Oleh Doddi Ahmad Fauji
SEBANYAK 2.279 wartawan telah dibunuh di seluruh dunia, dan puncaknya terjadi pada 2006, yakni 155 jiwa melayang. Laporan ini disampaikan oleh International Jurnalist Federation (IJF), yang melakukan pencatatan sejak 1990. Badan dunia untuk kebudayaan, UNESCO, juga merilis, setiap 4,5 hari, ada 1 wartawan dibunuh.
Laporan IJF dan UNESCO, dikutip dalam press release yang dikeluarkan oleh Kolektif Seni Tubaba (Kabupaten Tulang Bawang Barat), Lampung, yang akan menggelar “Hari Solidaritas Tubaba untuk Jurnalis Al Jazeera di Palestina”, pada Minggu, 15 Mei 2022, pukul 17:00 – 18:00 WIB, di Islamic Centre, Kabupaten Tubaba.
Seperti diwartakan oleh berbagai lembaga pers di dunia, telah terjadi pembunuhan terhadap jurnalis Shireen Abu Akleh dari TV Aljazeera, yang rajin meliput keganasan tantara di Jalur Gazza. Shireen tewas setelah rongga kepalanya terkena terjangan peluru, pada 11 Mei 2022, saat mengenakan rompi biru dengan tulisan “PRESS”, dia ditembak saat meliput serangan militer Israel di kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat.
Berita yang kerap diapungkan Shireen di TV Aljazeera, bisa dikatakan bersifat netral, yaitu mewartakan apa adanya. Namun otoritas militer Israel merasa tersengat, karena ledakan bedil dan mortir yang paling sering muntah, dating dari moncong senjata mereka, tapi sebaliknya, rakyat dan pemerintah Palestina merasa dibela dengan peliputan yang dilakukan oleh Shireen.
Para praktisi jurnalis sepakat, yen sikap jurnalis tidak boleh melebih-lebihkan atau mengurangi fakta. Jurnalis harus melaporkan apapun apa adanya, dengan didukung oleh data yang akurat, dikuatkan oleh pernyataan narasumber yang terpercaya. Dalam hal menjunjung fakta, tugas jurnalis itu mengemban amanat propetik (kenabian), yang dilarang mengedit wahyu dari Langit!
Sebab Shiren sudah menjalankan misi propetik, sekalipun ia menganut Nasrani, yang berbeda agama dengan mayoritas penduduk dan pemerintah Palestina, namun kematiannya dengan cara dibedil itu, telah melahirkan simpatik dan ratapan dari pihak Palestina.
“Rakyat dan pemerintah Palestina sekarang menjadikan Shireen sebagai sahidah di hati kami,” kata Dubes Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al-Shun, dalam konferensi pers di Jakarta, dalam rangka memperingati hari Nakbah yang terjadi pada 15 Mei 1948, ketika orang Palestina diusir oleh orotitas keamanan Israel.
“Kasus tertembaknya Shireen adalah salah satu bukti konkret dan tak terbantahkan atas teror yang dilakukan terhadap jurnalis,” kata Sudarnoto Abdul Hakim, Ketua MUI bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja sama Internasional dalam keterangan tertulisnya, Rabu (12/5).
Bahkan, atas penembakan itu, MUI menyebut bahwa Israel adalah negara di mana kejahatan telah dilindungi dan difasilitasi secara resmi.
Portal ensiklopedi maya, Wikipedia menuturkan, Shireen lahir di Yerusalem, pada 3 Januari 1971, dari keluarga Kristen Arab Palestina dari Betlehem. Ia menghabiskan waktu dan memperoleh kewarganegaraan AS melalui anggota keluarga ibunya yang tinggal di New Jersey. Shireen menempuh pendidikan di Beit Hanina, dan diterima di Universitas Sains dan Teknologi Jordan untuk belajar arsitektur, tapi banting setir, dan pindah ke Universitas Yarmouk Yordania, dengan gelar sarjana dalam jurnalisme cetak. Setelah lulus, Shireen bertandang kembali ke Palestina.
“Saya memilih jurnalistik untuk dekat dengan orang-orang. Mungkin tidak mudah untuk mengubah kenyataan, tapi setidaknya saya bisa membawa suara mereka ke dunia,” Katanya dalam segmen televisi Al Jazeera.
Kali pertama karier jurnalistiknya ditempuh dengan menjadi jurnalis untuk Radio Monte Carlo dan Voice of Palestine. Dia juga bekerja untuk UNRWA , Amman Satellite Channel , dan MIFTAH. Pada 1997, ia mulai bekerja sebagai jurnalis untuk Al Jazeera, sebagai salah satu koresponden
lapangan pertama mereka, dan menjadi terkenal sebagai reporter di saluran berbahasa Arab mereka.
Kematian Shireen yang ditembak itu, mengandung segudang nilai filosofis. Disebut filosofis, karena di sini akal waras ditantang untuk menganalisis secara radikal, serta nalar bernas dirangsang untuk menafsir tanpa tendensi politis.
Orang Islam terutama dari garis keras salafiyah, akan menyebut kematian syahid atau syahidah, hanya kepada pejuang beragama Islam lagi, dan ia wafat dalam membela kebenaran. Namun untuk kasus Shireen, terdapat kekecualian dari satu pihak, setidaknya menurut Dubes Palestina untuk Indonesia.
Bila mengacu pada keterangan yang dipaparkan dalam Quran surat al-Baqarah ayat 62, sesunggunya siapapun yang beriman (yakin), baik dari golongan yahudi atau nasrani, atau dari golongan shobi’in (semisal Hindu, Budha, Konghucu, dll.), siapa saja di antara mereka yang yakin kepada Tuhan dan hari akhir, dan berbuat baik, akan menerima pahala dari Tuhannya, dan tidak pula ia akan bersedih hati.
Keterangan di atas meski cukup bernas, akan melahirkan diskusi panjang, bahkan cenderung menjadi debat kusir yang dikendalikan oleh emosi dan egoisme, ketimbang dialektika yang moderatif dan telorans. Di ranah politik, pada akhirnya memang tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan.
Politik pada akhirnya, kerap diabdikan untuk kepentingan nafsu, ego, dan obsesi manusia. Ujung dari praktik politik, kerap kali berebut uang, di mana uang bisa mendatangkan kekuasaan, dan bisa membeli paralon untuk menyalurkan libido purbawi manusia. Kata Voltaire, sastrawan besar dari Prancis, di hadapan uang, agama semua orang cenderung sama, yaitu hipokrit. *
Discussion about this post