Ketika hampir sampai di danau itu, Jaka Tarub menghentikan langkah kakinya. Telinganya menangkap suara gadis gadis yang sedang bersenda gurau. “Mungkin ini hanya hayalanku saja”, pikirnya heran ”Mana mungkin ada gadis gadis bermain main di tengah hutan belantara begini ?”.
Dengan mengendap endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya lagi menuju Danau Toyawening. Suara tawa gadis gadis itu makin jelas terdengar. Jaka Tarub mengintip dari balik pohon besar kearah danau.
Alangkah terkejutnya Jaka Tarub menyaksikan tujuh orang gadis cantik sedang mandi di Danau Toyawening. Jantungnya berdegub makin kencang.
Jaka Tarub memperhatikan satu satu gadis di danau itu. Semuanya berparas sangat cantik. Dari percakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah bidadari yang turun dari kayangan. “Apakah ini arti mimpiku waktu itu ?”, pikirnya senang.
(Penggalan Kisah Jaka Tarub yang diposting oleh histori.id berjudul “Kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari)
Dongeng, ya dongeng. Siapa yang tidak tahu dengan dengan dongeng, semua orang senang dengan dongeng atau diperdengarkan dongeng.
Mungkin pernah kita mendengarkan dongeng yang diceritakan oleh orang tua atau kakek, nenek. Dongeng tersebut diceritakan kembali pada anak-anak kita. Proses mendongeng dan mendongengkan kembali sepertinya hampir setiap orang melakukannya.
Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM) melaksanakan kegiatan “Inkubator Literasi Pustaka Nasional, Dongeng Anak Indonesia”. Kegiatan ini dimulai dengan melaksanakan webinar, Rabu (1/06/22). Pada webinar yang kurang lebih berdurasi tiga jam tersebut membicarakan seputar dongeng, kenapa harus dongeng yang diangkat pada inkubator literasi, hingga stimulus anak dalam membiasakan budaya baca melalui dongeng.
Melihat kebelakang, pada konteks dongeng memang tidak dapat dilepaskan dari dongeng 1001 malam, Scheherazade dan seorang Raja Shahryar. Cerita-cerita yang dikisahkan oleh Scheherazade kepada Raja Shahryar, membuat lehernya selamat dari raja tersebut pada malam ke 1001.
Banyak sekali versi tentang lahirnya sastra dari arab tersebut, salah satunya dari NJ Dawood dan William Harvey dalam bukunya berjudul Tales from the Thousand and One Nights mengungkapkan, Hikayat 1001 Malam merupakan satra epik yang berasal dari tiga rumpun kebudayaan dunia, yakni India, Persia, dan Arab (dikutip dari surabayasrory.com).
Selain itu, pada artikel yang ditulis oleh Nuran Wibisono pada tirto.id yang berjudul Sejarah Dongeng: Dari Zaman Perunggu hingga Era Digital, “1.001 Malam yang setidaknya sudah berkembang di Persia sejak abad 10. Dalam “Alfu Lela Ulela: The Thousand and One Nights in Swahili-Speaking East Africa”, penulis Thomas Geider menyebut kisah 1.001 Malam berasal dari jazirah Arab tapi juga menerabas segala batasan negara maupun budaya.
Kisah-kisahnya memang berasal dari India, Yunani, Yahudi, Iran, juga Turki.”
Melacak dongeng memang tidak semudah mencari jarum ditumpukan jerami, dimana jeraminya dibakar, jarumnya ketemu. Peneliti menembus batas-batas sosial budaya dalam meneliti dongeng. Karena dongeng terus berevolusi, meneysuaikan dengan konteks budaya setempat.
Menelisik Dongeng Nusantara
Nusantara yang kemudian sekarang menjadi Indonesia, beragam budaya. Keberagaman budaya tersebut banyak melahirkan folklor berupa dongeng-dongeng.
Dongeng-dongeng nusantara yang notabene dituturkan lewat tradisi lisan, sehingga sulit untuk dilacak dongeng mana yang lebih tua. Dongeng disetiap daerah serupa secara subtansi (isi) namun berbeda secara konteks sosial dan budaya. Salah satu kemiripan terjadi pada legenda Gunung Tangkubanparahu dan Watugunung.
Ada pula dongeng nusantara yang mirip dengan dongeng yang berasal dari negara lain, seperti yang saya kutip di awal, yaitu Jaka Tarub. Kisah Jaka Tarub mirip secara substansi dengan dongeng Tanabata dari Jepang. Perbedaannya berada pada konteks sosial serta budaya.
Hal ini dapat membuktikan bahwa dongeng tidak bisa diam, terus berdinamika dan berdialektika dengan konteks serta budaya. Sehingga sangat wajar, ketika banyak versi pada dongeng serta banyak kemiripan substansi dari dongeng tersebut.
Inkubator Literasi Pustaka Nasional, Dongeng Anak Indonesia mengangkat kembali dongeng nusantara dalam teks yang kekinian. Tentunya dengan dengan gaya penceritaan yang lebih disesuaikan dengan budaya dan era sekarang, yang dibutuhkan oleh anak-anak Indonesia. Selain itu, revitalisasi ini juga untuk menjaga lupa dengan kebudayaan khususnya dongeng setempat. Ini yang diungkapkan Opik (Ketua Forum TBM) dalam webinar.
Edi Wiyono dari Pemred Perpusnas Press/ Koordinator Humas, Kerja Sama dan Penerbitan Perpustakaan Nasional RI juga mengatakan tentang pentingnya dongeng ini. Ia sangat mendukung dan mengapresiasi Inkubator Literasi Pustaka Nasional, Dongeng Anak Indonesia.
Deasy Tirayoh (Penulis) yang juga sebagai narasumber pada acara webinar memaparkan terkait seputar dongeng. Deasy juga banyak bercerita pengalamannya dalam merevitalisasi dongeng-dongeng daerah.
Dongeng dan Konteks Anak
“Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dapat dikatakan sebagai ujung tombak dalam pembudayaan kegemaran membaca di masyarakat. Taman Bacaan Masyaraakat yang berada di setiap daerah di Indonesia dekat dengan anak-anak. Kedekatan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran pengurus serta relawan TBM. Dan tentu dari program-program mereka yang menyasar anak-anak.” Tutur Aris Munandar (Penanggung Jawab Inkubator Literasi Pustaka Nasional, Dongeng Anak Indonesia) pada pembukaan webinar.
Inkubator Literasi Pustaka Nasional, Dongeng Anak Indonesia, dikhususkan untuk pengurus dan atau relawan Taman Bacaan Masyarakat di Indonesia yang terdaftar sebagai anggota Forum TBM. Output dari Inkubator Literasi Pustaka Nasional, Dongeng Anak Indonesia adalah buku dongeng karya peserta yang terpilih di Inkubator Literasi Pustaka Nasional, Dongeng Anak Indonesia.
Aris juga mengatakan, dongeng yang ditulis oleh peserta inkubator lebih memperhatikan pada konteks anak.
Discussion about this post