Oleh Kang Warsa Pendidik di MTs dan MA Riyadlul Jannah, Cikundul, Sukabumi
Bagi dunia pendidikan, apapun dapat menjadi pelajaran, tanpa kecuali masa penerimaan peserta didik baru (PPDB). Kehadiran PPDB merupakan jawaban sementara dan masih menyisakan pekerjaan rumah terhadap permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan dalam proses penerimaan siswa baru. Permasalahan penerimaan siswa baru muncul bersamaan dengan beberapa hal; Pertama, jumlah lulusan siswa sekolah dasar (SD dan SMP) dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Kedua, keberadaan sekolah negeri, terutama tingkat menengah atas (SLTA) belum merata di setiap kecamatan di Kota Sukabumi. Ketiga, pendirian sekolah-sekolah swasta yang sebelumnya dijadikan penyangga sekolah negeri masih belum mampu mengimbangi fasilitas-fasilitas sekolah negeri. Kelima, kesadaran masyarakat terhadap pendidikan baru menyentuh ranah fisik, mereka lebih memilih sekolah tujuan daripada mendapatkan pendidikan dari sekolah.
Faktor-faktor determinan di atas menjadi alasan regulasi dan teknis penerimaan siswa baru harus diperbaiki dari tahun ke tahun. Di sisi lain, pandangan sebagian besar masyarakat terhadap pendidikan baru menyentuh bahwa mereka harus menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah tertentu dengan berbagai alasan menjadi pemicu kemunculan “sekolah unggulan”. Nalar manusia sebagai makhluk yang dibesarkan di dalam lingkungan melalui sebuah seleksi alam akan menentukan pilihan pada apa yang mereka pandang unggul dan lebih hebat.
Penerimaan siswa baru dengan regulasi dan aturan teknis lainnya telah berlangsung sejak negara ini menganut sistem pendidikan modern. Misalnya, di era kolonialisme, sebagai pelaksanaan dari politik etis, Belanda merasa memiliki kewajiban untuk berterima kasih kepada Rakyat Hindia Belanda dengan mendirikan sekolah atau lembaga pendidikan. Hanya saja, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan aturan penerimaan siswa baru berdasarkan klasifikasi dan status sosial masyarakat saat itu. Hanya kelompok sosial masyarakat kelas 1 yang dapat memasuki sekolah-sekolah rakyat dengan berbagai fasilitas yang saat itu dapat dikatakan lebih maju. Rakyat biasa dari kelas 3 hanya diperkenankan memasuki sekolah-sekolah rakyat sederhana untuk diajari membaca, menulis, dan berhitung. “Sekolah unggulan” telah muncul sejak era pemerintahan Hindia Belanda saat itu.
Penerimaan siswa baru pasca-kemerdekaan dilakukan dengan merujuk pada cita-cita besar bangsa ini, mencerdaskan kehidupan bangsa. Terjadi pemerataan pendidikan terutama di wilayah-wilayah perkotaan. Masyarakat desa juga telah dapat mengakses pendidikan dasar dengan tenaga pendidik yang rata-rata merupakan alumni dari sistem pendidikan pra-kemerdekaan. Cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mengalami penyempitan ketika sebagian besar tokoh negara ini memandang bahwa upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus dilalui oleh rakyat melalui proses pembelajaran di sekolah atau lembaga pendidikan formal. Sementara itu, sebagian besar masyarakat di negara ini masih memiliki pandangan: untuk apa sekolah tinggi-tinggi, atau tidak perlu sekolah. Pandangan ini tentu saja menjadi batu sandungan terhadap dunia pendidikan saat itu. Lulusan sekolah dasar dengan lulusan sekolah menengah atas selama lima dekade dari tahun 1945 sampai 1995 memperlihatkan piramida sempurna, lulusan sekolah dasar lebih besar dari tingkat selanjutnya. Hal ini terjadi karena sebagian masyarakat desa belum mampu mengakses sekolah-sekolah lanjutan yang berada di kota-kota. Sampai tahun 1985, siswa-siswi dari Kabupaten Sukabumi terlihat dominan melanjutkan sekolah lanjutan atas ke Kota Sukabumi.
Pemerataan pendidikan dengan membangun sekolah-sekolah baru dan mengangkat tenaga pendidik baru mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan dan regulasi mutakhir dalam hal proses penerimaan siswa baru. Sekolah-sekolah lanjutan pertama dan atas menerapkan seleksi penerimaan siswa baru melalui urutan tertinggi Nilai Ebtanas Murni (NEM), siswa-siswi dari daerah terpencil dan pelosok tetap dapat melanjutkan ke sekolah negeri di wilayah perkotaan ketika mereka mampu bersaing dalam seleksi masuk sekolah lanjutan atas. Para siswa dari wilayah kota sendiri tidak dapat masuk menjadi siswa sekolah negeri ketika perolehan NEM mereka tidak memenuhi syarat; batas nilai minimal yang ditentukan oleh sekolah tujuan . Siswa yang tersingkirkan dalam seleksi bukan tidak diperkenankan melanjutkan sekolah, mereka harus memilih sekolah-sekolah swasta. Sampai tahun 1998, sekolah-sekolah swasta benar-benar menjadi penyangga sekolah negeri dengan jumlah siswa yang cukup signifikan.
Kesadaran Terhadap Pendidikan Masih Kurang
Lulusan sekolah lanjutan atas, diploma, dan sarjana menjadi indikator keberhasilan rakyat di negara ini telah menuntaskan masa pembelajaran. Namun, masyarakat negara dunia ketiga sering memandang “ijazah” sebagai bukti kelulusan sekolah menjadi salah satu syarat mendapatkan pekerjaan yang dianggap layak. Penyakit pendidikan yang pernah diungkapkan oleh Syed Naquib Al-Attas dengan sebutan diploma diseases atau penyakit diploma telah mengantarkan orang-orang di negara dunia ketiga pada pikiran pentingnya memilih sekolah bukan lagi memandang pengtingnya pendidikan. Pertumbuhan jumlah lulusan sekolah dasar jika tidak diimbangi oleh pendirian sekolah lanjutan pertama (SMP) negeri di setiap wilayah dapat memunculkan persoalan baru, seperti; daya tampung siswa di setiap sekolah mengalami lonjakan, cara baru berpikir masyarakat dalam menyekolahkan anak-anak mereka harus ke sekolah negeri, partisipasi siswa dalam melanjutkan ke sekolah tujuan dipengaruhi oleh teman sebaya mereka, sistem penerimaan peserta didik baru harus relevan dengan kondisi sosial yang terus berubah.
Untuk menghindari lonjakan siswa di sekolah-sekolah negeri, pemerintah mulai menginisiasi pendirian sekolah-sekolah swasta di bawah lembaga pendidikan swasta, yayasan, dan pondok pesantren. Di era Orde Baru, sekolah-sekolah swasta memiliki beban lebih dalam hal pendirian dan proses pembelajarannya karena seluruh biaya harus ditanggung oleh penyelenggara pendidikan. Regulasi baru dilahirkan, karena siswa-siswi yang mengikuti pembelajaran di sekolah-sekolah swasta juga merupakan warga negara, pemerintah mengeluarkan anggaran untuk membiayai pendidikan di negara ini mulai dari bantuan operasional sekolah (BOS) hingga dana alokasi khusus (DAK) pembangunan ruang kelas baru, laboratorium, dan sarana prasarana sekolah lainnya.
Pada perkembangan selanjutnya, penerimaan siswa baru dilakukan oleh sekolah lanjutan pertama (SLTP) dan sekolah lanjutan atas (SLTA) negeri melalui penjaringan dan penyaringan yang lebih berkeadilan dengan melihat nilai akademik siswa. Tidak hanya dibuktikan oleh nilai ujian saja, para siswa harus mengikuti ujian masuk sekolah lanjutan. Ikhtiar sebaik dan sebagus apapun tetap saja masih belum mampu menghapus imaji masyarakat tentang sekolah unggulan dan sekolah negeri. Mereka masih memiliki pikiran anak-anak harus melanjutkan sekolah ke sekolah negeri tanpa kecuali dengan melakukan tindakan tidak terpuji. Citra sekolah unggulan masih melekat dalam diri masyarakat. Pertumbahan jumlah sekolah swasta juga malah berjibaku dalam meraih siswa-siswa yang tidak lolos melanjutkan ke sekolah negeri, jumlah peserta didik di sekolah-sekolah swasta dalam satu rombel masih jauh dari harapan dari tujuan kehadiran sekolah yang dapat menjawaban rasa adil dalam hal persebaran peserta didik.
Dampak Penyakit Diploma di Negara Dunia Ketiga
Fenomena dunia pendidikan seperti ini hanya dipandang sambil lalu oleh sebagian besar pihak, cara-cara tidak terpuji seperti memaksakan kehendak agar peserta didik baru diterima di sekolah tujuan menunjukkan potret buram pendidikan di negara dunia ketiga. Tentu saja, hal ini dapat menurunkan kualitas siswa yang enggan mengikuti seleksi secara alamiah dan ilmiah. Keengganan untuk berkompetisi, sikap tidak fair dan sportif, dan enggan bekerja keras sebenarnya dilahirkan dan diperkuat oleh pendidikan yang tidak tepat. Pemerintah telah berupaya menghilangkan pikiran sempit dalam memandang keberadaan sekolah unggulan, sekolah favorit, dan sekolah pilihan. Namun tetap saja pandangan itu tetap dipegang teguh oleh masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, sudah seharusnya pemerintah dan masyarakat memupuk kesadaran ketika mereka memandang ada sekolah unggulan, maka harus menyepakati hanya siswa-siswi unggul dalam kecerdasan akademik dan kecerdasan lainnya lah yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah semacam ini. Sikap sportif dan tepa selira benar-benar semakin melemah dalam dunia pendidikan saat ini.
Manusia di negara dunia ketiga yang telah terjangkiti penyakit diploma seolah-olah menyadari arti penting pendidikan padahal mereka hanya memerlukan pengakuan dari pihak lain melalui ijazah dan gelar yang akan menghiasi nama mereka. Mereka seolah-olah menyadari lembaga pendidikan sebagai lembaga suci, ruang ibadah, namun kerap siselingi dengan melakukan praktik tidak suci. Mereka juga seolah-olah menyadari bahwa pendidikan untuk semua dan seluruh siswa tanpa kecuali para penyandang disabilitas juga berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Anak-anak yang cerdas akademik tidak mungkin dikompetisikan dengan anak yang cerdas di bidang sosial dan seni, maka regulasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) diganti kembali dengan format yang lebih kompleks dan beragam jalur pilihan; Afirmasi, Prestasi, KETM, ABK, Kondisi Tertentu, dan Zonasi. Jalur selain zonasi dapat dipilih oleh siapapun jika memenuhi syarat. Namun, tetap saja, watak manusia negara dunia ketiga yang telah dididik untuk tidak sportif sejak dari awal, seperti ungkapan Walter Lippman, terus diwariskan dari generasi ke generasi, jalur-jalur tersebut dalam praktiknya masih diwarnai oleh sikap yang dapat mengotori lembaga suci lembaga pendidikan.
Jalur zonasi hanya dapat diakses oleh para siswa yang memiliki tempat tinggal terdekat dengan sekolah tujuan, itu pun dengan penyebaran sekolah lanjutan atas (SMA dan SMK) negeri yang belum sepenuhnya merata di setiap kecamatan. Kecamatan Cikole memiliki dua sekolah menengah atas (SMA) negeri dan dua sekolah menengah kejuruan (SMK) negeri. Kecamatan Citamiang memiliki satu sekolah lanjutan atas (SMA) negeri dan satu madrasah aliyah (MA) negeri. Kecamatan Baros belum memiliki SMA dan SMK negeri, Lembursitu baru memiliki sekolah menengah kejuruan (SMK). Kecamatan Cibeureum memiliki satu sekolah menengah pertama (SMA) negeri. Kecamatan Warudoyong belum memiliki SMA dan SMK negeri. Dan Kecamatan Gunungpuyuh memiliki satu madrasah aliyah (MA) negeri. Bahkan, setiap sekolah negeri juga memiliki jumlah rombongan belajar (ruang kelas) berbeda yang sulit menampung siswa meskipun memiliki akses terdekat dengan tempat tinggal para siswa.
Terlebih, berbeda dengan tiga dekade lalu, para siswa yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya biasa dikoordinir oleh sekolah asal untuk memilih sekolah tujuan. Misalnya, anak-anak berprestasi direkomendasikan oleh sekolah asal ke sekolah tujuan yang memberikan batas terendah NEM sebesar 40 ke atas. Berbeda dengan tiga dekade sebelumnya, pendaftaran siswa menunjukkan lebih direkomendasikan secara mandiri dengan alasan daring.
Pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) merupakan salah satu masalah dunia pendidikan yang memerlukan jalan keluar bersama untuk saat ini. Walakin, PPDB juga bukan merupakan masalah paling krusial dalam dunia pendidikan. Permasalahan domain dalam dunia pendidikan adalah upaya menyadarkan masyarakat dan diri kita sendiri terhadap pentingnya pendidikan tanpa ruang dan batas dari sekadar mementingkan memilih sekolah hanya demi melampiaskan hasrat, keinginan, ego, dan tindakan yang jauh dari nilai-nilai pendidikan dan keilmuan kita.
Discussion about this post