Agustus 4, 2022 AhmadFauji 0 Komentar Kurator, Kurikulum MerdekaSunting
Oleh Doddi Ahmad Fauji
SEKARANG ini, yang disebut ‘Pakar’ sangat mudah diucapkan. Saya saja hanya klantang sana klinting sini, mondar-mandir, tiba-tiba sering dibilang pakar. Jika disebut sebagai praktisi dalam perpuisian, barangkali itu lebih tepat. Sejak tahun 1990, saya belajar menulis puisi, dan puisi pertama dimuat pada sekira 1992, itu di Koran Bandung Pos, dengan redakturnya Suyatna Anirun (dosen, aktor, sutradara teater dari Studilub Teater Bandung).
Kang Yatna (panggilan akrab) ini penganut Kristiani, tapi ia memilih puisi saya yang berjudul Tahajud, yang dimuatkan di koran Bandung Pos. Dari situ saya mulai paham, puisi mengandung bahasa universal, lintas SARA.
Saya terus saja berlatih menulis puisi, hingga sering ikut nge-print di kantor rektorat, dan hasil-nya ikut difoto copy di kantor rektorat, supaya copy-annya lebih bagus. Tak tanggung, saya juga suka minta amplop, dan minta dana ke PR III untuk membeli pranko.
Saya print 20 judul puisi, dan masing-masing di-fotocopy 10 eksemplar, dan lalu semuanya diamplopi, dikasih alamat ke redaktur sastra koran dan majalah. Ongkos kirim pranko, ya minta ke PR III IKIP Bandung, namanya Karna Yudibrata (alm).
“Hanya kamu yang nyeleneh. Tapi Bapak suka,” kurang lebih seperti itu staf PR III berkomentar ke saya. Pak Sopandi namanya.
Ada dua judul puisi, yang dimuat di banyak koran. Puisi yang dimuat itu, menjadi patokan bagi saya, “oh seperti ini ya puisi yang diterima oleh para redaktur sastra koran.”
Tahun 2021, saya mendapat amanat menjadi Redaktur yang diperbantukan untuk menyeleksi karya sastra (puisi, cerpen, esai) yang akan dimuat di Koran Media Indonesia. Tahun 2021 awal, terbit buku Tahun 2000 dalam Angkatan Karya Sastra hasil pekerjaan pengamat sastra Korrie Layun Rampan, yang melakukan penelitian dan pengamatan selama satu dekade 1990-2000, untuk tulisan sastra yang terbit di media massa cetak, dan atau yang diterbitkan menjadi buku. Buku itu memuat 75 nama sastrawan dari berbagai daerah, yang umumnya mereka adalah kelahiran Dekade 1950 – 1970. Ada nama saya ikut dimuat di situ, dan saya awalnya tak tahu, kemudian diberi tahu, dan dikasih satu bukunya. Tak ada honor. Tapi dikasih buku saja, dan nama tercantum di sana, bangganya bukan main.
Tapi ketika saya menjadi redaktur, di sini terjadi kecurangan para redaktur yang kebetulan sastrawan juga, yaitu barter karya. Misalnya si A redaktur dari koran B, karyanya dimuat di Koran B, dan nanti si B karyanya dimuat di koran A. Wah ini kacau, saya tak mau ikutan. Maka, sejak itu, ditambah pula ada larangan dari Redaktur Eksekutif di koran tempat saya bekerja, tidak boleh mengirimkan tulisan sastra ke koran lain, maka saya menjadi vacum.
Generani saya adalah generasi sastrawan koran, dan sebelumnya, adalah generasi sastrawan majalah. Generasi setelah tahun 2000, adalah sastrawan festival dan sastrawan antologi tawuran. Disebut tawuran atau saweran, karena tiap orang harus ikut berkontribusi untuk ongkos cetak buku. Guna terselenggaranya festival dengan baik, buku antologi yang bagus, mendapat citra positif, maka dibutuhkan apa yang disebut tukang stempel estetik itu, yang tukang stempel itu sekarang disebut ‘kurator’.
Syah kah?
Semua syah-syah saja. Anda mau jadi pocong atau jelangkung pun, silakan saja. Namun, jika berpikir tentang anak-cucu kita, mari kita bergerak tidak hanya di permukaan, bukan sekedar pada tataran syariat yang cenderung dekat pada riya. Kita mesti sampai pada hakikat, pada esensi, dan pada wilayah makrifatik atau implementasi yang tepat untuk apresiasi sastra.
Jika sekarang para pendidik berhadapan dengan Kurikulum Merdeka mendapatkan kebingungan, periksa ke dalam diri, apakah selama ini kita sudah bergerak memasuki wilayah hakikat dan makriaftiknya dunia pendidikan? Atau sekedar di permukaan ‘ngagugulu’ silabus, modul, RPP, hingga benda-benda tersebut bikin rungsing dan marak diperjual-belikan.
Anak-cucu kita, harus lebih hebat segala-galanya dari generasi kita. Mereka harus didorong bisa menciptakan mesin, komputer, telepon buatan bangsa sendiri. Tiga piranti tersebut, selama ini, kita hanya bisa membeli, berbelanja, alias ngimpor. Kita semakin menjadi bangsa yang latah alias gampang ‘kababawa ku sakaba-kaba’, mudah disulut euforia, menjadi ‘follower’ dan ‘user’, dan unung-ujungnya terseret menjadi buyers (tukang belanja). Siapapun bisa belanja, bukan hanya beli iphone termahal, malah bisa beli helikopter, asal punya uang kan?
Nah, asal punya uang itu, akhirnya orang lupa, mana yang halal dan mana yang haram, padahal semua ngaku beragama, malah ada yang rajin umroh. Asal punya uang, itu adalah bencana peradaban yang sesungguhnya.
Maka sekarang, ngeri Lur, asal punya uang, Anda bisa menjadi penyair, bisa menjadi pakar, membeli semua label itu. *
Discussion about this post