Oleh: Abah Unang Sumarna
Hakikat pendidikan adalah untuk mengubah satu individu dari tidak baik ke baik, dari tidak pandai ke pandai, dari tidak terampil ke terampil, dari negatif ke positif. Selintas juga dapat kita lihat sudah mengkaver semua nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan manusia secara komprehensif dalam esensi perubahannya. Sungguh mulia.
Tapi sekarang mari kita jujur saja pada diri kita sendiri sebagai pendidik, ketika kita mengarahkan siswa, memotivasi siswa, dengan tujuan tentu saja supaya siswa mau melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, kita selalu berkata, nak kamu kalau sekolah atau kuliah ke sekolah favorit ini, kampus hebat itu, kamu akan pintar, kamu tidak akan sulit masuk ke perguruan tinggi favorit, kamu akan sukses bersaing di dunia kerja, lembaganya kompetitif berkualitas, kamu tidak akan sulit cari kerja, lulusan sekolah ini banyak di terima di sekolah atau kampus pavorit, pejabat negara dan ulama besar banyak jebolan perguruan tinggi ini, dsb. Betulkan begitu? Semua yang jadi gula-gula pemikat yang dilontarkan masih bersifat materialis. Perubahan yang diproyeksikan di masa depan sebagai sebuah ekspektasi perubahan masih bersifat fisik. Ya lebih berorientasi pada perubahan fisik, dari miskin ke kaya, dari orang biasa ke orang tenar- publik figur, dari orang kebanyakan jadi pembuat kebijakan, dari orang kecil jadi orang besar, dari sederhana ke serba ada, dari konsep berfikir sederhana ke konsep yang lebih tinggi kompleksitasnya, dsb. Hanya itu secara implisit yang terkandung, karena ya itulah mindset yang sudah melekat erat pada kita tentang ekses pendidikan. Sukses dalam hidup dengan indikator karir, rumah, kendaraan yang mentereng, deposito bejibun, dsb. Tidak salah-salah amat sih, karena ketika Si Amat ditanya pun ia menjawab ingin jadi dokter, ingin jadi menteri, ingin jadi presiden, ingin kerja di bank, dsb, pekerjaan-pekerjaan yang selintas tampak ‘basah’ secara finansial. Silahkan tanya pada diri sendiri sekali lagi, benarkah hal itu yang terjadi?
Sebaliknya mari kita jujur pada diri sendiri dalam kapasitas kita sebagai pendidik, pernahkah ketika kita mengarahkan, memotivasi siswa agar mau melanjutkan sekolah dengan mengatakan agar kamu jadi soleh, supaya kepekaan sosialmu semakin tinggi, agar kecerdasan emosionalmu semakin jenius? Kalau ada saya angkat jempol. Anda pendidik yang harus dilestarikan. Ya karena materialis lebih menarik dibanding spritualis untuk memikat. Lebih dianggap populis, perubahannya sangat kasat mata dan akan jadi pusat perhatian orang. Ketika seseorang dulu pakai sepeda dan setelah mengenyam pendidikan jadi naik BMW karena pekerjaannya sangat menjanjikan secara finansial, saya berani bertaruh ia akan jadi bahan perhatian orang bahkan gunjingan baik positif ataupun negatif minimal oleh tetangga, teman, dan kerabatnya. Tapi setelah lulus anda banyak memberikan sedekah, pertolongan kecil-kecilan pada yang membutuhkan (karena pertolongan besar-besaran tak bisa anda lakukan mengingat selepas pendidikan secara material anda kurang sukses). Saya rasa anda tidak akan jadi fokus perhatian. Takan setrending topik yang berubah signifikan di bidang perubahan kekayaan, harta benda, atau jabatan misalnya. Nah kalau kita renungkan padahal fundamental pendidikan Indonesia yang utama adalah ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani yang semua itu lebih bersifat psikologis-filosopis dalam artian harus pembangunan utama kecerdasan emosional di banding material. Apa kabar pendidikan karakter? Entahlah.
Lha lantas ada yang salah? Ah entahlah lagi. Apalagi kini para pendidik sudah kian diminimalisir kontak dengan siswa secara langsung dengan banyaknya program peningkatan kompetensi guru yang harus diikuti, malah ada waktu berbarengan dengan waktu KBM di kelas. Ya program yang konon untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan. Opo iyo bisa? Kelas harus sering ditinggal dan hanya dipimpin selembar kertas sebagai pedoman pembelajaran, sebagai pemenuhan kewajiban dalam bentuk tugas yang harus diselesaikan oleh siswa karena sang guru sedang meningkatkan kompetensi yang konon lagi untuk kemajuan siswa khususnya dan jadi pemimpin perubahan dunia pendidikan pada umumnya, dan yang konon lagi selesai program peningkatan kompetensi satu disambung lagi dengan munculnya peningkatan kompetensi baru seolah menjadi repelita dari pemangku kebijakan.
Mari kita berfikir jernih. Sudah benarkah selama ini jejak langkah, paradigma berfikir kita untuk memajukan dunia pendidikan di negara kita dengan iklim sekarang ini? Ada kesan kesuksesan kuantitatiflah yang dijadikan target pendidikan Indonesia sekarang ini. Kalau ya, lantas kesuksesan normatif- kualitatif ada di posisi mana? Wallohualam bissawab.
(Selamat Hari Pendidikan Nasional, semoga yang Maha Kuasa meridoi ihtiar kita bersama! Semoga Ki Hajar Dewantara berkenan dengan strategi peningkatan kualitas dunia pendidikan kita sekarang!)
Sindangtimur, 010423
Biodata Penulis.
Unang Sumarna, besar dan lahir di Ciamis. Menulis di media sejak 1993 akhir. Menulis dalam dua bahasa Sunda dan Indonesia. Puluhan buku sudah ditulisnya. Pernah jadi koresponden di beberapa media Sunda. Sering jadi narasumber untuk kepenulisan fiksi. Mendapat beberapa penghargaan di bidang menulis termasuk penghargaan dari PGRI Kab. Ciamis dalam ajang International Milenial Teacher Festival 2022 sebagai guru penulis buku paling produktif jenjang SMP. Kini mengajar di SMPN 5 Ciamis.
Discussion about this post