Oleh Doddi Ahmad Fauji
Syafii Maarif meninggal pada 27 Mei 2022, kisaran pukul 10.00. Ada satu dua tulisan beredar di sosmed, menguar keteladanan Buya. Tulisan Hamid Basyaib di FB, yang bernuansa kenangan pada dekade 1980-an, terbaca kaya semangat dan menyegarkan saya, membuat saya terusnya melalui web juga FB. Namun entah mengapa, satu komentar yang membuat saya menilai, ada mengapa komentarnya malah dipertanyakan, dia itu Islam liberalis ya?
Tokoh Jaringan Islam Liberalis yang saya tahu itu Ulil Absar Abdala dari garis NU, sedangkan Buya Syafii dari garis Muhammadiyah, yang dulu dikenal sering aduregeng pendapat. Hingga sekarang, NU dan Muhammadiyah sering berbeda memulai puasa pada bulan Ramadan, termasuk pada Ramadan bulan kemarin.
Orang yang sama, mengomentari postingan tentang tokoh penting, justru komentarnya terbaca tak penting. Namun pada hari sama, bertaut jam tak begitu jauh, ia mengomentari postingan saya tentang hanyutnya Eril dan fenomena clickbait, dengan antusias dan doa. Dua komentar bernada jauh terhadap dua orang yang juga jauh bidangnya, terasa seperti ngagerean hate ngeundeuk-ngeundeuk utek (menggelitik hati, menggedor pikiran): Ada apa ini?
Dulu saya mengenal orang yang berkomentar itu, dari golongan muslimah yang rajin ibadat. Dia satu kampus dengan saya, tapi beda jurusan, dan beda bidang aktivitas yang diterjuni.
Pikiran saya mundur ke belakang, pada peristiwa ketika Gusdur wafat. Merebak tulisan obituary dan tribute to Gusdur. Para penulis umumnya dari kalangan Gusdurian. Para intelektual muslim, dari Muhammadiyah, Persis, Alirsyad, LDII, dan lainnya, mungkin ada yang menulis, tapi tidak sampai ke saya. Atau jangan-jangan memang tidak ada yang menulis?
Mundur lagi pada ingatan ke belakang, pada peristiwa wafatnya Sidik Amin dalam mobil yang ia kendarai sendiri, namun sebelum ajal menjemput, ia meminggir dan parkir di bahu jalan. Seseorang di seberang jalan, yang bekerja menunggu warung dagangan, mencurigai kenapa dari tadi mobil itu parkir di tempat tak layak, dan belum juga bergerak. Saat diperiksa, tampak pengedara itu bertubuh kaku. Bersama yang lain, akhirnya tindakan diambil. Sidik Amin memang wafat.
Entah saya kurang peka, atau tulisan yang beredar kurang memiliki daya jangkau, sedikit intelektual muslim yang menuliskan obituary atau tribute to Sidik Amin. Hanya di masjid-mesjid Persis, pidato bernada mengenang Sidik Amin disampaikan.
Jika ditelisik satu per satu kenangan tentang wafatnya tokoh-tokoh agama Islam dari berbagai organisasi yang mencerminkan faham syariyahnya, saya berkeyakinan, akan sedikit ditemukan tulisan-tulisan bernas dan akurat, tentang kiprah keteladanan yang menjadi berkah untuk seluruh alam. Para intelektual muslim, cenderung tersekat oleh misi organisasi yang menjadi gambaran dari keyakinan fiqiyah dan syariyah yang dijalankannya. Di luar dirinya, adalah another (lain). Bahkan ada humor satir tentang orang Madura, yang sering membuat orang tertawa atau tersingguh bila mendengarnya, dalam memperolok organisasi Islam yang lain.
“Kalau boleh didata, apa agama orang Maduran pada umumny?”
“Lah lah lah masih bertanya sampeyan ini. 99% orang Madura itu Eslam (Islam), hanya 1 % saja yang Muhammadiyah, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dll.”
Itu memang humor, namun terasa benar satirnya, karena seakan, Islam itu hanya NU, dan yang non-NU dianggap sebagai agama lain.
Dalam pada itu, semua muslimin dari aliran apapun, akan dengan fasih berkata, bahwa Islam adalah rahmatan lil-alamin, alias berkah bagi seluruh alam.
Namun, di sini juga terasa satirnya, tapi bukan humor. Kenapa ketika tokoh agama dari organisasi yang lain, tidak membuat umat Islam dari organisasi lain berbondong-bondong mengirim doa, atas wafatnya umat Islam. Bukankah doa adalah rahmat? Jika untuk orang Islam saja tidak bisa memberikan rahmat, lalu apa mungkin untuk sampah, pohon, gunung, laut, anjing, babi, kunyuk?
Di sini ada benarnya TV Cakra menuturkan, bahwa penggalangan dana untuk Palestina patut dicurigai, jangan-jangan itu hanya Upin untuk kantong pribadi atau organisasi. Bukan tidak boleh tentunya kita menggalang doa untuk Palestina, Rohingnya, Uighur, dll. Tapi mengapa untuk muslim di Indonesia, kita tempatkan sebagai The Other?
Apakah umat Islam sduah benar-benar tersekat-sekat oleh organisasi dan faham fiqiyah dan syariyahnya? Jika benar, menurut saya, inilah salah satu sebab kenapa bangsa Indonesia lamban berkembang.
Kritik ini bernada auto, jauh ke dalam diri saya sendiri, sehingga menjadi otokritik yang harus saya carikan solusinya.
Itulah sebenarnya yang membuat saya tidak berhimpun ke dalam organisasi Islam. Saya lahir dan besar dari tradisi wahabiah, dari garis Persatuan Islam yang tergolong radikalis dalam hate, namun mohon maaf, taklid dalam berpikir. Maka saya memilih nonblok.
Ketika saya menjadi wartawan seni dan budaya, yang membuat saya bergaul makin luas dengan berbagai kalangan budayawan dan agamawan, dan merenungkan pemikiran-pemikiran kebangsaan dari founding father, terasa benar bahwa bangsa besar Indonesia, secara the facto, adalah tersekat-sekat ke dalam organisasi atau bangun, yang bisa menyekap orang di dalamnya, menjadi berkacamata kuda. Maka saya memilih nonblok.
Bahkan ketika merenungkan tentang sumberdaya sampah, yang mestinya menjadi benda netral, terasa benar sampah seperti mengandung ideologi. Urut si eta (bekas dia)! Maka sampah di Tanah Air, seperti dituliskan dalam laporan mendalam oleh Kompas, dari benda organic yang tidak termakan alias penghamburan, bangsa kita menghabiskan uang mencapai Rp330 triliun dalam satahun berdasarkan perhitungan kasar.
Terutama untuk umat Islam yang mengenal perintah ‘anadofatu minal iman’ (kebersihan itu bagian dari iman), keberadaan sumberdaya sampah ini harus semakin dipikirkan, sebab bila kita kotor, berarti iman kita masih corencang (bolong-bolong). Jika iman tak sempurna, sempurnakah kita sebagai umat Islam? Maka saya memilih nonblok.
Discussion about this post