Hari Senin, tanggal 22 Agustus 2022, tepat pukul 12.00, Forum Seniman Peduli TIM (FSP-TIM) akan berangkat ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mengawal ‘gugatan’ yang sudah dikuasakan kepada Pengacara Effendi Saman, SH. Gugatan dimaksud berupa pengajuan hak uji materiel terhadap Peraturan Gubernur Nomor 63 Tahun 2019 juncto Nomor 16 Tahun 2022 yang memberikan kewenangan penuh kepada PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM). Perusahaan perseroan daerah, yang sesuai Akta Notaris Nomor 24, tanggal 26 Oktober 2021, bidang usahanya adalah perdagangan, jasa dan pengembangan, infrastruktur, serta utilitas real estate dan infrastruktur.
Kehadiran para seniman di ruang pengadilan itu adalah sesuatu yang tidak biasa. Agaknya, baru pertama kali dalam sejarah republik, yang sudah menyatakan kemerdekaannya selama 77 tahun ini. Tapi, hari ini, sebuah kawasan kesenian yang bersejarah, TIM yang diwariskan oleh Gubernur Ali Sadikin sebagai rumah besar seniman, justru sudah tidak merdeka. Kawasan kesenian milik negara, yang sejak awal didirikan (dan seharusnya) bebas dari intervensi kuasa politik dan ekonomi kapitalistik itu kini telah direnggut oleh PT Jakpro, tanpa alasan yang jelas, tanpa perbincangan yang patut dan benar, dengan para seniman yang memiliki hak sejarah, hak moral, hak kultural, dan hak konstitusional atas ruang ekspresi yang melahirkan a.l. Rendra, Arifin C. Noer, Huriah Adam, Sardono W. Kusumo, Wahyu Sihombing, Sutardji Calzoum Bachri, Slamet Abdul Syukur, dll. para seniman yang berpengaruh, dan memberi sumbangsih bagi kemajuan kesenian dan kebudayaan di negeri ini.
54 tahun yang lalu, Ali Sadikin sudah tegas menyatakan bahwa TIM dibangun sebagai investasi kultural. “Hasilnya tidak segera dapat dikecap, tapi memakan waktu yang lama,” kata Ali Sadikin saat meresmikan Taman Ismail Marzuki pada tanggal 10 Nopember 1968, sebagaimana dikutip Pelopor Baru, No. 684 Tahun 1968. Ia pun mengingatkan, “Politik sebagai panglima di bidang kebudayaan tidak boleh terjadi di Pusat Kesenian,” (El Bahar, 12 November 1968).
“Apa yang telah kita tanamkan sebagai modal seni, modal kebudayaan, di kompleks Pusat Kesenian Jakarta ini, akan memberikan bunga dan buah-buah karya seni yang tak terhingga nilainya bagi kehidupan kultural kita di ibu kota di masa-masa yang akan datang!”
*
Dikeluarkannya Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 63 Tahun 2019 yang diperkuat lagi dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2022, adalah hulu persoalan yang memicu kemelut atas nasib TIM yang didirikan oleh Ali Sadikin tersebut. Penugasan kepada PT Jakpro, BUMD yang tupoksinya membangun dan merawat gedung-gedung itu, untuk mengelola TIM, tidak tanggung-tanggung, selama 28 tahun, adalah kebijakan yang keliru.
Hal ini bisa terjadi oleh karena alasan tak masuk akal, bahwa Pemprov. DKI menyatakan tidak sanggup membiayai TIM. Bahwa pusat kesenian seluas 72.551 m2, yang sepetak kecil di keluasan Jakarta itu, dianggap membebani APBD. Lantas dengan enteng, PT Jakpro ‘dimodali’ oleh Pemprov. DKI dengan menggelontorkan dana Penyertaan Modal Daerah (PMD) sebesar 1,6 trilyun, sebagai pinjaman, yang justru bersumber dari APBD juga, yang harus dikembalikan dengan cara membisniskan kawasan TIM.
Di beberapa pasal dalam Pergub. Nomor 63 Tahun 2019 dan Pergub. Nomor 16 Tahun 2022 itu, kepada Jakpro diserahkan ‘cek kosong’, antara lain berwenang penuh, antara lain: menyewakan seluruh ruang dan bangunan yang ada, mengelola lahan parkir bawah tanah, mengelola hampir dua ratusan kamar penginapan, memasang dan menyewakan media iklan luar ruang (videotron).
Dengan kekuasaan mutlak itu, tak pelak di mata para seniman, Jakpro bertindak sebagai predator, gergasi, yang leluasa menggerogoti ruang yang selama ini menjadi wilayah interaksi pemikiran dan gelanggang ekspresi para seniman itu. Tidak hanya seniman Jakarta, dari juga dari segenap penjuru Indonesia.
Bagi FSP-TIM, memaksakan Jakpro bercokol di TIM adalah kebijakan blunder, kekeliruan, bahkan kesalahan yang fatal.
*
Hari ini, de jure dan de facto, ada 2 (dua) instansi resmi Pemprov. Jakarta yang menguasai TIM. Ada 2 (dua) penguasa di satu kawasan, yang mengerjakan urusan yang sama!
Yang satu, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Yang berdasarkan Peraturan Daerah juncto Peraturan Gubernur juncto Instruksi Gubernur diberi amanah untuk mengelola TIM, serta membangun, mengembangkan, dan menghidupkan kebudayaan dan ekosistemnya di Jakarta. Bahwa, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2019 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan juncto Peraturan Gubernur Nomor 149 Tahun 2019, yang berwenang, bertugas, dan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kebudayaan dan sub urusan kebudayaan adalah Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Adapun yang satu lagi, ialah PT Jakarta Propertindo, (BUMD yang sebutir zarah pun tugas pokok dan fungsinya tak mengandung DNA kesenian itu), yang merasa mendapat hak penugasan untuk ikut mengelola urusan pemerintahan dibidang kebudayaan dengan menguasai TIM selama 28 tahun, tapi hanya dengan berdasarkan Peraturan Gubernur, bukan berdasarkan Peraturan Daerah yang disusun bersama DPRD. Dan mengelola TIM tanpa melibatkan Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta.
Padahal, semua pihak mengetahui bahwa PT Jakpro itu wajib bekerja berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah; yang pada pasal 7, butir c dengan tegas menggariskan bahwa tujuan pendirian BUMD adalah untuk “memperoleh laba dan/atau keuntungan.”
Tapi hari ini, kedua instansi itu sama-sama bicara soal kesenian. Yang satu, yaitu Dinas Kebudayaan, memang ahlinya. Yang satu lagi, sama sekali bukan ahlinya. Kedua kini ‘berebutan’ untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kebudayaan/kesenian itu, dengan segala macam cara. Tapi sumber anggarannya satu: APBD Jakarta. Di satu lokasi pula, yaitu di TIM.
Berdasarkan (hanya dua tekenan) Pergub Nomor 63 Tahun 2019 dan Pergub Nomor 16 Tahun 2022, PT Jakpro terang benderang
telah mengamputasi, dan mengambil alih sebagian besar kedudukan, kewenangan, tugas pokok, fungsi Dinas Kebudayaan DKI Jakarta di TIM. Bahkan asetnya (berupa tanah) di Jalan Cikini Raya no. 73 itu. Dan juga sebagian anggarannya (jika subsidi sebesar puluhan miliar per tahun yang konon tengah diajukan oleh PT Jakpro untuk mengelola kegiatan dan perawatan TIM dikabulkan oleh Gubernur dan DPRD DKI Jakarta).
FSP-TIM menilai bahwa preseden buruk yang ganjil dan tidak pernah terjadi di manapun itu, adalah malpraktik kebijakan. Ia menebas dan memberangus banyak hal sekaligus: marwah ruang kesenian, moral kaum seniman, serta filosofi dan sejarah TIM itu sendiri.
Oleh karena itu, FSP-TIM sebagai gerakan moral seniman, yang menganggap bahwa TIM tak boleh dikacaukan dan dibusukkan dengan urusan untung rugi ala kapitalis, sangat berkepentingan dan menuntut agar kedua Pergub itu dicabut, Pergub yang menyusahkan banyak pihak itu: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, para seniman, dan Taman Ismail Marzuki.
*
Apalagi, dalam proses pembangunan itu PT Jakpro tidak konsisten mematuhi kesepakatan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diamanatkan oleh Komisi X DPR RI, Ketua DPRD Jakarta, dan Gubernur Anies Baswedan, agar proses revitalisasi TIM dibahas secara intensif dengan para seniman, termasuk dengan para empu seni yang berpuluh tahun beraktivitas di sana, (tidak hanya dengan Dewan Kesenian Jakarta dan Akademi Jakarta, yang tidak sepenuhnya memposisikan diri sebagai representasi seniman se-Jakarta Raya itu). Pembahasan, tidak hanya soal fisik bangunan, tapi juga harus sampai ke ikhwal non fisik, berupa sistem dan mekanisme tata kelolanya.
Forum Seniman Peduli TIM tidak punya kepentingan lain, selain menjaga marwah itu. Marwah Taman Ismail Marzuki, marwah Dinas Kebudayaan, marwah PT Jakpro, marwah kaum seniman (di mana pun), marwah Ali Sadikin, marwah Ajip Rosidi, marwah Rendra, Arifin C. Noer, dan semua seniman yang pernah hidup dan mati untuk Taman Ismail Marzuki itu!
Apapun alasan dan alibi yang dipakai, tak ada DNA-nya sebuah PT menguasai dan mengelola Taman Ismail Marzuki, sebuah kawasan seniman dan kesenian yang telah menyejarah selama lebih dari 50 tahun. Setiap orang, yang memiliki nalar, akal sehat, kesadaran, hati nurani, pasti akan menolak kebijakan yang ganjil, anomali, bahkan tak pernah terjadi di negeri kapitalis mana pun di muka bumi ini.
Sebuah kawasan, yang sesungguhnya adalah aset kaum seniman dan budayawan itu, yang berpuluh tahun menjadi salah satu mata air, muara peradaban bangsa itu, hanya pantas dikelola oleh sebuah badan khusus yang dibentuk untuk itu, semisal Badan Layanan Umum yang bersemangat mempersembahkan pelayanan publik yang sebaik-baiknya, tanpa harus mengeruk laba dan keuntungan finansial dari kawasan yang ia kelola.
Taman Ismail Marzuki adalah ruang publik, adalah wahana proses kreatif, adalah warisan keluhuran, kerendah-hatian, dan kecerdasan para tokoh visioner: Ali Sadikin, Ajip Rosidi, Ilen Surianegara, Ramadhan K.H., Mochtar Lubis, Arief Budiman, cum suis, yang paham betul bahwa seniman dan kesenian itu, bahwa nilai-nilai yang mereka hidupkan dan persembahkan kepada bangsa ini, bukan dilahirkan dari rahim dan teori dagang, jual beli, untung rugi. Melainkan dari idealisme, kejujuran, keindahan, marwah, kredo dan etos penciptaan, yang sesungguhnya adalah antitesis dari segala jargon kapitalistik, yang jumud, banal, dan merusak itu.
Seperti pesan Radhar Panca Dahana: “Membiayai TIM, dan Taman-taman di seluruh penjuru negeri ini
adalah obligasi kultural, obligasi konstitusional! Danitu adalah tanggungjawab negara, pemerintah.” Adalah kewajiban mutlak pemerintah untuk membiayai sebuah pusat kesenian seperti TIM, sebagai investasi nonmateriel. Sama dengan membangun dan membiayai puluhan ribu sekolah, ribuan pasar, ribuan rumah sakit, jalan raya dan jembatan, pelabuhan, bahkan penjara! Tak ada yang boleh diambil untung secara finansial dari semua itu.
Forum Seniman Peduli TIM berpandangan bahwa Taman Ismail Marzuki adalah rumah peradaban bangsa ini. Karena itu, ia harus berwibawa, murni, bebas merdeka dari segala kalkukasi rugi laba, dari segala intervensi yang meruntuhkan marwahnya.
Para seniman yang notabene adalah pemilik sah Taman Ismail Marzuki tak patut dirasuki dan tercemar oleh jargon dan pikiran jorok seni sebagai industri, seni sebagai komoditas ekonomi (kreatif), seni sebagai penghibur turistik, seni sebagai alat kapitalis.
*
FSP-TIM menuntut pengelolaan TIM harus berdasarkan asas-asas, tujuan, strategi, perlindungan, pengamanan, pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan atas obyek pemajuan kebudayaan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
FSP-TIM menuntut pengelolaan TIM harus berdasarkan prinsip pelayanan publik yang baik, dengan merujuk pada asas-asas kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesional, partisipatif, adanya persamaan perlakuan, keterbukaan, akuntabilitas, serta ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Bahwa, ruang kesenian yang dikelola oleh pemerintah wajib dilindungi dari dijalankan dengan mengedepankan prinsip pelayanan publik yang baik dan benar itu. Terutama dengan mengingat bahwa kesenian adalah bentuk ekspresi kearifan spiritualitas, dengan komponen esensialnya adalah karya, proses penciptaan, konsep dan gagasan, pencapaian estetika, hingga nilai-nilai keibadahan dan kebudayaannya. Ia tak bisa disamakan dengan urusan peternakan, olah raga, apalagi dengan urusan perdagangan.
Karena itu, menyangkut urusan ruang kesenian, bagi FSP-TIM, haram hukumnya bila dikaitkan dengan urusan komersialisasi. Apalagi sampai dijadikan ladang privatisasi, yang kini didorong gencar untuk dilakukan oleh perusahaan milik negara atau daerah, yanh sudah barang tentu akan sangat berbahaya bila kelak (sangat mungkin) diterapkan di TIM. Hanya karena bertujuan nominal, mengisi kas negara atau daerah. Sehingga, tak bisa tidak, memburu profit, akan menjadi kewajiban.
Itulah maka perjuangan mendudukkan perkara TIM di jalan yang benar, baik lewat ruang-ruang parlemen, maupun ruang pengadilan, ditempuh dengan keras hati oleh FSP-TIM.
Komersialisasi, penguasaan yang bersemangat kapitalistik terhadap sebuah ruang kesenian, ketidakpedulian terhadap isyarat kecemasan, kalkulasi ekonomi rugi laba, dan semangat hedonisme yang dilancarkan terhadap kesenian, sangat merugikan, dan mengancam kehidupan dan masa depan kesenian dan kebudayaan. Lebih jauh, akan merusak peradaban bangsa ini. Harus diingat, TIM bukanlah sekedar wujud bangunan fisik belaka. Tapi di sana, di dalam kawasan cagar budaya itu juga ada kemuliaan, ada ruh peradaban, ada pergulatan sejarah, yang tak boleh dikubur, apalagi atas nama rezim ekonomi jual beli yang selalu memandang rendah kaum seniman.
Untuk Jakarta, TIM adalah simpul ekosistem kesenian bagi lima penjuru wilayahnya. Bahwa rumah besar seniman itu,
adalah lahan persemaian gagasan dan ekspresi kreatif seniman. Menjadi laboratorium, barometer, dan etalase kesenian yang sahih. Rumah yang teduh, lapang, dan tenteram. Tempat segala gelisah, percik pikiran, hangat gagasan, guyub kebersamaan, tempat segala gerak, bunyi, warna, dan kata-kata, cita-cita, dan harapan, tumbuh berkecambah, bertunas, dan merimbun. Alamiah. Merdeka. Dan berfaedah!
Tapi, sepanjang kiprah dan sejarahnya, TIM juga telah menjadi ikon nasional, situs nasional. Ia telah menjadi rahim yang melahirkan banyak seniman daerah, yang kemudian menasional, menjadi tokoh yang memberi sumbangan tak ternilai bagi kemajuan kesenian dan kebudayaan Indonesia, seperti Huriah Adam, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Suyatna Anirun, Bagong Kusudiardjo, Affandi, Rustamadji, dan lainnya.
Pengembalian marwah TIM sebagaimana yang dituntut oleh banyak seniman bukanlah retorika. Tidak pula semata bertaut dengan reputasi masa lalu. Marwah yang hendak dikembalikan adalah tentang lebensraum kesenian yang terbebas dari infiltrasi dan intervensi kepentingan politik temporer dan kapital (baik dalam pemikiran maupun tindakan) yang menggagahi idealisme berkesenian. Penggagahan yang kerapkali melahirkan kebanalan.
FSP-TIM berharap, majelis hakim Mahkamah Agung dapat memahami dengan jernih, dan obyektif, dasar pemikiran yang disampaikan. Bila uji materiel terhadap Pergub Nomor 63/2019 dan Pergub Nomor 16/2022 menghasilkan keputusan yang adil, dan bermartabat bagi Taman Ismail Marzuki dan para senimannya, pada gilirannya ia akan menjadi yurisprudensi, menjadi rujukan hukum untuk kasus-kasus yang sama, yang juga merundung sejumlah kawasan Taman Budaya, juga gedung-gedung kesenian di daerah, yang satu demi satu digerus oleh kebijakan yang keliru, seperti yang terjadi terhadap Taman Budaya Sumatera Utara, di Sumatera Barat, di Riau, di Sumatera Selatan, dan di berbagai tempat lainnya.
*
Mengantar dan mengusung dokumen ‘gugatan’ ke Mahkamah Agung pada hari Senin, tanggal 22 Agustus 2022, FSP-TIM akan menggelar prosesi khidmat, sebagai doa dan tanda keprihatinan yang dalam atas nasib buruk yang merundung TIM.
Prosesi dalam bentuk ‘performance art’ dikreasi oleh Mohamad Ichlas, koreografer senior, putra Huriah Adam yang sanggar tarinya pernah dibangunkan oleh Ali Sadikin, namun kemudian dirubuhkan di zaman Gubernur Tjokropranolo. Menampilkan ekspresi spiritual yang berangkat dari pengalaman tubuh, kegelisahan pikiran, dan kesedihan batin selama hampir 3 (tiga) tahun berjuang dalam gerakan #saveTIM menolak kehadiran PT Jakpro sebagai penguasa TIM. Merindukan ruang yang lapang dan merdeka.
Dimulai dengan ritual arakan dari Jalan Veteran I. Berujung sebagai pertunjukan, yang akan berlangsung di depan gedung Mahkamah Agung. Musik untuk pertunjukan dengan tajuk POETIC RESISTANCE itu, akan dibunyikan oleh Yaser Arafat, musisi alumnus Institut Seni Indonesia, Padang Panjang, pemimpin kelompok musik Arafat Ensambel.
Poetic Resistence adalah pentas pertama, dari serangkaian pementasan, baik teater, tari, musik, maupun sastra, yang akan digelar oleh sejumlah seniman, selama proses persidangan hingga palu hakim diketuk.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan. Kami mengundang kawan-kawan media untuk hadir, menyaksikan pentas ‘perlawanan’ yang tidak biasa ini. Sekaligus mewartakan kegelisahan dan kemarahan para seniman yang menggugat, dankan nasib rumah mereka pada keputusan mahkamah yang agung dan berwibawa itu.
Terima kasih atas perhatian dan kepedulian yang diberikan.
Salam kami dari Posko #saveTIM di Jalan Cikini Raya No. 7 Jakarta Pusat
Jakarta, 21 Agustus 2022
a.n. Forum Seniman Peduli TIM
ttd
Mogan Pasaribu
Discussion about this post