Musisi Mukti-Mukti Meninggal Dunia

Obituari

Oleh Doddi Ahmad Fauji

MENITIP MATI

Memahami mata yang kau pejamkan adalah pulau yang jauh, di ufuk timur, matahari… matahari

kita yang masih bertani berdiri menatap matahari menitip mati, melumat sepi, esok pagi Revolusi!

Saat membaca japrian WA dari Kyai Matdon, mengabarkan kondisi musisi Mukti Mukti yang sedang sakit parah, dan memohon ikut berdoa untuknya, namun kemudian disusul berita mangkatnya Mukti Mukti sekitar pukul 16.00 hari ini, 16 Agustus 2022, saya langsung tercenung, dan ingat tiga hal yang segera menyeruak.

Pertama, pertemuan terakhir dengan Mukti-Mukti pada acara Haul 1 tahun tanpa penyair Atasi Amin yang digelar oleh Majlis Sastra Bandung, di Gedung Indonesia Menggugat, pada 16 Juli 2022, mulai pukul 14.00 – 17.00 WIB. Berarti sebulan lalu pertemuan itu belangsung.

Saya melihat spirit kepasrahan yang tinggi pada musisi yang kian gemar mengenakan kaos oblong warna putih ini, dipadu dengan celana komprang warna hitam atau celana trening: Penanda dari kesederhanaan kepemilikan pada benda-benda. Mukti Mukti adalah musisi yang menjauh dari hingar bingar aplaus dan sanjung puja-puji. Dia adalah musisi yang lebih tampak sebagai seniman, ketimbang selibritis yang ringkid oleh beban atribut. Sebulan lalu itu, Mukti Mukti memaksakan hadir, dengan tubuhnya yang mulai ringkid karena diserang komplikasi kronis.

Manusia pergi, memang hanya membawa tiga K: Kapas, Kafan, Kamper.

Saya memotret Mukti Mukti, yang tengah duduk diapit oleh musisi balada Ganjar Nur, Trisno Yuwono, dan Adew Habtsa, di ruang paling depan dari Gedung Indonesia Menggugat, tempat Bung Karno menggelontorkan marwah perlawanan terhadap Oligarkhi Belanda, guna merebut kemerdekaan hakiki bangsa Indonesia melalui laju revolusi yang apa adanya, tanpa workshop dan pengalaman memadai. Latar tempat Mukti Mukti berpose, adalah potret Bung Karno di dampingin para pengacara dan aktivis lainnya, di depan gedung yang dulu diberi nama Lanrad (Pengadilan).

Potret dirinya bersama para seniman, syair yang ditulisnya di atas, juga Gedung Indonesia Menggugat, mengandung benang merah yang dapat ditarik garis liniernya, dan menguarlah sebuah pesan revolusioner terutama bagi para seniman di Bandung, agar dapat merebut HAK untuk menggunakan fasilitas publik milik rakyat, yang memang dikelola oleh Pemerintah, namun karena tidak dikucurkan anggaran memadai, sehingga makna Menggugat itu jadi terasa makin berdengung untuk merebut kemerdekaan dari para oligarkhi, yang dalam hal ini, Pemerintah telah Bersifat seperti OLOGARKHI yang menjadi musuh rakyat! Pemerintah yang pengelola ruang publik milik rakyat, namun sepertinya tidak bisa membedakan mana yang harus disubsidi, dan mana yang memang harus bayar uang kebersihan, listrik, dan biaya maintenance.

Ingatan kedua, otomatis pada syair lagu dan aransemen musik yang digubahnya, yang seingat saya berjudul Revolusi, lalu saya cari di internet, ternyata ada yang menulis dengan judul Menitip Mati.

Apapun judulnya, syair dan aransemennya yang bernuansa ode, makin menguatkan saya untuk bertani, seperti termaktub dalam barik kedua: Kita yang masih bertani…

Kita mesti bertani, tidak untuk menjadi petani, namun sebagai sarana sedekah kepada pohon, tanah, binatang, dan kepada semesta yang telah memberikan lahan kepada kita untuk menghuni di dalamnya. Karena sekuat-kuatnya manusia, sepintar-pintarnya, sekaya-kayanya, bahkan orang gila pun, tetap butuh makan dan udara yang segar, yang telah disuguhkan oleh pohon melalui kerja para petani. Ingat, esok pagi…. Revolusi.

Ketiga, saya punya rencana yang tidak tuntas Bersama Mukti Mukti, yaitu menyelenggarakan workshop musikalisasi untuk para pendidik. Bersama Adew Habtsa pernah kami lalukan pelatihan itu di Gedung Balai Bahasa Jawa Barat pada 2020 awal. Sayang memang, setelah itu, datang pandemi covid 19, yang membuat sekian rencana, harus ditangguhkan.

Pada senyumnya yang selalu menawan dalam tiap obrolan, saya menangkap elan vital kesederhanaan dan kewajaran yang harus dijunjung tinggi, yang sangat selaras dengan amanat Pancasila sebagai falsafah, yang beradab, adil bagi semua kalangan, demi persatuan dan tetap mengakui bahwa yang Maha atas segala adalah ia yang Maha Esa.