Oleh Faudzil Adhiem
Menghidupkan agama
Bahkan, untuk mencapai kebucinan yang legal secara hukum, prasyarat agama tidak bisa menyatukan dua insan beda agama menjadi sepasang kekasih yang bahagia. Sekalipun cinta mereka begitu rupa. Sebab, membina rumah tangga tidak terlepas dari wilayah teologis (aqidah), dan berpagutan dengan aturan agamanya. Paling tidak, gambaran itu terjadi dalam agama Islam. Saya tidak tahu, apakah ketika lelaki Buddhis membangun bahtera rumah tangga dengan perempuan Kristen agamanya memperbolehkan? Bila iya, berarti setiap agama memiliki aturan yang berbeda, setidaknya dalam urusan pernikahan, dan disanalah toleransi bekerja: aturanmu untukmu, aturanku untukku. Namun, bukan berarti antar agama tidak punya jembatan untuk bisa berjalan seiring.
***
Tak satu agama pun yang memerintahkan kepada penganutnya untuk melakukan tindakan buruk, dan jahat. Sebab secara istilah pun, agama berasal dari bahasa sansakerta, a: tidak dan gama: chaos/kacau: tidak chaos². Berarti, agama ada, sebagai aturan yang hadir di tengah manusia agar tidak terjadi chaos. Kalau agama menjadi sumber chaos — dan itu sebenarnya tak mungkin—mengindikasikan cara beragama dan tafsir agama ada yang keliru, dan perlu dikoreksi.
Sebagaimana aturan, agama mulanya ‘mati’. Ia tak bisa berjalan ke sana kemari mencari telinga, merekrut orang, menyebarkan pesan-pesannya. Barulah agama hidup dan dapat mengatur, ketika nabinya menyampaikan, menghadirkan, dan menghidupkannya ke hadapan manusia (umatnya). Dalam konteks hari ini, yang menjadi tombak menghidupkan agama adalah Ustad, Pastor, Biksu, yang dalam bahasa umum disebut agamawan. Oleh karena itu, seluruh wacana agama, dinamika beragama, dan keabsenan agama dalam masalah sosial umat: IPTEK, ketidakadilan, kemiskinan, kriris iklim, dan hubungan kekerabatan antar agama berakar pada keabsenan agamawan dalam menghidupkan agamanya, dan memberikan wacana keberagamaan yang membumi pada umatnya.
Menghadirkan agama dalam IPTEK
Agamawan itu menutup salam, setelah berhotbah begini:
“Kerusakan alam merupakan bukti gagal pahamnya kita, menilik di sebalik alam adalahdi sebalik alam adalah Tuhan.
Apa yang mesti kita lakukan Bapak/Ibu hadirin? Banyak sekali Bapak Ibu. Mari kita mulai dengan memilah sampah rumah tangga kita, dan mengelolanya agar menjadi uang. Disana kita bisa sisihkan, dari sebagian uang yang masuk untuk membantu saudara kita yang sempit rezekinya, dan mencoba menerangi rumah dan tempat ibadat kita dengan energi terbarukan, seperti air dan surya. Kampung kita kan dekat sungai. Nah, pertama sebagai orang yang beragama, berakal sehat, tak boleh lagi kita membuang sampah ke sungai, dipilah ya, Bu, Pak, antara organik dan non-organik, lalu dibuanya ke tempat pengelolaan sampah di dekat tempat ibadat ini. Kedua, kita bisa coba membuat pembangkit listrik tenaga air. Sebenarnya, alangkah lebih baik kalau kita bisa pakai energi surya yang lebih melimpah. Apapun itu hadirin … Tuhan telah mengamanatkan kepada kita untuk menjaga bumi. Oleh karena itu, sebagai wujud menjaga amananahnya, kita beralih ke energi yang lebih baru dan ramah lingkungan. Serta sesuai dengan ajaran kita, bahwa tetangga yang papa mesti ditolong, tidak boleh tidak. Demikian, hadirin saya tutup saja dengan doa.”
Apatah banyak agamawan yang menyodorkan wacana seperti itu: ‘ progresif’ dalam mimbar-mimbar agama? Lalu apa hubungannya antara dominasi wacana di mimbar dengan IPTEK dan kerusakan alam? Oh, tentu ada. Soedjatmoko dalam tulisanya spiritualitas dan etika pembebasan di Indonesia mengatakan: agama merugi karena bercerai dengan IPTEK. Mengapa merugi? Karena Perceraian agama dan IPTEK, bisa dilihat dampaknya hari ini. Dimana pemanasan global makin tak terkira dan kriris iklim sudah di depan mata.
IPTEK dan agama, tentu memiliki paradigma yang beda dalam memahami alam. Paradigma yang dibangun IPTEK adalah antroprosen yang dimulai oleh Descartes dengan ungkapannya yang populer: Cogito ergo sum, serta fisikanya Isac Newton. Dimana alam dipandang sebagai sebuah mesin raksasa, dan secara terpotong-potong. Lalu paradigma ini diterima sebagai satu-satunya pemahaman yang benar tentang alam semesta, sekaligus membentuk perilaku, dan peradaban (Barat) modern yang mempunyai dampak luar biasa dalam berbagai bidang, termasuk di bidang lingkungan hidup sendiri³. Bagi Descartes, tumbuhan dan binatang pun dipandangnya sekadar sebagai mesin, begitupun tubuh manusia⁴. Karena hegemoni paradigma pengetahuan ala barat itu yang mendominasi pengetahuan dunia, sebagian umat-umat beragama di dunia ikut hanyut di dalamnya, anak-anak sekolah di didik dengan pengetahuan serba rasional, melupakan rasa dan pegetahuan lokalnya (local wisdom). Sementara itu, agamawan tak kunjung mendekat, dan mempreteli IPTEK.
Agama, yang dalam terminologi islam, selalu digemborkan sebagai rahmatan lil alamin, punya arah, aturan, dan prinsip keadilan bahwa kemasalahan bukan harus dirasakan oleh manusia semata, tetapi gunung, pohon, mata air, sungai, dan burung, harus ikut merasakannya. Sebab itu, seperti ucap Soedjatmoko: IPTEK mesti di integrasikan dengan agama. Kalau antar agamawan, ilmuwan dan ahli teknologi duduk melingkar bersama untuk menciptakan sesuatu atas dasar maslahat, manfaat, keadilan dan moral-spiritual, bencana terburuk yang diterima hari ini dari kemajuan, tidak akan begitu edan kita rasakan. Kunci untuk masuk ke sana, ada di antara orang-orang yang bergelut dalam bidangnya masing-masing. Sebaiknya, agamawanlah yang memulai menyebrang jembatan sosiologis tersebut. Sebab, ia punya umat atau massa yang mesti dibimbing. Kalau agamawan bisa memobilitas jamaah dalam kepentingan politik praktis, pemilu, mengapa untuk kepentingan politik moral, dan agenda revolusioner yang maslahat tak bisa?
Masa kini adalah esok yang lain
Dalam tulisannya, dan ceramahnya di hadapan agamawan kristen, Soedjatmoko sudah mewanti-wanti. Ia membeberkan segudang masalah, dan solusi kepada agamawan agar bisa menjawab tantangan zaman. Problemnya amat kompleks, dari cerainya IPTEK dengan agama, krisispangan, kemiskinan, pembangunan, dll.
Saya yakin, bahwa masalah-masalah yang dipaparkan Soedjatmoko di hadapan agamawan Kristen adalah bentuk penyadaran, bahwa agama mesti jadi solusi bagi umatnya.
***
Bonus demografi yang digaung-gaungkan, tanpa mengikis sikap feodal, dan merawat local wisdom (pendidikan rasa) sejak dalam bangku sekolah, rumah, dan kebijakan, hanya akan menghasilkan manusia kriris identitas yang linglung. Pun agamawan di mimbar agama, sebagai pendidik umat, harus punya arah dan tujuan: quo vadis anak-anak Indonesia? Para orang tua, yang merupakan madrasah pertama: quo vadis anak-anak? Tentu, terlepas dari cengkraman kemiskinannya.
Apa-apa yang dipaparkan bung Koko adalah penguatan kualitas manusia Indonesia seutuhnya yang dibangun secara arif oleh hubungan yang karib antara kesadaran ilahiyah dan kesemestaan. Akan tetapi, pembentukan diri menjadi manusia seutuhnya adalah suatu proses panjang, dan eksistensi yang lain yang membentuk juga mesti dipikirkan.
_________________________________________
¹https://tirto.id/komposisi-etnis-dan-agama-para-perumus-pancasila-cpMq
²https://id.wikipedia.org/wiki/Portal:Agama
³Sonny, A keraf. (2014). Filsafat Ligkungan hidup: alam sebagai sistem kehdiupan bersama Fritjof Capra. Yogyakarta: Kanisius.
⁴Sonny, A keraf. (2014). Filsafat Ligkungan hidup: alam sebagai sistem kehdiupan bersama Fritjof Capra. Yogyakarta: Kanisius.
Discussion about this post