Oleh: Rd Ace Sumanta
Ibrahim Adjie di lahirkan di Bogor, 24 Februari 1923. Beliau dari keluarga fanatik dan disiplin agamanya tinggi. Mungkin masyarakat mengenal lewat Jalan membentang di daerah Laladon Bogor “Jln. Ibtahim Adjie” suatu penghargaan yang amat tinggi dan positif bahkan melalui Tim TP2GD Kota Bogor, diusulkan ke Presiden RI melalui Gubernur Jawa Barat untuk diangkat sebagai pahlawan nasional.
Saya (penulis) terus meneliti dan menggali data tentang beliau dari berbagai sumber termasuk menghadirkan para putranya ke Balai Kota Bogor. Sangat layak dan relevan beliau dianugerahi Pahlawan Nasional.
Tim yang diketuai oleh Prof. DR. H. Bibin Rubini, M.Pd (Rektor Universitas Pakuan Bogor ). Kami mengusulkan 5 tokoh Bogor yaitu: Ibrahim Adjie, Ipik Gandamana, KH. Sholeh Iskandar, Dr. Marzuki Mahdi dan MA. Salmun. Namun sampai saat ini tidak satu pun masuk. Kami terus berjuang.
Ketika tahun 2021 kami mengadakan riset dan komunikasi dengan Bagian Sosial Provinsi Jawa Barat untuk mengadakan sosialisasi dan seminar melalui TP2GD Kota Bogor dimana saya (penulis) sebagai narasumber baik yang diselenggarakan oleh Pemda Kota Bogor maupun Kabupaten Bogor mengerucut dan mengusulkan hanya satu nama yang dikirim ke TP2GD Jawa Barat. Hasilnya belum diketahui.
Kembali ke tokoh pejuang kharismatik religius Ibrahim Adjie (Letnan Jenderal ) yang juga Mantan Pangdam VI/Siliwangi tahun 1960–1966. Letjen Ibrahim Adjie kemudian di tugaskan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Negara Inggris dipangkunya hingga tahun 1970. Kemudian beliau ditugaskan lagi menjadi Duta Besar /Kepala Perwakilan Indonesia di Jenewa. Hingga beliau menjadi seorang wiraswastawan banyak membantu orang lain.
Keteguhan jiwanya dan nasionalisme yang mengakar sejak usia 11 tahun Ibrahim Adjie telah dimasukkan ke dalam penjara Belanda. Ia berdebat dengan gurunya di sekolah mengenai kepahlawanan Pangeran Diponogoro. Kurang lebih dua minggu ia meringkuk dalam tahanan.
Dalam karier hidupnya mulai di bidang militer, yakni tahun 1942 – 1945 beliau menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) kemudian ke Badan Keamanan Rakyat (BKR tahun 1945), Komandan Resimen di Bogor tahun 1946, Komandan sub Teritorial VII Sumatera tahun 1949, Komandan Brigade Tapanuli tahun 1950-1951, Kepala Staf Teritorium II /Bukit Barisan tahun 1952–1954, Kepala Staf TT III/Siliwangi tahun 1959–1960.
Teristimewa pada usia 37 tahun Ibrahim Adjie diangkat menjadi Panglima Kodam VI/Siliwangi yang dipangkunya dari tahun 1960–1966. Di usia puncaknya 43 tahun berpangkat Mayor Jenderal karier militernya berakhir.
Warga Bogor sangat bangga tentu, putera daerah yang sangat menempatkan nilai kemanusiaan di atas segalanya termasuk dalam mengatasi pemberontakan dan DI/TII. Sehingga pasukan pemberontak turun gunung menuju Kota Bogor. Pendekatan “humanisme ” dan mengembalikan pada jiwa “silih asih, silih asah dan silih asuh” sebagai landasan perjuangan.
Ibrahim Adjie kecil juga pekerja keras walau ia dari keturunan orang berada dan dari keluarga ningrat.
Ungkap Ibrahim Adjie:
“Waktu kecil saya telah bekerja di Pabrik Ban Good Year Bogor sebagai tukang memasang pentil dengan upah 4-5 sen sehari. Saat masa senggang saya pun jualan kacang goreng. Saya keturunan Raden, tapi saya tidak hidup sebagai seorang Raden”.
Penulis adalah Budayawan, pegiat Literasi, peneliti cagar budaya juga Pengurus ICMI
Discussion about this post