Oleh: Henri Nurcahyo
Cerita Panji asli dari Jawa, menyebar ke seluruh nusantara dan negara-negara Asia Tenggara. Bahkan di Thailand diajarkan di sekolah-sekolah. Mengapa Cerita Panji seolah masih asing di tanah kelahirannya sendiri? Pernah dengar dongeng Ande-ande Lumut? Itu hanya salah satu contoh Cerita Panji dalam bentuk dongeng. Ada ratusan versi Cerita Panji, ditulis dalam berbagai aksara dan bahasa, menjadi Cerita Bangsawan di Malaysia dan sudah dibuat film tahun 1961. Jadi, seberapa paham kita dengan Cerita Panji sebagai pusaka budaya bangsa sendiri?
Meskipun ada banyak sekali versi Cerita Panji hingga ratusan jumlahnya namun mendapatkan naskah dari masing-masing cerita itu tidak gampang. Kalau toh ada beberapa yang sudah dibukukan, itupun sudah lama sekali, sudah tidak beredar, bahkan juga sulit ditemukan di perpustakaan sekalipun. Karena itulah kehadiran buku ini dapat membuka wawasan sedemikian banyaknya (versi) Cerita Panji. Padahal itu belum semua.
Tetapi meskipun masih belum lengkap, buku ini dirasa perlu diterbitkan agar masyarakat umum dapat mengenal berbagai ragam Cerita Panji. Selama ini Cerita Panji yang dikenal masyarakat hanya sebatas dongeng belaka. Itupun mereka banyak yang tidak menyadari bahwa dongeng-dongeng yang sudah mereka kenal sejak masih anak-anak itu ternyata merupakan sebagian kecil contoh Cerita Panji. Sebut saja dongeng Ande-ande Lumut, Cinde Laras (Panji Laras), Keong Emas, dan Enthit. Bahkan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta ada gedung besar seni pertunjukan bernama Teater Keong Emas, namun tidak ada yang menyadari bahwa itu adalah bagian dari Cerita Panji.
Cerita-cerita Panji yang dimuat dalam buku ini dikumpulkan dari berbagai daerah dan negara (Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Malaysia (Melayu), Kamboja, Thailand), transkrip seni pertunjukan Wayang Topeng, Wayang Krucil, Wayang Gedog, Wayang Beber, Wayang Jemblung, Wayang Cepak, dan cerita-cerita Panji dalam bentuk dongeng anak-anak.
Jadi yang disebut Cerita Panji itu apa? Secara garis besar Cerita Panji mengisahkan percintaan antara Raden Panji Inu Kertapati dari kerajaan Jenggala dengan Dewi Sekartaji dari kerajaan Kadiri. Sepasang anak manusia itu memang sudah dijodohkan sejak kecil karena orangtua mereka menginginkan kedua kerajaan itu kembali menyatu sebagaimana asal usulnya dahulu kala. Kalau sebelumnya kedua kerajaan itu selalu bermusuhan maka kali ini sudah saatnya mengakhiri permusuhan itu dengan cara melakukan “perkawinan politik”, yaitu saling berbesanan diantara dua raja yang sebetulnya memang masih memiliki hubungan saudara.
Tetapi Cerita Panji bukan sebuah kisah tunggal seperti Mahabarata dan Ramayana yang sampai beranak pinak menjadi sekian banyak cerita lain namun masih dapat dirunut kesinambungannya. Cerita Panji justru berdiri sendiri dan tidak ada kaitan sama sekali antara satu versi dengan versi yang lainnya. Ada banyak sekali versi Cerita Panji. Bisa puluhan atau bahkan mungkin ratusan jumlahnya karena terus berkembang.
Dari beragam versi tersebut satu sama lain kadang ada kemiripan meski judulnya berlainan. Ada dua atau beberapa cerita yang judulnya sama namun isinya berbeda. Ada yang judulnya sama, isinya juga hampir sama, namun nama tokoh dan peran-perannya ternyata berbeda. Sebagai sebuah cerita rakyat yang berkembang secara lisan maka perbedaan itu merupakan sebuah hal yang wajar terjadi. Peran pihak pencerita sangat besar ketika menyampaikan kepada pihak lain sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan tersebut. Hal ini juga mengakibatkan kebingungan ketika membandingkan cerita Panji yang satu dengan yang lainnya karena tokoh-tokohnya saling bercampur aduk satu sama lain.
Membandingkan cerita Panji yang satu dengan yang lainnya mendapatkan kesan bahwa para pencerita itu mencoba mengisahkan sumber yang sama namun dengan caranya sendiri. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya perbedaan perspektif satu pencerita dengan pencerita lainnya. Apalagi ketika kemudian Cerita Panji menyebar ke berbagai daerah bahkan ke mancanegara maka perbedaan perspektif itu menjadi semakin melebar dengan dimasukkannya unsur-unsur lokal di daerah setempat. Ada perubahan nama-nama pelaku dan nama tempat yang disesuaikan dengan daerah atau negara yang bersangkutan.
Kisah Panji Kamboja adalah contoh jelas bagaimana perubahan nama itu. Seperti juga di Thailand (Inao), Cerita Panji Kamboja dinamakan “Eynao dan Bossaba.” Sebagaimana yang dicermati oleh Poerbatjaraka, Eynau atau Inao adalah nama lain dari Inu atau Hino, sebuah nama atau gelar Panji. Konon asal mulanya karena salah baca kata Inu yang ditulis dalam huruf arab pegon berbahasa Melayu ketika Cerita Panji menyebar dari Melayu. Sedangkan Bossaba, puteri raja Daha, merupakan pergeseran penyebutan dari Puspa yang berarti sekar (Jw) atau bunga. Dengan demikian Bossaba adalah Sekartaji.
Nama kerajaan Gegelang diubah menjadi Kalang, Lasem menjadi Lassan, Singasari menjadi Sanghat-sarey, tokoh Onengan menjadi Onacan, Batara Kala menjadi Pattarac-cala, Wuragil Kuning (Ragil Kuning) menjadi Vorot-kenlong, dan sebagainya.
Sedangkan di Thailand, sebagaimana disampaikan Rujaya Abhakorn, direktur Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Centre for Archaeology and Fine Arts (SEAMEO SPAFA), Kisah Panji pertama kali disusun oleh dua putri Raja Borommakot (1733-1758) dari Ayutthaya. Kedua putri itu mendapatkan Kisah Panji versi Jawa lewat pelayan mereka yang berasal dari tanah Melayu. Masing-masing putri kemudian menyusun cerita versi mereka sendiri ke dalam dua bentuk yang digunakan untuk drama tari, yaitu Dalang dan Inao. Cerita Panji hampir berkompetisi dengan kisah Ramayana. Adegan percintaan selalu lebih menarik dibanding adegan peperangan melawan kera dan raksasa.
Raja Rama I (1782-1809) dari Dinasti Chakri kemudian merevisi cerita Dalang. Sementara putranya, Rama II (1809-1824) memopulerkan cerita Inao. Inao kemudian lebih populer dibanding Dalang bahkan dianggap sebagai karya agung puisi Thailand, terutama sebagai teks lakon (sendratari).
“Menurut para peneliti di Thailand, teks Hikayat Panji Semirang adalah sumber dari kisah Dalang,” lanjut Rujaya dalam Seminar Internasional Panji/Inao, di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, 2018.
Dalam forum yang sama, Thaneerat Jatuthasri, peneliti dari Chulalongkorn University menambahkan, Kisah Panji versi Thailand kian populer sebagai pementasan Lakhon Nai, yaitu tarian hiburan di istana yang umumnya ditampilkan oleh penari perempuan. Tarian-nya berdasarkan empat cerita Ramakien, Unarut, Dalang, dan Inao, yang terdiri dari musik, tari, dan drama. Narasinya dinyanyikan dengan lagu tradisional. Bebe-rapa peneliti Thailand menduga kata ‘Lakhon’ juga pengaruh Jawa dari kata ‘Lakon’ dalam istilah pewayangan atau sendratari.
Thaneerat menjelaskan masa keemasan Lakhon Nai Inao pada era Rama II. Sang raja memilih Kisah Panji karena plot dan temanya dapat diterima secara universal. Potret dua tokoh utamanya pun cocok dengan tradisi Lakhon Nai. Inao telah menjadi inspirasi terciptanya banyak karya sastra dan seni. Dalam penyajiannya, plot dan cerita Inao tak beda jauh dengan Kisah Panji Jawa. Hanya saja, pasangan Inao di sana bernama Butsaba.
Karakter Inao juga sama dengan Kisah Panji: tokoh heroik tampan sempurna, ksatria besar, menarik di hadapan perempuan, dan petualang. Dalam penyamarannya dia dikenal sebagai Panyi (memang huruf y, bukan j. hn). Beberapa aspek budaya Jawa lainnya yang ada dalam Kisah Panji Thailand yaitu ritual di gunung suci, ritual bela atau sati, kebiasaan tokoh menggunakan keris, sabuk, menonton wayang, dan penggunaan istilah-istilah Jawa.
* * *
DINAMAKAN Cerita Panji karena yang menjadi tokoh utama adalah sosok laki-laki bernama Panji. Tetapi Panji adalah sebuah gelar kebangsawanan sehingga Cerita Panji berkisar pada kisah kekesatriaan sebagaimana digambarkan sebagai sifat trah bangsawan. Tetapi tidak semua cerita yang mengisahkan tokoh bernama Panji adalah termasuk Cerita Panji manakala tidak ada unsur kekesatriaan atau kebangsawanan. Sedangkan cerita yang berkisah perihal kekesatriaan bisa jadi merupakan Cerita Panji meski tidak ada tokoh bernama Panji. Batasan mengenai Cerita Panji ini bisa jadi sangat longgar karena Cerita Panji merupakan tradisi lisan yang berkembang di tengah khalayak tanpa ada acuan yang baku. Apalagi Cerita Panji bukanlah diciptakan oleh seseorang yang sudah jelas namanya. Cerita Panji adalah kisah anonim yang berkembang dan beranak pinak ratusan tahun lamanya. Dalam hal ini ada sedikit penge-cualian karena kemudian ditemukan ada Cerita Panji yang menyebut nama penulis atau penggubahnya.
Selain aspek kekesatriaan, Cerita Panji memiliki pola penyatuan kedua belah pihak, atau bahkan beberapa pihak. Bukan sekadar antara laki-laki dan perempuan. Bahkan menurut Prof. Nooriah Mohamed, kebersatuan itu bisa juga bermakna Manunggaling Kawula lan Gusti (bersatunya makhluk dan penciptanya). Namun dengan kebersatuan itu tidak lantas persoalan menjadi selesai melainkan justru merupakan awal dari sebuah perjalanan yang baru.
Itu sebabnya kebersatuan dalam Cerita Panji biasanya ditandai dengan bertemunya Dewi Sekartaji dan Raden Inu Kertapati yang kemudian melangsungkan pernikahan. Semua Cerita Panji selalu berakhir dengan happy ending. Inilah yang membedakan dengan cerita-cerita lain yang bertema percintaan seperti Bangsacara–Ragapadmi, Rara Mendut, Jayaprana–Layonsari, bahkan juga Romeo–Yuliet. Dan yang namanya pernikahan adalah sebuah akhir yang menjadi awal, dan juga awal dari sebuah akhir. Pernikahan adalah akhir dari masa membujang namun memasuki fase baru yaitu masa berumahtangga. Makanya ucapan yang disampaikan kepada pengantin adalah “selamat menempuh hidup baru.” Atau juga: “Selamat mengarungi bahtera rumah tangga.” Bahtera, adalah perahu untuk berlayar meninggalkan pelabuhan.
Namun yang tak bisa dipungkiri bahwa Cerita Panji yang beredar di masyarakat telah berkembang sedemikian rupa sehingga semakin jauh dari “pakem” tersebut di atas. Apalagi ketika menjadi lakon dalam seni pertunjukan maka sang Dalang dengan bebasnya mengkreasikan sendiri sehingga lahir cerita-cerita baru yang hanya dibawakan oleh dalang yang bersangkutan. Lakon-lakon Cerita Panji dalam Wayang Topeng Malangan adalah salah satu contohnya. Demikian pula yang terjadi pada Wayang Krucil Kediri atau juga di Wayang Gedog.
Tetapi apa yang diceritakan dalam legenda “Panji Pulangjiwa” dari Malang merupakan perkecualian dalam genre Cerita Panji. Meski tokoh utamanya bernama (bergelar) Panji, namun akhir legenda yang dipercaya sebagai asal usul kecamatan Kepanjen itu berakhir dengan tragis, dimana Panji Pulangjiwo mati terbunuh. Tidak happy ending (berakhir bahagia). Demikian pula cerita “Panji Laras Liris” dari Lamongan, juga berakhir tragis meski tokoh utamanya juga bernama Panji.
Hal-hal semacam ini juga terjadi pada cerita rakyat di daerah lain yang “kandungan Panjinya” tidak terlalu kental namun sengaja dimasukkan dalam buku ini sebagai bahan pengayaan Cerita Panji.
Diantara sekian banyak Cerita Panji juga ditemukan ada “penyimpangan” terhadap sosok ideal Panji itu sendiri yaitu dalam “Serat Panji Balitar.” Tokoh Panji Balitar sangat berbeda dengan karakter-karakter tokoh Panji pada umumnya. Panji Balitar pada mulanya adalah seorang perempuan yang bernama Retna Surengrana yang menjelma sebagai laki-laki yang kemudian bernama Prabu Panji Balitar. Prabu Panji Balitar digambarkan sebagai seseorang yang selalu ingin berkuasa. Cara yang Prabu Panji Balitar lakukan dalam bentuk ancaman dan peperangan menunjukkan dirinya memunyai sifat angkuh dan keji. Tidak hanya istri Panji yang dia ambil, akan tetapi semua harta benda yang mereka miliki juga dirampas.
Ciri khas Cerita Panji adalah terlalu sering melakukan penyamaran. Baik Raden Panji Inu Kertapati maupun Dewi Sekartaji masing-masing berulangkali berganti nama untuk menyamarkan jatidirinya. Demikian pula para pengikutnya. Karena sama-sama menyamar inilah maka ketika Raden Panji sudah bertemu muka dengan Sekartaji ternyata keduanya tidak menyadari bahwa mereka sudah saling mengenal dan justru saling mencari. Meski ada kalanya Dewi Sekartaji menyadari bahwa lelaki di hadapannya adalah Raden Panji yang mencarinya namun Sekartaji tidak mau mengakui jatidirinya.
Lantaran berulangkali berganti nama inilah maka mengikuti Cerita Panji yang asli tentu membingungkan karena harus menghapal nama-nama samaran tersebut agar tidak kehilangan jejak. Dalam buku “Cerita Pandji Dalam Perbandingan” yang ditulis Poerbatjaraka (Gunung Agung, 1968) dapat diketahui betapa banyak nama-nama samaran yang digunakan oleh Panji maupun Sekartaji sehingga cukup membingungkan mengikutinya. Termasuk, membedakan mana nama untuk tokoh perempuan atau laki-laki.
Karena Cerita Panji menjadi identik dengan penyamaran itulah yang kemudian Cerita Panji banyak dibawakan dalam seni pertunjukan topeng. Sebab topeng adalah sebuah alat untuk menyamarkan jatidiri pemakainya. Dalam seni pertunjukan bisa saja satu orang yang sama dapat mengenakan topeng-topeng yang berlainan untuk memerankan tokoh yang berbeda-beda. Dalam pertunjukan wayang topeng dapat dikenali puluhan tokoh dalam bentuk topeng yang masing-masing memiliki karakternya sendiri-sendiri.
Dalam berbagai Cerita Panji penyamaran dilakukan untuk menyembunyikan identitas aslinya agar dapat menyatu dengan situasi yang baru. Misalnya saja Raden Panji pernah menyamar sebagai pengamen bernama Jaka Kembang Kuning. Dalam kisah yang lain Panji juga pernah menyamar sebagai petani yang buruk rupa bersuara sengau dengan bibir yang sumbing. Namun lelaki buruk rupa bernama Enthit itu ternyata pandai dalam hal bertani. Dalam dongeng Ande-ande Lumut yang terkenal itu bahwa lelaki yang dikenal dengan nama Ande-ande Lumut tersebut adalah Raden Panji Asmarabangun. Demikian pula perempuan berpenampilan lusuh dengan badan berbau busuk berama Klenthing Kuning itu ternyata Dewi Sekartaji yang sedang menyamar. Lelaki perkasa yang dikenal sebagai “perampok budiman” bernama Panji Semirang ternyata adalah Dewi Sekartaji yang menyamar. Masih banyak contoh yang lainnya.
Termasuk, inilah yang orang sering keliru, bahwa gadis yang bernama Timun Mas itu adalah Dewi Sekartaji yang menyamar. Bukan gadis yang “lahir” dari dalam buah timun sebagaimana dikenal selama ini. Dongeng Timun Mas memiliki banyak versi, sampai belasan jumlahnya. Sedangkan yang terkenal selama ini justru bukan tergolong Cerita Panji.
Bentuk penyamaran dalam Cerita Panji nampaknya bukan sekadar berganti busana belaka melainkan penyamaran sempurna karena keterlibatan Dewa. “Kita bisa menemukan metamorfosis, penyamaran, bahkan perubahan gender, di samping segala kejadian ajaib,” kata Roger Tol dari KITLV dalam seminar nasional Panji di Perpusnas Jakarta (2018). Peranan Dewa inilah yang memungkinkan tokoh yang sudah mati bisa dihidupkan kembali.
Keterlibatan dewa ini pula yang menjadikan Panji dengan sedikit pasukan dapat memenangkan peperangan. Misalnya, Dewa Kala menyulap daun-daun pohon asoka menjadi bala tentara yang dipersenjatai. Bahkan sehelai rambut bisa menjadi sebatang anak panah.
Benang merah yang dapat ditarik dari berbagai penyamaran itu salah satunya adalah bahwa meskipun Raden Panji dan Dewi Sekartaji sama-sama putra-putri mahkota dari kerajaan namun mereka tidak rikuh bergaul dengan rakyat jelata. Kebangsawanan Panji dan Sekartaji tidaklah menjadikan mereka berjarak dengan rakyat kebanyakan. Karena itulah meski Cerita Panji mengisahkan putra-putri kerajaan namun justru menjadi cerita rakyat yang populer. Hampir semua Cerita Panji justru mengisahkan ketika Raden Panji dan Sekartaji justru ketika mereka sedang menyamar sebagai rakyat biasa. Alhasil Cerita Panji seringkali bukan menjadi cerita kerajaan melainkan berkembang sebagai dongeng rakyat.
Perihal yang disebut terakhir ini agak berbeda dengan yang berkembang di Thailand dimana mereka menyebutnya Cerita Inao justru menjadi cerita yang bernuansa kebangsawanan. Cerita Panji di Thailand justru ditulis oleh raja Thailand dan dimainkan menjadi seni pertunjukan oleh putri-putri raja sehingga Cerita Panji identik dengan cerita kerajaan. Barangkali hal ini mengingatkan dengan kesenian keraton Yogyakarta atau Sura-karta yang hanya beredar di kalangan dalam keraton sendiri. Bahkan ada tarian tertentu yang menjadi pertunjukan khusus untuk sang raja.
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Malaysia dimana Cerita Panji menjadi cerita bangsawan. Karena itu Cerita Panji di Malaysia selalu disebut sebagai Hikayat. Kalangan bangsawan Malaysia malah sengaja membuat Cerita Panji baru manakala diantara mereka hendak mengikat tali pernikahan. Pihak mempelai laki-laki mengibaratkan dirinya sebagai Raden Panji sedangkan pihak pengantin perempuan membayangkan sebagai Dewi Sekartaji. Hal ini yang menjadikan Cerita Panji juga menjadi beranak pinak menjadi sekian banyak versi karena setiap orang berhak mengarang Cerita Panji sendiri.
Pada dasarnya pola Cerita Panji relatif tetap, yaitu perpisahan, pencarian, petualangan, pengelanaan, penyamaran, peperangan hingga akhirnya bersatu dalam sebuah pernikahan. Karena itu ketika Cerita Panji dibawakan dalam sebuah pertunjukan maka penonton sudah bisa menebak akhir cerita dari pertunjukan tersebut. Tetapi ketika Cerita Panji dibawakan sebagai lakon dalam Wayang Arja yang sangat populer di Bali maka sang dalang tidak mau ceritanya ditebak penonton. Bagaimanapun masyarakat Bali memang sudah akrab dengan Cerita Panji. Sebagaimana disampaikan oleh I Wayan Dibia, yang kemudian dilakukan oleh dalang adalah bagaimana mengisi perjalanan cerita itu di tengah-tengahnya sehingga penonton tidak dapat menebak apa yang terjadi sebelum Panji dan Sekartaji dipersatukan. Dengan demikian maka lahirlah Cerita-cerita Panji versi baru di Bali yang terus menerus bertambah jumlahnya.
Karena sekian banyak versi Cerita Panji itulah maka tidak ada salahnya orang memilih versi mana yang disukai manakala hendak diangkat menjadi lakon seni pertunjukan atau sebagai bahan baku membuat karya sastra. Atau bisa juga membuat Cerita Panji menurut versinya sendiri dengan tetap mengacu hal-hal pokok yang menjadi karakter atau ciri khas Cerita Panji.
Diantara sekian banyak versi itu maka ditemukan banyak Cerita Panji yang sepertinya berjauhan dengan versi mainstream (arus utama). Cerita-cerita yang seperti ini oleh Pigeaud lantas digolongkan sebagai Cerita Panji Minor, yaitu cerita yang tidak lagi menyebut-nyebut Raden Panji dan Sekartaji, juga tidak menyinggung kerajaan Janggala dan Kadiri. Cerita “Sri Tanjung” yang sering dijadikan acuan toponimi kota Banyuwangi adalah salah satu contoh Cerita Panji Minor tersebut.
Lantas, apa ciri khas Cerita Panji? Setidaknya dapat disimpulkan bahwa sebuah cerita dapat disebut Cerita Panji (baik arus utama atau minor) manakala memiliki struktur sebagai berikut: (1) Ada dua pihak yang berseberangan; (2) Ada keinginan untuk bersatu; (3) Salah satu pihak atau keduanya mengalami persoalan sehingga rencana penyatuan itu tertunda; (4) Ada perjalanan pengembaraan, penyamaran, peperangan, penderitaan, perjuangan mencapai cita-cita; dan akhirnya (5) Persatuan tercapai. Happy ending. Struktur tersebut di atas oleh M. Dwi Cahyono disederhanakan menjadi: Integrasi – Disintegrasi – Reintegrasi.
Dari contoh-contoh puluhan Cerita Panji yang dimuat dalam buku ini tentu saja tidak semuanya mengikuti struktur tersebut lantaran tidak merupakan satu cerita yang utuh. Bahkan ada beberapa cerita yang “diragukan kepanjiannya” meski hal itu disampaikan dalam acara seminar tentang Cerita Panji. Tapi biarlah hal itu justru dapat menjadi bahan diskusi tersendiri. Bisa jadi, membaca cerita yang seperti itu maka akan mengingatkan bahwa cerita yang mirip atau senada juga ada di daerah lain.
Judul Buku : Seratus Satu (101) Cerita Panji
Penyusun: Henri Nurcahyo
Penerbit: Komunitas Seni Budaya BrangWetan.
Ukuran buku: 15×23 cm, book paper, hardcover, 428 halaman, harga Rp 125.000,-
Discussion about this post