Oleh Gorby Saputra | Pendidik di SMK Al-Muhadjirin, Bekasi
SEBAGAI tulisan awalku di sini, aku akan menceritakan dan mengenalkan Siklus Polybius, yaitu siklus bentuk pemerintahan yang dikembangkan oleh filsuf bernama Polybius. Pemikiran dia sejalan dengan pendapat Aristoteles. Polybius berpendapat, pemerintahan Negara umumnya diawali dengan bentuk monarkhi (kerajaan), di mana seorang raja atau ratu memerintah sebagai penguasa tunggal demi kesejahteraan rakyatnya. Namun demekian, bentuk pemerintahan semacam ini lama kelamaan akan merosot menjadi ‘tirani’, ketika raja yang bersangkutan atau raja-raja keturunannya, tidak lagi memikirkan kepentingan umum.
Dalam situasi semacam itu, lalu muncul sekolompok bangsawan yang kemudian menggerakan perlawanan hingga, akhirnya dapat mengambil alih kekuasaan. Saat kekuasaan diperintah oleh para aristokrat, maka pemerintahannya dijuluki Aristokrasi. Namun karena kekuasaan itu cenderung untuk disalahgunakan, pemerintahan kaum bangsawan yang baik itupun lama-lama akan merosot, kemudian menjadi pemerintahan yang akan mementingkan diri sendiri, yang kerap disebut dengan julukan Oligarkhi, yang justru menindas rakyat. Akhirnya rakyatlah yang akan memberontak dan menjalankan pemerintahan, sampai akhirnya pemerintahan berganti menjadi Demokrasi. Namun, lama kelamaan pemerintahan demokrasi pun akan jatuh, yang diakibatkan oleh korupsi dan lain-lain, hingga pemerintahan akan melenceng menjadi ‘Oklorasi’.
Di tengah pergeseran semua itu, Polybius meramal akan ada orang yang kuat serta berani untuk mengambil alih pemerintahan, dan menjadi seorang raja, hingga pemerintahan kembali menjadi pemerintahan Monarkhi. Hal ini pernah dicontohkan oleh Kerajaan Perancis saat dijabat oleh Louis XV, yang di-berontak oleh para bangsawan dengan dukungan rakyat. Namun setelah Kerajaan berganti menjadi republik, ternyata revolusi yang berhasil meruntuhkan monarkhi Louis XV mengalami kekacauan, dan bangkitlah putra mahkota, yaitu Louis XVI untuk merebut kembali kekuasaan. Berhasil, dan Perancis kembali menjadi kerajaan.
Setelah melihat siklus Polybius, saya akan berupaya membawakan tulisan yang berfokus pada bentuk pemerintahan oligarki dalam demokrasi Indonesia, dan wajar bila muncul pertanyaan apa itu Oligarki?
Oligarki adalah kekuasaan yang dikendalikan oleh sedikit orang, tapi memiliki pengaruh dominan dalam pemerintahan. Oligarki merupakan tipe klasik suatu bentuk Kekuasaan. Istilah oligarki berasalah dari bahasa Yunani, yaitu oligoi yang berarti beberapa atau segelintir, dan archeyang berarti memerintah. Secara jelasnya, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh beberapa orang, namun mereka mengutamakan kepentingan beberapa orang tersebut (bentuk negatif).
Kiranya akan muncul pertanyaan lanjutan seperti di bawah ini:
- Bagaimana awal mula terbentuknya Pemerintahan Oligarki?
- Sejak Kapan Demokrasi di Indonesia bertransformasi menjadi Oligarki?
- Mengapa bisa Oligarki menjadi ancaman Demokrasi di Indonesia?
- Praktik-praktik Pelemahan Demokrasi oleh Figur-figur Oligarki.
Pada usianya yang 76 tahun, Indonesia tampaknya masih mempunyai banyak pekerjaaan rumah dalam memperbaiki kondisi serta situasi sosial maupun politik bangsa. Dan, itu berkaitan erat dengan iklim demokrasi yang seharusnya teramat subur serta makmur, untuk memberikan kebebasan kepada rakyat, terutama dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Namun itu semua, hari demi hari, terasa semu atau hanya tampaknya saja demokrasi di negeri masih berjalan. Telah banyak studi membuktikan, sejak awal terjadi pembajakan terhadap lembaga-lembaga dan prosedur Demokrasi, yang menjadikan demokratisasi Indonesia berwatak sangat elitis bahkan transaksional, dan dari kondisi yang meneramkan itu, bibit-bibit kekuasaan oligarki dalam pemerintahan Indonesia sudah memperlihatkan tunas-tunasnya.
Jika kita bertanya, bagaimana mutu demokrasi di Indonesia yang memang sudah kepalang basah kuyup dalam arus pusaran oligarki menjadi ternoda? Ada beberapa negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi terjebak oligarki, dan menjadi akar bagi terciptanya oligarki, termasuk di Indonesia. Salah satu intitusi yang turut berperan adalah partai poltik.
Kemudian dari oligarki melahirkan transaksi, transaksi melahirkan oligarki. Politik oligarki merupakan sistem politik yang membuat pengambilan keputusan-keputusan penting dikuasai oleh sekelompok elite penguasa partai politik, karena jabatan pimpinan partai politik menjadi rebutan banyak pihak. Banyak orang berebut untuk bisa menduduki jabatan pimpinan partai politik, dan tidak sedikit yang menggunakan uang untuk meraihnya.
Teramat banyak faktor yang harus dikaji serta dipaparkan, yang menjadi sebab-sebab mutu demokrasi di Indonesia bisa masuk ke dalam pusaran oligarki, tapi sangat pasti, lahir pertanyaan bagaimana oligarki muncul di Indonesia?
Ada dua dimensi yang harus dipahami perihal penempatan atau menempatkan oligarki. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sitemik.
Sistem oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970-an, yang dibangun oleh Soeharto. Untuk memimpin sistem oligarki yang dibentuknya, Soeharto berlagak layaknya seorang The God Father yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia kepada kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok para jenderal, penguasa etnis Tionghoa, dan kelompok feodalis primordialistik pribumi.
Dari itu semua, tentu jika kembali pada realitas kehidupan saat ini, secara mutu demokrasi di Indonesia telah lumpuh menuju matisuri. Jika mengingat serangkaian peristiwa, akan tampak keenganan pemerintah Indonesia untuk berkomitmen kuar, mengikuti aturan main dan menjalankan demokrasi. Demokrasi adalah sistem yang bertujuan menciptakan keseimbangan (check and balances) antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hingga kekusaan tidak terkonsentrasi pada eksekutif.
Oleh karena itu, pemerintahan demokratis selalu membutuhkan lembaga negara lain, juga kritik dari rakyat, untuk memberikan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Namun, paska kemenangan seorang Presiden Jokowi yang didukung mayoritas partai, justru tak ragu ia menarik lawan politiknya dengan dalih ‘gotong-royong’.
Sebetulnya oligarki sudah lama berjalan, bsia disebut sejak masa kolonial, hingga rezim Jokowi. Geger Reformasi 1998, sekedar membuat oligarkhi mati suri, lalu hidup kembali.
Apakah masih teringat pemberlakuan RUU Cipta Kerja yang belum lama ini diteken Presiden Joko Widodo, hingga aturan tentang Pilkada 2020 menyebarkan lagi aroma oligarki?
Sangitnya bau oligarki, tak hanya jadi pembicaraan di ruang-ruang diskusi formal, tapi juga di beraneka media sosial.
Sudah lebih dari 20 tahun reformasi di negeri ini, yang menghendaki dapat dijalankannya cita-cita proklamasi RI seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, ternyata oligarki tidak musnah, dan makin eksis dibanding kemunculannya semenjak zaman kuda gigit besi. Meski sederhananya oligarki merupakan sistem kekusaan yang terpusat segelintir orang saja, namun kenyataan dan praktiknya, lebih rumit daripada wacana atau teorinya.
Terutama di Indonesia, kekusaan yang tersruktur antara kekuatan politik birokratis dan kekuatan ekonomi, telah melahirkan fusi koruptor berjemaah. Konseptualisasinya, oligarki menjadi sistem, yang mengatur kekuatan birokrasi, yang memegang kendali sumber daya ekonomi, bisa bergandengan tangan dengan kelompok yang punya kepentingan bisnis, untuk meraup keuntungan bersama.
Hanya beberapa bulan menjalankan pemerintahan, presiden Jokowi mulai mengecewakan para pendukungnya, yang berharap dia bisa meningkatkan kualitas demokrasi. Berkebalikan dengan janji kampanye tentang pemerintahan yang bersih dan profesional tanpa tukar guling, Jokowi memberikan posisi strategis kepada kepentingan oligarki, dan mengindikasikan keputusannya justru dilandasi oleh partai pendukungnya. Jokowi malah menjadi bagian dari sistem yang mengguritakan oligarki partai, terutama misalnya, ketika dia sebagai baopak, memberi restu kepada anaknya untuk jadi Walikota Solo.
Dalam pada itu, jika ditiilik lebih dalam, Jokowi berhasil naik karena penurunan marwah demokrasi, dan situasi politik yang stagnan membuat masyrakat merindukan sosok populis pro-demokrasi. Tapi justru di tangan Jokowi pula, demokrasi mengalami penurunan.
Bagaian yang memang harus ditelisik dengan jeli meskipun unik dalam demokrasi Indonesia saat ini, yakni adanya jabat-erat tangan antara oligarki, kartel politik, dan klientisme, karena bagian sisi mendalamnya, adalah ternyata melalui sokongan kartel politik, maka oligarki politik pun melakukan revisi atas Undang-Undang No. 19 tahun 2019 tentang KPK; Revisi Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Minerba menjadi Undang-Undang No 3 tahun 2020 tentang Minerba; dan pengajuan RUU Omnibus Law Oktober 2019 menjadi Undang-Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dan uniknya, dalam perubahan dan pembentukan Undang-undang tersebut, rakyat banyak tidak dilibatkan. Parahnya, ketika masyarakat sipil memprotes dan menggugat produk Undang-Undang tersebut, lembaga yudikatif yang diwaliki MK dan MA yang disokong oligarki, malah menolak protes dari masyarakat.
Saya jadi teringat perkataan Noam Chomsky ketika ditanya soal linguistik dan politik, dan memberikan jawaban yang cukup menggelitik dalam mengomentari fenomena seperti ini, dan jawabannya itu seperti ini: ‘Linguistic is difficult, politic is easy. The rich screw the poor (Linguistik itu susah, politik itu mudah: orangkaya mengeksploitasi orang miskin).
Maka demokrasi kita juga mengalami kemunduruan, terutama karena adanya praktek klientisme di akar rumput. Klientisme secara jelasnya didefiniskan sebagai praktik distribusi secara selektif kepada individu-individu atau kelompok tertentu, sebagai imbalan atas dukungan politik. Lebih jauh lagi, bisa didefinisikan klientisme sebagai aktifitas polotisi yang menukarkan produk dengan suara pemilih pada saat pemilu.
Secara praktik, klientisme mirip dengan pork barrel atau politik gentong babi, yang merupakan politik distribusi para elit politik dalam menyalurkan sumber daya material, seperti anggaran dalam bentuk hibah dan lain-lain, kepada daerah yang memilihnya, atau daerah tertentu.
Sihir
Dalam politik ini, masyarakat seolah tersihir persepsi bahwa kalangan elit yang mendistribusikan sumber daya material tersebut, berhasil mengeluarkan kebijakan tertentu, yang dimaknai secara gamblang, di politikus telah dapat memuaskan pemilih.
Secara istilah, demokrasi oligarki merujuk pada suatu tatanan di mana pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris, serta mendorong peminggiran kekuatan masyrakat sipil. Gagalnya konsolidasi demokrasi pasca runtuhnya rezim otoritarianisme Soeharto, membawa impilkasi negatif bagi iklim demokrasi di era reformasi. Kebanyakan masyarakat dalam menyikapi eforia reformasi, adalah membuat mereka lupa bahwa runtuhnya Orde Baru, tidak disertai melenyapnya kekuatan oligarki yang dibesarkan oleh rezim Soeharto.
Mungkin kita semua pernah mendengar bagaimana Jokowi mengatakan, demokrasi kita telah kebablasan. Justru kembali ke pernyataan Jokowi itu sendiri beserta kroni-kroninya, dalam artian bagi gerakan sosial, mandegnya agenda demokratisasi, selain karena cengkeraman oligarki yang terus bertahan, juga menandakan betapa lemahnya konsolidasi kekuatan civil society. Adalah naif belaka untuk mengharapkan Jokowi mau membonsai kekuatan oligarki.
Dialektika hubungan kekuasaan seperti inilah yang mesti kita sadari dan jabarkan dalam lapangan politik yang konkret, dan terukur capaiannya. Dengan demikian, kita serta generasi ke depannya, bisa mengetahui sistem ataupun alur betapa bahayanya demokrasi Oligarki.
Daftar pustaka:
Dua orang peneliti Robinsaon & Hafidz di tahun 2004 melakukan studi yang menggaris bawahi bahwa elit predatorial (elit pemangsa rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung politik, mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel.
Firman Noo Kepala Puslit Politik LIPI Mahfud MD (Rol(8/2/2014)
Winters, Jeffry A. 2011 Oligarki, Jakarta: Gramedia
Vedi R, Hadiz dan Richard Robinson dalam Reorganising Power in Indonesia: The Politics Oligarchy in an Age of Markets, Yuki Fukuoka dan Luky Djani Asia Research Revisiting the rise of jokowi:The Triumph of Reformasi or An Oligarchic Adaptation Of Postclientelist Intiatives?2016
Marcus Mietzner seorang peneliti dari Australia Majalah kiliksaja.com dapat diakses https://majalah.kliksaja.co/2021/07/Yuki Fukuoka , “ Oligarchy and Democracy in Post-Soeharto” Political Studies Review II,no. I, 2013: 52-64 Prisma Vol. 33 No.1 Tahun 2014 Robinson, Richard and Vedi R Hadiz
Discussion about this post