SENIN pagi, 30 Mei 2022. Saya berada di jok belakang motor beat hitam, dan Faudzil yang membawanya. Kami sedang melaju dari Kecamatan Cikalong Wetan, Kab. Bandung Barat, hendak berangkat ke kampus IKIP Cimahi, untuk kuliah, dan perjalanan pun melintasi kawasan sungai Cimeta, Tagog Apu, Kp. Cikamunding, Kec. Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.
“Wah, kenapa sungai merah?”
Air sungai tampak merah merekah. Sontak kami turun dari motor, dan memotret fenomena langka tersebut.
Kami melakukan penelurusan singkat pada pagi tadi, namun tidak menemukan sumber yang menguarkan warna merah tersebut. Sepanjang jalan menuju kampus, kami menduga-duga penyebab terjadinya sungai Cimeta itu menjadi merah.
Sekitar pukul 13.00 setelah kami pulang dari kampus, kami pun melanjutkan penelusuran. Saat ditanyakan ke warga (pedagang jus buah), yang mangkal di pinggir sungai Cimeta, ia menjelaskan, “udah beberapa hari ada karung di pinghir jalan, dekat SD Tagog Apu. Mungkin karena risih, kemudian warga membuangnya ke sungai,” kata dia.
“Warga yang buang itu kan gak tahu, apa isi karungnya. Pas dibuang ke sungai, tahu-tahu sungai jadi merah. Diduga isi karung itu zat pewarna (serbuk pewarna kain -red) kata,” ibu pedagag jus melanjutkan.
Kami pun langsung menuju tempat yang dimaksud pedagang buah. Dan, benar saja di sana masih terlihat bercak-bercak merah, yang meperkuat dugaan kami, bahwa itu adalah lokasi sumber memerahnya air sugai.
Namun yang masih menjadi pertanyaan dugaan-dugaan, orang yang membung pewarna dalam karung itu siapa, dan dari mana. Adakah masyarakat biasa, atau suruhan dari pabrik yang berkaitan dengan zat pewarna?
Siapapun yang membuangnya, yang terang dan pasti, merahnya warna sungai telah melahirkan pencemaran lingkungan.
Dari kejadian tersebut, menjadi sebuah masalah terutama bagi ekosistem sungai, bahkan warga menyebutkan, biawak pun naik ke darat mendekati pemukiman warga, karena diduga tak kuat berendam di sungai yang terkontaminasi zat perwarna itu.
Dari telusuran internet, diketahui zat pewarna itu banyak jenisnya, termasuk bahan dasarnya. Pewarna alami organis, seperti arang, kunyit, getah pohon, serbuk bebatuan, relatif lebih ramah, dibandingkan dengan zat pewarna berbahan dasar kimiawi.
Pewarna yang digunakan untuk mencelup, yang cukup dikenal dan dijual bebas, antara lain ada yang berjenis Wantex. Warna yang ditawarkan wantex merk Cap Gunting, cukup variatif, antara lain seperti disampaikan okeh Wantex sendiri, terdapat warna Hitam, Merah Maron, Merah Tua, Merah Delima, Biru Langit , Hijau Pupus Muda, Hijau Pupus, Biru Benhur, Biru Panci, Kuning Podang, Telor Asin, Merah Rosa, Coklat Tua, Kapuronto (orange), Biru Marine, Pemutih, Ungu Zeeklam, Abu Abu, Biru Tua, Hijau Daun, Biru Muda, Pemutih, Coklat Tua, Merah Lombok, Ungu Terong, Creme, dll.
Beberapa pewarna untuk pakaian, kerap disalahgunakan untuk mewarnai makanan, dan ini sangat berbahaya dan bisa beracun. Dari berbagai sumber disebutkan, pewarna yang berbahaya untuk mahluk hidup antara lain aullure red (warna merah pekat), brilliant blue (biru tua), tartrazani (kuning cerah), dll.
Dilansir pada laman cairofood.id, ada 12 perawarna yang berbahaya, yaitu Pewarna Karamel, Allura Red, Sunset Yellow, Biru Berlian, Yellow 5, Rhodamin B, Metanil Yellow, Auramine (C. I. Basic Yellow 2), Black 7984 (Food Black 2), Citrus Red No. 2, Scarlet GN (Food Red 2), Violet 6 B.
Bila melihat warna merah, sangat mungkin pewarna yang menyebabkan biyawak saja ampun, adalah dari jenis allura red yang tergolong berbahaya. Apakah pencemaran ini kita biarkan atau kita maklumi, atau harus dicegah?
Kurikulum Pendidikan Merdeka Belajar, yang salah satunya melahirkan karakter Pelajar Pancasila, jelas harus bisa melahirkan pelajar termasuk mahasiswa, mengatakan dengan jelas dan tegas, jangan biarkan pencemaran seenak udelnya dilakukan. Hati masyarakat tambah terluka, bumi pun terluka. *
Reporter: Didin Mulyadi, Faudzil Ahiem
Editor: Daf
Discussion about this post