Sehubungan TIM-8 yang menyusun buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” (Selanjutnya 33 TSIPB) mayoritas beragama Islam, dan salah satu yang ditokohkan pada buku tersebut, yaitu Denny JA (DJA), juga beragama Islam, maka tulisan ini kami mulai dengan “menyapa” mereka sebagai muslimin.
Terjemahan hadis paling berharga dari Bukhari ini semoga menjadi sapaan paling sopan buat mereka: “Dari Umar bin al-Khaththab RA, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Bahwasanya perbuatan manusia akan dinilai melalui niatnya, dan sesungguhnya pahala setiap perbuatan orang bergantung pada niatnya. Barangsiapa berhijrah (dengan niat) kepada Allah dan Rasul- Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa berhijrah untuk dunia, atau untuk wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa-apa yang ia hijrahi”.
Setelah mencermati kata pengantar Buku 33 TSIPB, dan membaca berita-berita di pelbagai media, kami menilai penyusunan buku tersebut telah cacat niat. Buku itu disusun bukan untuk membangun wacana sastra yang ilmiah dan bertanggungjawab, melainkan untuk mengkultuskan seorang DJA agar menjadi salah satu tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Imbalan untuk kultusisasi itu adalah uang, bukan?
Dalam proses pengkultusan itu, kami menangkap beberapa perbuatan Tim-8 (sekarang tinggal 7 orang, maka selanjutnya dalam tulisan ini jadi Tim-7) yang mengarah pada pelanggaran hak cipta, pelanggaran moral, bahkan tindak kriminal. Perupa Hanafi yang tidak mengizinkan lukisannya dijadikan ilustrasi sampul buku, tapi tetap dicatut juga. Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin (PDS Jassin) tidak pernah memberikan mandat kepada Ketua TIM-7 untuk membuat buku kanonisasi atau “miss-miss-an” itu. Kepada pengurus Aliansi Anti Pembodohan (AAP), Ketua PDS Jassin menuturkan melarang Ketua Tim-7 untuk membawa-bawa PDS Jassin sekalipun sekadar menyebut buku itu didedikasikan untuk PDS Jassin.
Namun karena tergiur oleh uang, Tim-7 menjual integritasnya. Juga karena sulit dicarikan jalan lurus untuk kultusisasi, mereka cukup bernyali juga untuk berbuat lancung, mainah catut, degil, pembohongan terhadap publik, dan nyerempet pada tindak kriminal.
Di lain sisi, argumentasi yang dibangun pada pengantar Buku 33 TSIPB serta tulisan Ahmad Gaus tentang DJA, termaknai sebagai asal bunyi, dan karenanya menjadi tidak kokoh argumentasi. Misalnya menyebut teks Sumpah Pemuda sebagai puisi, jelas itu asumsi dan klaim gegabah yang bernada main-main, sebab sampai sekarang ini belum ditemukan referensi yang menerangkan para perumus Sumpah Pemuda menyatakan hasil rumusannya merupakan puisi. Seingat kami, Sutardji Calzoum Bachri yang pertama berkelakar bahwa teks Sumpah Pemuda adalah puisi. Karena Tim-7 terbawa berkelakar, bisa diasumsikan, buku yang mereka karang sarat dengan kelakar. Patutkah buku kelakar dipercayai?
Terbaca juga kusut-masai cara berpikir Ahmad Gaus pada tulisannya. la menyebut puisi Indonesia yang liris- tik sulit dipahami oleh masyarakat luas, karena itulah DJA membuat puisi esai supaya lebih mudah dipahami. Betapa gegabahnya, Ahmad Gaus mengklaim gaya puisi DJA disebut sebagai pembaharu. Tulisan-tulisan di sosial media membedah bahwa puisi esai seperti itu bukanlah hal baru. Dan toh ada pepa- tah “Nothing new under sun.”
Jika puisi-puisi karangan penyair Indonesia tidak bisa dipahami oleh masyarakat luas, apa berarti puisi harus didangkalkan supaya bisa dipahami oleh halayak ramai? Toh dengan bisa memahami puisi, tidak menjamin seseorang menjadi sejahtera. Bahkan dengan bisa menulis puisi pun, tidak menjamin seseorang menjadi lebih bermoral. Contohnya itu penyair SS yang diduga memperkosa. Bahkan, Tim-7 yang mengaku paham sastra, toh berani bertindak amoral demi uang, bukan?
Apa gunanya puisi dipahami masyarakat bila malah melahirkan orang-orang ngaco seperti Tim-7 yang menghalalkan cara-cara busuk, bermu- ka badak, dan makin “omon koncon” dalam menyodorkan argumentasi-ar- gumentasi pembelaannya?
Justru yang harus disederhanakan itu adalah bahasa hukum dan bahasa politik, supaya masyarakat makin memahami hukum dan politik. Sebab, masyarakat yang melek hukum dan politik, akan semakin tahu hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Bila warga negara sudah tahu hak dan kewajibannya, kesejahteraan akan lebih mudah didapat.
Tulisan Ahmad Gaus pada halaman 648-663 Buku 33 TSIPB itu merupakan bentuk glorifikasi bagi seorang megalomania. Sebagai sales, Ahmad Gaus memang harus membabi buta supaya dagangannya laku. Pada tulisan berikut catatan kakinya ia jelaskan, betapa DJA adalah seorang “King Maker” yang telah berhasil mengkatrol seorang jenderal titular menjadi Presiden hingga dua periode. Apakah mengkatrol jenderal titular menjadi Presiden merupakan suatu keberhasilan?
Kami tidak setuju. Karena bagi kami, SBY adalah Presiden yang berkampanye hendak memerangi korupsi namun ternyata kekuasaannya dikelilingi oleh para koruptor. Pemerintahannya telah menjual sekian aset negara kepada bangsa asing, juga kapitalis jahat yang dengan demikian, negara ini kembali tenggelam dalam hutang yang menggunung.
SBY yang dikatrol DJA melalui Lingkaran Survey Indonesia (LSI) itu, ternyata mengecewakan kami, mengecewakan berjibun konstituennya. Dengan demikian, DJA dan LSI-nya, dalam konteks pembangunan negara-bangsa Indonesia, telah gagal, sebab yang dihasilkannya ternyata seorang pemimpin yang cenderung hipokrit. Alih-alih berhasil memberantas korupsi yang dijanjikan, kini korupsi malah dilakukan oleh pasukannya. Penguasa yang hipokrit-koruptif itu lahir berkat “sim salabim” yang dilakukan oleh “King Maker” itu.
Sebanyak 23 calon Gubernur dan 53 calon Bupati/Walikota berhasil menjadi Gubernur dan Bupati/Walikota berkat “pengampelasan” yang apik oleh “King Maker” melalui LSI. Ternyata dari sekian orang yang berhasil menjadi Gubernur dan Buapti/Walikota itu adalah nyata-nyata terbukti koruptor dan sudah dijebloskan ke dalam penjara. “King Maker” dan LSI-nya itu mungkin tidak peduli kalau orang yang datang kepadanya ternyata seorang bandit. Namun karena punya uang, “King Maker” dan LSI-nya bersedia menyulap bandit menjadi seolah-olah orang baik yang patut dipilih rakyat. Setelah berhasil jadi pemimpin, si bandit pun memperlihatkan gelagat sesungguhnya. Maka ingin kami tegaskan di sini: LSI adalah rumah sakit bersalin tempat melahirkan para koruptor, dan DJA sebagai bidannya.
Berbekal metode katrol di dunia politik, kemudian King Maker politik ini masuk ke wilayah sastra. Kenapa harus memasuki wilayah sastra, kiranya benar pendapat John F Kennedy yang dikutip dalam pengantar Buku “33 TSIPB”, bahwa politik membuat seseorang menjadi kotor, dan sastra bisa membersihkannya. Setidaknya, sastra bisa menunjukkan kekotoran seseorang. DJA mungkin ingin bersih-bersih dari kekotoran yang mencipratinya di dunia politik melalui sastra. Tapi ternyata dunia sastra justru memperlihatkan belang DJA yang sesungguhnya.
Psikolog Maslow pernah berpendapat tentang anatomi hasrat manusia. Menurut Maslow, setelah manusia aman di tingkat survival, menabung, dan kepemilikan, berikutnya akan memasuki wilayah pengumpulan esteem (penghargaan) dari publik. Setelah penghargaan terkumpul sebanyak-banyaknya, hasrat manusia berikutnya adalah memasuki ranah aktualisasi.
Nah, DJA yang berlatar-belakang miskin itu, kini telah menjadi orang yang sukses secara materi. Dengan materinya, ia kini sedang memasuki ranah pengumpulan “esteem”. Setelah DJA ditobatkan sebagai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh, kami kira target berikutnya DJA mengincar penghargaan Nobel. Indikasi ke arah itu dapat kita lihat pada jawaban DJA lewat forum diskusi di situs perpustakaan online miliknya, DJA mensetarakan dirinya dengan Churchill. DJA mengatakan, penghargaan sastra diberikan kepada tokoh yang bukan sastra bukanlah hal yang baru. “Di tahun 1953, nobel sastra diberikan kepada Sir Winston Churchill. la adalah politisi dan negarawan yang sama sekali tak pernah dikenal di dunia sastra,” tulis DJA. Setelah ‘esteem’ terkumpul, kiranya ia akan memasuki wilayah aktualisasi: “nyaleg” atau “nyalon” Gubernur atau malah mungkin Presiden.
Apa katamu bila seorang bidan koruptor bisa meraih nobel?
Sungguh DJA salah alamat. Di wilayah politik, apapun ulahnya, tidak begitu mendapat hambatan, karena di ranah politik, sebagaimana kita lihat di televisi, siapa yang kuat membacot dan bercongor, dia bisa menang. Tetapi di wilayah sastra, “bacot” itu kurang berlaku, sebab kebanyakan sastrawan itu miskin, dan psikologi orang miskin cenderung mudah tersinggung. Reaksi yang keras dari sejumlah sastrawan terhadap Buku 33 TSIPB merupakan ekspresi ketersinggungan.
Wajar bila para sastrawan tersinggung, karena upaya kultusisasi itu telah menganggap sejarah sastra yang dibangun para pendahulu seolah tiada. DJA yang baru berkiprah menulis puisi (katakanlah sejak 2012) dan menerbitkan satu-satunya yang katanya -puisi- esai bertitel “Atas Nama Cinta” langsung bisa menyalip ketokohan para sastrawan yang sudah teruji loyalitas dan dedikasinya pada dunia sastra.
DJA yang Orang Kaya Baru, telah menggelontorkan uang dalam jumlah milyaran rupiah untuk mengkatrol syahwat “esteem”-nya di dunia sastra. Buku satu-satunya yang katanya -puisi- esai bertitel “Atas Nama Cinta” gubahannya itu, dikata pengantari oleh penyair gaek Sapardi Djoko Damono yang memang sering memberikan stempel kepenyairan yang bombastis kepada orang yang bukan dari kalangan sastra. Pada pengantar buku satu-satunya yang katanya -puisi-ésai bertitel Atas Nama Cinta itu, nampak Sapardi memuji-muji. Sutardji Calzoum Bachri dan Ignas Kleden juga dimintai tulisan penutup pada buku satu-satunya yang katanya -puisi- esai bertitel Atas Nama Cinta itu. Bila Ahmad Gaus sebagai sales DJA amat jeli, maka seharusnya tulisan Sutardji dan Ignas itu jangan dimuat, karena tulisannya bernada diplomatis dan cenderung mengatakan puisi-puisi pada Buku satu-satunya yang katanya -puisi- esai bertitel Atas Nama Cinta itu, bukanlah sesuatu yang baru. Sekali lagi, nothing new The under sun.
Terang sudahlah menggandeng Sapardi, Sutardji, dan Ignas adalah bentuk stempelisasi, legitimasi, dan sasi-sasi lainnya. Untuk memperheboh buku tersebut, segera dilakukan sayembara menulis kritik terhadap buku satu-satunya yang katanya -puisi- esai bertitel itu. Hadiahnya cukup menggiurkan, yaitu total Rp100 juta. Ternyata para pemenang lomba kritik adalah mereka yang memuji-muji, sedangkan tulisan yang mengkritisi secara pedas, tidak satu pun yang menang. Lucunya lagi, pemenang pertama dari lomba kritik ini, bukan yang menyampaikan kritik lewat tulisan, tapi khotbah puja-puji yang direkam secara audio visual, dan di-upload di youtube. Pemenang yang juga lucu adalah memvisualkan puisi dalam bentuk kartun.
Penggorengan selanjutnya dilakukan melalui jurnal sajak, dengan menurunkan tulisan-tulisan pembenaran, dan sayembara-sayembara menulis puisi esai. Adapun puisi esai, menurut panitia sayembara, adalah puisi panjang yang harus ada catatan kakinya.
Beberapa orang yang tahu informasi itu, ikut lomba, dan para pemenang, karyanya dibukukan. Gilanya, setelah buku 33 TSIPB diluncurkan pada 3 Januari 2014 di PDS Jassin, ternyata para peserta lomba puisi esai di Jurnal Sajak itu diklaim sebagai pengikut, terpengaruh, atau terinspirasi puisi esai DJA, demikian Ahmad Gaus mengklaim.
Alex R. Nainggolan menuturkan bahwa ia ikut lomba bukan karena terpengaruh DJA, tapi karena tertarik hadiahnya. “Loh, kami kan sudah menulis puisi sejak 10 tahun lalu, bagaimana bisa kami diklaim sebagai terpengaruh DJA. Kalau tahu mau diklaim, kami pasti tidak akan ikutan lomba,” kata Alex R. Nainggolan. Begitulah carut-marutnya logika Ahmad Gaus sebagai sales DJA di bidang sastra. Karena carut-marut cara berpikir dan moralnya, maka wajar bila penentang pembodohan itu bermunculan di mana-mana.
Tapi DJA bukannya mau bertobat dan menyatakan minta maaf, malah terkesan makin menantang para sastrawan. Ia mengatakan melalui akun twitter-nya, para penentang Buku 33 TSIPB tidak akan mencapai 100.000 orang. Tantangan DJA ini kontan saja makin menambah ketersinggungan
para sastrawan. Berbagai upaya membongkar rekayasa kultusisasi DJA sebagai megalomania, segera bermunculan bagai jamur di musim penghujan. Yang lucu, kemudian lahir para pembela DJA, dan gontok-gontokan di situs jejaring sosial pun bermunculan. Lahir pula orang-orang yang berjiwa oportunis ke permukaan.
Mungkin sebaiknya dalam rangka mengumpulkan “esteem” itu, DJA memasuki wilayah pesantren, lalu
menahbiskan diri sebagai ulama harismatik sejajar Zainuddin MZ misalnya.
Kenapa? Sebab kita lihat prilaku para ustad di televisi saat ini cenderung menjadi pelawak, dan MUI
tidak protes terhadap laku ustad-ustad lawak yang ngawur itu. Maka DJA bila hendak melawak, ya sebaiknya di dunia agama dan politik yang sudah dipenuhi para badut bermuka badak. Di wilayah sastra, yang diperoleh DJA malah ingin kami beri ia gelar: The King Maker of Divide et Impera! {-}
Ditulis oleh Lukman Asya, Hendri Yetus Siswono, Doddi Ahmad Fauji.
Pernah terbit di Majalah SituSeni, April 2014.
Discussion about this post