupakan produk manusia dengan segala ceritanya.
Buku Jung Café ini layak dipunyai tidak hanya oleh pengkaji psikologi, tapi juga mereka yang ingin bergelut dengan kisah hidup manusia dan dinamikanya. Tentunya, buku ini juga berisi banyak panduan praktis dalam psikoterapi untuk mereka yang berniat mendalaminya.
Judul buku : Jung Café
Penulis : Buntje Harbunangin
Penerbit : Rapi Berkah Makmur
Jumlah Halaman : xi + 187 hlm
Ukuran : 14,5 x 21 cm
Tahun terbitan : 2022
Discussion about this post