Oleh Doddi Ahmad Fauji
Yang dimaksud buku itu, bukan fisiknya berupe bendelan kertas yang memuatkan kata-kata. Buku yang dimaksud adalah muatannya, yaitu kata-kata yang dijelmakan padanya, sehingga bisa dibaca. Sebelum ada buku bendelan itu, kata-kata sudah ada, dan dituliskan bisa dalam kertas, kulit kayu, daun lontar, kulit binatang, atau dalam gundukan batu sehingga disebut prasasti.
Namun tidak sedikit para praktisi buku, membahas kondisi perbukuan itu dari fisiknya, dari bendelan kertasnya itu, dan tidak dari ‘tulisan’ yang menjadi ‘Ruh’ dari buku itu. Oleh merebaknya penggunaan internet, buku bendelan yang dicetak dengan mesin offset, atau dengan printer rumahan untuk penerbitan POD (print of demand), maka ketersisihan buku itu makin terasa. Buku dicetak hanya untuk ogutitasi (pencitraan). Faktanya, ia mulai terasa kian sulit didagangkan.
Tulisan itulah yang menjadi ‘Ruh’ bagi buku kertas. Jika ‘Ruh’-nya pindah ke internet, maka jasad buku menjadi mati suri, atau malah mati beneran, hanya numpuk dalam rak atau kardus. Kata yang paling tepat untuk diucapkan adalah ‘selamat tinggal buku!’
Jika jasad buku mati, maka mati pula perpustakaan dan taman bacaan. Sekarang pun, perpustakaan sekolah dan kampus, apalagi perpustakaan di tengah masyarakat (taman bacaan) sebenarnya sedang sekarat. Sebab informasi yang merebak di internet, semakin rinci dan tidak kalah akuratnya dari yang dipaparkan dalam buku beundeul.
Maka pula, ajakan untuk nubar (nulis bareng), dengan iming-iming nanti terbit jadi buku, sedang mengalami kesakitan yang akan berakhir pada sekarat, lalu dijemput maut. Maka bisnis kecil yang berlindung di balik atas nama gerakan literasi, juga akan gulung tikar.
Data dalam kompa si ana, dan kompa si ani misalnya, cukup memberikan data awal, yang bagi wartawan akan disebut sebagai data sekunder. Cukup banyak tulisan dalam internt, termasuk kadang saya lakukan, adalah berupa komentar dari peristiwa yang diberitakan oleh media internet mainstream, macam Kompas.com, Kompas.id, tempo, detik, repulika, dll. Misalnya tentang regulasi kenaikan harga, lebih banyak warga yang tahu informasinya karena hal tersebut diwartakan oleh media internet mainstream.
Kondisi terkini itulah yang membuat sekian praktisi literasi di bidang cetak, termasuk koran, berucap “Ini era senjakala kami.” Bre Redana, salah satu Redaktur di Kompas, sebelum pensiun ia sudah berujar seperti itu. Di akhir Medi 2022, salah satu punggawa koran Media Indonesia, juga menulis di FB dengan juluk ‘Era Senja Koran’.
Maka satu satu, penerbit buku cetak akan gulung tikar. Bayangan saya, pada 2027 buku sudah tidak dicetak dalam bentuk kertas. Bagi pengelola penerbitan, ada yang meyakini hal tersebut, sehingga segera ber-transformasi, memindahkan buku kertas ke dalam e-book, dan memasarkannya lewat beberapa kanal internet.
Discussion about this post