Oleh Udo Z Karzi | Wartawa Utama dlm adm. Dewan Pers dan Pemred labrak.co
SEBAGAI penanggung jawab halaman Opini dan Budaya, saya selalu saja dipusingkan dengan “kesalahpahaman” tentang jenis-jenis tulisan. Misalnya, dalam kamus, disebut definisi esai adalah karangan prosa … dst. Kalau begitu, apa beda prosa dan esai. Kalau esai adalah prosa, apakah prosa itu esai.
Begini, esai umumnya berbentuk prosa. Tapi, tidak sama dengan prosa yang berbentuk cerita pendek atau novel. Pusing kan!
Berikut catatan saya mengenai tulisan kritik, esai, dan resensi:
>> SELENGKAPNYA bisa dibaca dalam Udo Z Karzi. 2014. Menulis Asyik: Ocehan Tukang Tulis Ihwal Literasi dan Proses Kreatif dengan Sedikit Tips. Metro: Sai Wawai Publishing. Hlm. 56—62.
MENULIS KRITIK, MENULIS ESAI
Suatu hari, seorang redaktur kebudayaan sebuah koran bersungut-sungut mendapatkan berita kesenian yang ditulis dengan “sangat tidak nyeni”.
“Hei, kalau menulis berita pentas, lihat pentasnya. Tulis apa yang dilihat. Jangan kau tulis ocehan panitia atau sutradaranya di luar pentas,” katanya.
“Tapi, saya nggak ngerti, Bang,” sahut si wartawan.
“Ya, harus ngerti-lah. Tapi saya pikir kau bukan nggak ngerti, melainkan nggak minat. Minat dulu, sehingga kau menikmatinya dengan menonton sampai selesai. Dari sana akan lahir apresiasi. Kau bisa bilang pementasannya bagus, tetapi sayangnya … apalah yang kau rasakan kurang dari pementasan itu.”
Memang tidak terlalu mudah untuk menjadi wartawan kritis, wartawan yang tidak hanya menulis apa yang dikatakan orang lain. Wartawan jenis ini kebanyakan dikenal sebagai wartawan kebudayaan (hehee… kebetulan saja sedang bicara kesenian. Sebab, ada juga wartawan politik, wartawan ekonomi, wartawan lain yang juga kritis). Kemampuan manganalisis, menilai, mengapresiasi dalam bentuk berita yang berkedalaman, bukan kabar sekadarnya, dan mampu memberikan pemaknaan yang baru; memang tidak gampang.
Berikut ini sekadar catatan saya untuk peserta Workshop Menulis Esai dan Berita Seni yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung bekerja sama dengan Dewan Kesenian Lampung (DKL), 1-2 Desember 2012.
Menulis resensi atas pertunjukan, panggung atau film, tak ayal merupakan rangsangan belajar paling bijak dalam informasi penulisan berita yang kritis. Penulisan resensi atau kritik di media massa adalah cara pandai untuk menganalisis soal bagus-tidaknya sebuah pertunjukan berdasarkan penilaian-penilaian obyektif di bawah persyaratan pribadi yang tentu saja subyektif. Bahan kritik: menonton film atau sinetron atau teater.
Menulis kritik adalah memadukan ketangkasan nalar dan kepekaan sukma. Dengan ketangkasan nalar, tulisan kita menjadi logis dan dengan kepekaan sukma, tulisan kita menjadi estetis.
Akan halnya esai, awalnya orang di Indonesia menerima kata “esai” sebagai bentuk tulisan kritikal terhadap karya-karya sastra, sehingga sering disatukan menjadi “kritik dan esai”
Esai adalah bentuk langsung dari opini. Sebuah gagasan spesifik ditulis dalam bentuk esai dengan memadukan, tiga hal:
a. terampil berbahasa Indonesia
b. materi yang ditulis menarik
c. masalah yang dibeberkan terjawab
Meskipun pada awalnya esai itu dekat dengan kritik sastra, setidaknya ada 15 ladang esai yang berhubungan dengan kebudayaan. Ke-15 ladang itu, adalah:
a. pendidikan
b. kesehatan
c. lingkungan
d. perpolitikan
e. kemasyarakatan
f. perekonomian
g. kepartaian
h. perundang-undangan
i. perolahragaan
j. permusikan
k. kesastraan
l. ketokohan
m. kemiliteran
n. kepolisian
o. keagamaan
Inilah lapangan penulisan yang sangat luas. Saya hanya berpesan: Jangan menulis yang tidak kita pahami dengan benar. Begitu!
RESENSI, ESAI, KRITIK: SEKALI MERENGKUH DAYUNG!
Ketika membaca artikel Resensi Bukan Sekadar Promosi yang ditulis Adian Saputra (Kompasiana, 18 April 2014) terpikirkan untuk menuliskan ini. Sebab, sesungguhnya apa yang disebut resensi (buku, film, musik, dll) tidak jauh-jauh dari esai dan kritik. Dengan begitu, meresensi bisa saja dikatakan menulis esai kritis dan esai kritis itu sama saja dengan mengkritik.
Untuk memulai bahasan agaknya kita perlu definisi resensi.
Definisi Resensi
Resensi, dari bahasa Latin, revidere (kata kerja) atau recensie. Artinya, “melihat kembali, menimbang, atau menilai.” Tindakan meresensi mengandung “memberikan penilaian, mengungkapkan kembali isi pertunjukan, membahas, dan mengkritiknya.”
Kemampuan Peresensi
Ya, benarlah resensi bukan sekadar promosi. Untuk bisa menilai, mengungkapkan kembali, membahas, dan mengkritik; seorang peresensi setidaknya memiliki tiga kemampuan: analisis, objektif, dan estetis.
Pertama, kemampuan analisis; berkaitan dengan kemampuan menganalisis unsur-unsur pembentuk karya cipta: intrinksik atau ekstrinksik. Penulis resensi harus mampu menunjukkan keunggulan unsur-unsur yang secara langsung membentuk karya cipta (intrinksik) dan unsur-unsur yang secara tidak langsung membentuk karya cipta (ekstrinksik).
Kedua, kemampuan objektif; berkaitan dengan kemampuan menempatkan karya cipta sebagai karya yang baik atau buruk (aspek moral), layak atau tidak layak (aspek etika), benar atau salah (aspek keilmuan). Objektivitas penulis resensi sangat berperan sehingga resensi yang ditulis sungguh merupakan pedoman untuk memilih karya cipta yang layak dinikmati dan dimiliki.
Dan ketiga, kemampuan estetis; berkaitan dengan kemampuan menangkap nilai-nilai yang tertuang dalam karya cipta: humanis (kemanusiaan), estetis (keindahan), moral, maupun religius. Dengan kemampuan estetis maka penulis resensi mampu menginformasikan kegunaan karya cipta dalam konteks kehidupan.
Jenis Resensi
Secara garis besar resensi dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, resensi informatif, yaitu resensi yang hanya menyampaikan isi dari resensi secara singkat dan umum dari keseluruhan isi buku.
Kedua, resensi deskriptif, yaitu resensi yang membahas secara detail pada tiap bagian atau babnya.
Ketiga, resensi kritis, yaitu resensi yang berbentuk ulasan detail dengan metodologi ilmu pengetahuan tertentu. Isi dari resensi ini biasanya kritis dan objektif dalam menilai isi buku.
Namun, ketiga jenis resensi di atas tidak baku karena bisa saja dalam sebuah resensi ketiganya diterapkan secara bersamaan.
Apa pun — sesungguhnya sebuah resensi adalah sebuah esai juga; tepatnya esai tinjauan.
Esai Tinjauan
Sebuah tinjauan bisa bersifat formal atau informal, tergantung konteksnya. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi suatu karya, misalnya novel atau film. Ini berarti pendapat personal penulis berperan penting dalam proses penulisan. Di samping derajat subjektifitas, standar objektif perlu ditetapkan untuk memberikan tinjauan atas sebuah karya. Tingkat formalitas sebuah tinjauan ditentukan oleh seberapa banyak berupa analisis, sebarapa banyak berupa ringkasan, dan seberapa banyak reaksi penulis atas karya yang dia tinjau.
Sebuah tinjauan yang lebih formal tidak hanya membahas karya yang ditinjau saja melainkan juga menempatkan karya tersebut dalam konteks yang sesuai. Tinjauan yang dimuat di surat kabar atau majalah popular cenderung meninjau suatu karya dalam hal keuangan. Misalnya, apakah buku ini perlu dibeli atau apakah filem ini layak untuk ditonton? Sedangkan tinjauan yang dimuat dalam jurnal yang lebih kritis akan mencoba menelaah apakah novel baru ini berhasil mencapai sesuatu yang baru dan menggapai hasil yang signifikan. Sebuah tinjauan yang baik akan membahas kedua hal ini dan mengupasnya secara mendalam.
Esai Kritis ya Kritik juga
Dalam bab Menulis Kritik, Menulis Esai, saya menulis demikian: “Menulis resensi atas pertunjukan, panggung atau film, tak ayal merupakan rangsangan belajar paling bijak dalam informasi penulisan berita yang kritis. Penulisan resensi atau kritik di media massa adalah cara pandai untuk menganalisis soal bagus-tidaknya sebuah pertunjukan berdasarkan penilaian-penilaian obyektif di bawah persyaratan pribadi yang tentu saja subyektif.”
Jadi, sekali merengkuh dayung (maksudnya menulis), kita sudah sesungguhnya telah menghasilkan sebuah tulisan yang disebut dengan resensi, esai, dan kritik sekaligus.
Nggak percaya, boleh coba…
Tabik. []
Discussion about this post