” Maksudnya tanah Jaringao ini penuh sejarah besar, dari jaman pertama ada manusia.
Ir. Soekarno satu-satunya presiden RI pernah berkunjung pada tahun 1964.”
Sagino (40), menuturkan kisah menarik tentang Tanah Jaringao. Sagino merupakan generasi ke-4, yang leluhurnya ikut dalam rombongan transmigrasi era kolonial tersebut. Sagino merupakan sarjana ekonomi yang semasa kuliah dia memimpin organisasi kemahasiswaan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bandung, sempat bekerja di beberapa NGO, pernah bekerja di perbankan sebelum akhirnya memutuskan untuk fokus bertani di tanah kelahirannya dan mendirikan Farmer and Social Working Bina Tani Mandiri. Nama lengkapnya Anggit Sagino Loromoso, lahir di Sukabumi 12 Juni 1981, menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Manajemen Produksi dan Pemasaran (FMP), Jurusan Manajemen Produksi Institut Manajemen Koperasi Indonesia, Tahun 2006.
Anggit Sagino Loromoso, nama pemberian dari orang tuanya yang mengandung arti Anggit artinya “nganggito” yakni gelar untuk orang pembuat seni wayang kulit yang pastinya memiliki kemampuan mumpuni. Sagino asal kata sa itu manusia, gino itu guno yang artinya berguna. Harapannya menjadi manusia yang berguna. Loro itu dua. Moso itu waktu. Artinya dua masa sebagai pengingat bahwa manusia kalau lagi senang jangan terlalu senang karena mungkin ia bakal bertemu dengan kedukaan, begitu pun sebaliknya.
Baru-baru ini Sagino bercerita, dia mendapat cerita dari cerita yang disampaikan para leluhurnya, dan berdasarkan hasil penelitian dan kajiannya. Dia juga sempat melakukan studi literatur pada tahun 2005 dengan mengakses perpustakaan Leiden Belanda terkait fakta unik tempat kelahirannya yang ditulis “Tjidjaringao”, ada nama tempat “Tjigebang” di dalam peta yang dibuat jaman Hindia Belanda Tahun 1934. Kata Sagino, data-datanya cukup lengkap di perpustakaan tersebut. Hindia Belanda memiliki visi dan master plan pembangunan wilayah tempat kelahiran Sagino ini sebagai zonasi pelabuhan terbesar setelah Batavia, lantaran letaknya yang cukup strategis berhadapan langsung dengan Samudera Hindia dan berjarak hanya sekitar 200 mil dengan pulau Christmas Australia.
Kata Sagino, penduduk pribumi yang dibohongi kolonial untuk ikut dalam program transmigrasi ini berasal dari daerah Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Dan ada beberapa gelombang pengiriman. Yang pertama penduduk pribumi dari daerah Kediri Jawa Timur sekitar tahun 1887, berikutnya penduduk pribumi dari Kebumen dan Purworejo Jawa Tengah sekitar tahun 1921.
Orang Kediri gelombang pertama yang masuk ke wilayah ini berusaha membuka lahan, ngabukbak leuweung. Namun lantaran kondisinya masih hutan belantara dan sulit untuk bisa survive, pada akhirnya dari mereka banyak yang meninggal.
“Ceritanya didatangkan lagi generasi yang katakanlah paling bisa bertahan di sini sekitar tahun 1921 yakni generasi pribumi dari daerah Kebumen dan Purworejo, diberangkatkan dari pelabuhan cilacap Jawa Tengah. Ini termasuk leluhur generasi saya, leluhur bapak saya dari Desa Kaligending Kecamatan Karangsambung Kabupaten Kebumen, dan leluhur ibu dari Karang Anyar Kebumen,“ tambah Sagino.
Leluhurnya Sagino termasuk yang diberangkatkan pada gelombang kedua ini yang dari Kebumen berbarengan dengan ekspedisi yang ke Suriname dan Deli Serdang.
Kisah ini menguatkan fakta asal-usul keberadaan perkampungan masyarakat suku Jawa yang eksis di tengah-tengah masyarakat suku Sunda di Desa Gunung Batu, Ujunggenteng, Pangumbahan, Cikangkung dan Mekarsari, Kecamatan Ciracap Kab. Sukabumi.
Untuk diketahui, nama Ujunggenteng sangat terkenal di manca negara sebagai objek wisata pantai yang sarat nilai sejarah, kerap kali dikunjungi bukan hanya oleh para wisatawan lokal melainkan internasional.
Di sekitar Ujunggenteng ini terdapat sejumlah artefak peninggalan kolonial seperti bangunan, dermaga, mercusuar, bunker dan lain sebagainya. Bahkan di lihat dalam peta yang dibuat Belanda Tahun 1934 masih terlihat lori/ jalur kereta pengangkut barang. Sayangnya artefak tersebut kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Peninggalan-peninggalan itu seolah dibiarkan.
Seorang musikus terkenal pro rakyat asal Bandung, Mukti Mukti membuatkan syair lagu yang khusus didedikasikan untuk masyarakat Jaringao ini. Berikut ini syair lagu yang kerap dia nyanyikan di panggung-panggung rakyat.
Tanah Jaringao
Tanah kita di Jaringao
Sudah lama kami rasakan
Semenjak tahun dua puluhan
Susah untuk dilupakan
Marilah kawan
Garaplah lading
Angkat pacul
Sangkur parang
Anak Istri butuh makan
Sekolah anak pun mesti bayar
Tanah Jaringao
Tanah kita
Habis dimakan hibrida
Bangunlah kawan
Apikan jiwa
Si pemakan tanah
Usirlah semua
Tanah Jaringao
Tanah kita
Habis dimakan hibrida
Bangunlah kawan
Apikan jiwa
Si pemakan tanah
Usirlah semua
Tanah Jaringao
Tanah kita
Habis dimakan hibrida
Bangunlah kawan
Apikan jiwa
Si pemakan tanah
Usirlah semua
(Syair dan Lagu oleh Mukti Mukti)
Juga penyair ternama Wiji Tukul musuhnya Orde Baru yang keberadaannya sampai hari ini tak ditemukan menulis puisi berjudul Gunung Batu. Gunung Batu ini nama desa sebelum terjadi pemekaran di mana Kampung Jaringao ini berada. Berikut puisinya yang dia tulis di tahun 1987.
Gunung Batu
desa yang melahirkan laki-laki
pencuri-pencuri
menembak binatang di hutan lindung
mengambil telur penyu
di pantai terlarang
demi piring nasi
gunung batu
desa terpencil Jawa Barat
dipagari hutan
dibatasi pantai pantai cantik
ujung genteng, cibuaya, pangumbahan
sulit transportasi
-jakarta dekat-
sulit komunikasi
sejarah gunung batu
sejarah kuli-kuli
sejak kolonial
sampai republik merdeka
sejarah gunung batu
sejarah kuli-kuli
gunung batu
masih di tanah air ini
November 87 Wiji Tukul
Balik lagi ke cerita tadi, sebenarnya mereka dijanjikan bakal dibawa ke Kalimantan atau Borneo sesuai dengan minat mereka. Namun kapal laut yang membawa mereka selama kurang lebih 3 bulan malah bersandar di pantai Ujunggenteng, entah bagaimana ceritanya pelayaran bisa selama itu padahal pelayaran dari Pelabuhan Pacitan untuk yang gelombang pertama dan gelombang kedua diberangkatkan dari pelabuhan Cilacap, masih di kepulauan Jawa. Mereka dipekerjakan di daerah perkebunan yang sebelumnya sudah diusahakan oleh VOC (Verenigde Oostindische Compagnie). VOC ini Holding Company-nya Hindia Belanda.
Pengusaha Eropa banyak yang mau berinvestasi di nusantara melalui VOC, tidak hanya orang Belanda tapi ada orang Inggris dan orang Eropa lainnya. Salah satunya ada seorang pengusaha dari Eropa yang tertarik untuk membuka lahan perkebunan di Jaringao, di daerah ini dengan membuka lahan perkebunan mulai dari kelapa sawit, kopra, karet, singkong dan serai serta membuka peternakan sapi. “Makam si pengusaha tersebut ada di sini dan sering dikunjungi keluarganya dari Eropa,” ujar Sagino.
Satu-satunya presiden yang pernah ke sini yakni presiden pertama RI, Ir.Soekarno, berkunjung sekitar tahun 1964-an. “Bahkan almarhum Uwa saya, Uwa Masna (meninggal pada Desember tahun 2016) kan menjadi pemuda rakyat atau PR kala itu sempat mengawalnya ketika presiden berkunjung. Dia cerita menyalami sendiri berjabatan tangan dengan Presiden RI saat kunjungan ke sini,” kata Sagino.
Kampung Jaringao tepatnya kini terletak di desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap Kabupaten Sukabumi. Sebelumnya desa ini secara administratif masih masuk desa Gunung Batu. Di tahun 2008 desa Gunung Batu dimekarkan menjadi tiga desa yakni desa Ujunggenteng, Desa Pangumbahan dan desa induk yakni Desa Gunung Batu. Desa Gunung Batu sendiri dulunya pemekaran dari desa Cikangkung pada Tahun 1973. ” Lokasi semua desa tersebut masih di satu titik kordinat. Dan aksesnya cukup dekat ke pantai Cibuaya, Ujunggenteng, dan Pantai Pasir Putih, sekitar 5 sampai 10 menit naik motor dari rumah saya,” ungkap Sagino.
Leluhurnya dulu kata Sagino menyebut daerah Jaringao ini dengan sebutan “Boroneoh”, atau Tanah Boroneoh, lantaran dalam bayangan mereka ini dibawa ke pulau Borneo Kalimantan. Padahal dijadikan buruh perkebunan pengusaha Eropa. Nama Jaringao sendiri konon lantaran di daerah ini banyak ditemukan tumbuhan Dringo atau Jaringao.
Interaksi dengan Penduduk Asli
Awal mula terbongkarnya terkait ekspedisi transmigrasi ini yang ternyata bukan dikirim ke Borneo tapi masih di sekitar pulau Jawa (cuma beda suku) yaitu pada pengiriman pribumi yang dari Kebumen dan Purworejo. Saat itu mereka benar-benar terisolasi di tengah hutan, mereka hanya hidup di bedeng-bedeng.
Di sini ada sungai namanya Cikarang, kata Sagino, sementara masyarakat pendatang ditempatkan di tengah hutan dan terhalang oleh sungai besar tersebut yang menyulitkan mereka untuk berinteraksi dengan penduduk asli. Ditambah lagi sungai Cikarang ini dimitoskan sungai angker, banyak buaya, dan cerita-cerita mitos lainnya. Intinya untuk menyebrang pun sangat sulit dilakukan.
Tapi, lantaran ikhtiar manusia lambat laun akhirnya bisa menyebrang hingga terjalinlah komunikasi dengan penduduk asli yang berbahasa Sunda. Bahasa Sunda dengan bahasa Jawa banyak kemiripan. Tersiarlah kabar ternyata mereka bukan dibawa ke Borneo Kalimantan tapi ke Jaringao tanah Priangan.
Sebenarnya penduduk asli tahu ada masyarakat di tengah hutan, namun lantaran mereka juga terhambat interaksinya jadi tidak mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat pendatang tersebut.
Yang dikirim ke Jaringao dari Kebumen dan Purworejo jumlahnya bukan ratusan tapi ribuan, bedol desa. Mereka membawa kebudayaan dan tradisinya yang hingga kini masih lestari, bahasa Jawanya pun masih dipakai.
Sagino mengakui dia masih menggunakan bahasa Jawa ngapak sekalipun bahasa Sundanya sangat fasih. “ Kesenian kuda lumping masih sering digelar di sini dalam perayaan-perayaan, “ ungkap Sagino.
Komunal Jawa sekarang hampir tersebar di 5 desa, di desa Gunung Batu, Pangumbahan, Cikangkung dan desa Mekarsari. Sejak tahun 80-an akulturasi budaya cukup kuat melalui pergaulan, perkawinan dan sekolah, contohnya ada masyarakat satu kampung yang anak-anaknya sama sekali sudah tidak lagi bisa berbahasa Jawa.
Menurut Sagino, ada keunikan entitas tersendiri di wilayah Sukabumi ini baik dari sisi pengembangan budaya, maupun adat tradisi apalagi ini kawasan wisata Geopark. “Di satu titik di Selatan Sukabumi ada komunitas Jawa yang konsisten dan komitmen untuk menjaga dan melestarikan warisan leluhurnya. Bahasanya masih dipakai, adat istiadat dan keseniannya masih dipakai, Sesuatu yang unik di tanah priangan ada sebuah komunitas etnik yang bukan pendatang transmigran jaman Orde Baru Tahun 70, 80-an, tapi ini terjadi sebelum jaman Indonesia merdeka,” pungkas Sagino.”
Discussion about this post