Menyembuat Perpres No 87 tahun 2021 tentang Rebana sebagai Kawasan Strategis Nasional, dibutuhkan pengangkatan potensi-potensi lokal sebagai ikonik yang mendasari lompatan jauh ke depan. Mangga Gedong Gincu yang tumbuh di semua kawasan Rebana, dapat diangkat menjadi salah satu ikon yang khas dan tak bisa direbut oleh kawasan lain.
Oleh Doddi Ahmad Fauji
Jalan Mangga dan Janji yang Tumbuh di Dahan
Di kaki Gunung Ciremai, setiap musim tertentu, aroma manis Gedong Gincu menyeruak dari keranjang-keranjang anyaman dan kantong plastik yang dibopong para petani. Mangga berkulit jingga-merah itu tampak biasa saja bagi mata yang tak tahu, namun di tanah Rebana—yang mencakup Majalengka, Cirebon, Indramayu, Subang, Sumedang, hingga Kuningan—ia lebih dari sekadar buah. Gedong Gincu adalah rasa, doa, dan harapan yang tumbuh dari tanah vulkanik yang tua dan sabar.
Dijuluki “emas yang menggantung”, Gedong Gincu memiliki potensi besar sebagai komoditas unggulan nasional dan bahkan internasional. Aromanya tajam dan khas, rasanya unik—manis dengan semburat masam yang menggoda—dan daya tarik visualnya mampu mencuri perhatian pasar ekspor. Jepang baru-baru ini membuka pintu setelah 17 tahun negosiasi. Namun di balik keberhasilan diplomatik itu, realitas di lapangan masih menyimpan paradoks yang dalam.
Di pasar lokal, Gedong Gincu bisa dihargai Rp2.000 hingga Rp5.000 per kilogram saat panen raya. Di sisi lain, buah yang sama, setelah melewati tangan eksportir, bisa bernilai belasan kali lipat. Di tengahnya terbentang kerumitan: tengkulak, infrastruktur penyimpanan yang minim, ketimpangan informasi, dan mentalitas jual cepat akibat kebutuhan harian petani yang mendesak. Banyak pohon disewakan jauh sebelum musim tiba, dalam skema ijon yang menyisakan kelelahan dan frustrasi.
Apa yang salah? Atau lebih tepatnya: apa yang belum cukup?
Pertanyaan ini tak bisa dijawab oleh satu sektor saja. Dibutuhkan pendekatan kolaboratif, sinergis, dan berkelanjutan. Di sinilah gagasan Jalan Mangga menjadi relevan—sebuah metafora baru yang diilhami dari sejarah lama: Jalan Gula era cultuurstelsel. Meskipun sistem tanam paksa kolonial menyimpan luka dan eksploitasi, ia juga meninggalkan infrastruktur agraria yang sampai hari ini masih berdiri dalam wujud PTPN. Kesuksesan logistik dan produksi massal perkebunan kolonial, dengan segala koreksi dan perbaikan etis, layak dikaji ulang sebagai pelajaran strategi.
Namun berbeda dari Jalan Gula, Jalan Mangga harus dibangun dengan prinsip kesetaraan dan partisipasi. Ia bukan perintah, tapi ajakan. Bukan eksploitasi, tapi kolaborasi. Dan bukan hanya soal kuantitas ekspor, tetapi juga soal martabat petani, keberlanjutan ekologis, serta pelestarian identitas budaya lokal. Dengan bahasa modern, ini dikenal sebagai pendekatan pentahelik—kerja sama antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media.
Jika dirumuskan ulang, Jalan Mangga bukan sekadar rencana tanam besar-besaran. Ia adalah gerakan multidimensi. Ekstensifikasi perkebunan mangga yang terencana dan berbasis data. Penguatan koperasi petani sebagai alat tawar kolektif. Revitalisasi wisata yang menyatu dengan rasa dan warisan geologis. Pendidikan karakter tuan rumah. Inovasi produk turunan dan kemasan ekspor. Bahkan hingga tata kelola sampah dan spiritualitas lingkungan. Dan semua itu berpuncak dalam satu festival besar: Festival Jalan Mangga, yang menyatukan pentahelik dalam satu panggung rasa.
Mengapa mangga? Mengapa sekarang?
Karena Gedong Gincu adalah simbol yang sempurna dari apa yang dibutuhkan Indonesia hari ini: sabar tapi pasti, lokal tapi mendunia, alami tapi bisa dipasarkan. Dan karena di balik setiap mangga yang matang itu, ada sistem yang bisa—dan harus—dibangun ulang: dari akar, bukan dari pucuk.
Melalui esai ini, kita akan menelusuri tujuh rekomendasi utama yang dapat dilakukan oleh pentahelik untuk membesarkan industri “emas yang menggantung” di kawasan Rebana. Ini bukan sekadar strategi ekonomi, tapi laku budaya dan politik pangan yang mengakar. Sebab rasa tak bisa dipercepat, dan kemakmuran tak bisa dijanjikan tanpa dikerjakan bersama.
- Jalan Mangga – Mewarisi Jalan Gula dengan Akal Sehat Ekologis
Pada masa kolonial, sistem tanam paksa atau cultuurstelsel meninggalkan luka yang dalam dalam sejarah Nusantara. Namun sejarah, jika dibaca tidak dengan amarah saja, juga menyimpan pelajaran. Di antara kerangka kekuasaan dan eksploitasinya, tersimpan satu warisan struktural yang sampai hari ini masih menjadi tulang punggung sebagian industri pertanian Indonesia: sistem perkebunan yang tertata, jaringan distribusi, serta strategi ekstensifikasi komoditas secara nasional. Inilah yang disebut sebagai Jalan Gula—rangkaian jalur produksi dan logistik gula dari kebun ke pelabuhan, dari rakyat ke pasar dunia.
Kini, lebih dari seratus tahun kemudian, kita dihadapkan pada kesempatan untuk merumuskan ulang model itu. Bukan sebagai pengulangan kolonialisme, tapi sebagai afirmasi kedaulatan pangan dan rasa. Jalan Mangga adalah nama yang diusulkan untuk proyek besar ini: ekstensifikasi pohon mangga Gedong Gincu di seluruh kawasan Rebana—dari Cirebon hingga Kuningan—dengan skema yang terencana, kolaboratif, dan berkeadilan.
Mengapa perlu ekstensifikasi?
Data menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di peringkat ke-11 dalam daftar negara pengekspor mangga. Sementara negara-negara seperti India, Meksiko, dan Thailand terus menempati posisi tiga besar. Padahal, dari sisi keunikan varietas, rasa khas, dan kisah geografis, Gedong Gincu memiliki keunggulan yang tidak kalah—bahkan lebih unggul—jika ditangani dengan strategi yang tepat. Untuk naik peringkat, diperlukan tonase. Dan untuk menghasilkan tonase, dibutuhkan perluasan lahan, peningkatan jumlah pohon, dan sistem yang solid.
Namun ekstensifikasi ini tidak bisa dijalankan dengan semangat produksi semata. Ia harus dilakukan dengan akal sehat ekologis. Artinya, perluasan kebun mangga tidak boleh merusak hutan, merampas tanah adat, atau memaksakan pola tanam instan. Justru sebaliknya, proyek ini bisa menjadi ruang untuk rehabilitasi lahan marginal, konservasi kawasan buffer vulkanik, dan penataan agroforestri yang menyatu dengan pohon endemik lain.
Dinas-dinas terkait—dari pertanian, kehutanan, perindustrian, hingga pariwisata—harus duduk bersama dalam satu kerangka visi yang sama. Pemerintah provinsi dan kabupaten punya peran strategis dalam pemetaan lahan, pembibitan massal, hingga skema insentif untuk petani muda yang ingin menanam pohon tapi tak punya modal awal. Akademisi bisa dilibatkan untuk memastikan bahwa bibit yang ditanam bukan sembarang varietas, melainkan varietas unggul dengan jejak genetik yang jelas.
Jalan Mangga juga bukan sekadar proyek agraria, melainkan proyek peradaban. Ia menjadi simbol rekonsiliasi antara masa lalu yang dipaksakan dengan masa kini yang bisa dipilih bersama. Jika dulu rakyat menanam karena diperintah, sekarang masyarakat bisa menanam karena sadar bahwa tanah mereka menyimpan rasa yang layak diperjuangkan.
Bayangkan, dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, kawasan Rebana tidak hanya dikenal sebagai zona industri, tetapi juga sebagai jalur mangga terbesar di Asia Tenggara. Jalan-jalan utama dipayungi pohon Gedong Gincu. Rest area, sekolah, dan kantor desa memiliki pohon adopsi sebagai bentuk partisipasi. Anak-anak sekolah belajar tentang sejarah tanah mereka lewat rasa mangga yang mereka petik sendiri. Dan ketika musim panen datang, satu festival besar menyatukan semua elemen dalam satu perayaan: bahwa rasa, jika dijaga, bisa jadi sumber kemakmuran.
Namun agar Jalan Mangga tidak berakhir sebagai jargon, ia harus dimulai dengan langkah yang konkret. Pemerintah bisa mengeluarkan instruksi daerah untuk pencanangan “Gerakan Sejuta Pohon Mangga Gedong Gincu.” Bisa juga dibuat peta spasial lahan tidur dan marginal yang bisa direvitalisasi. Pemilik lahan diberikan insentif untuk menanam pohon. Skema kerja sama dengan koperasi dan BUMDes dibuka. Dan yang paling penting: narasi besar Jalan Mangga disosialisasikan tidak sebagai proyek pemerintah, tetapi sebagai gerakan bersama.
Sebab dalam gerakan ini, rasa bukan sekadar hasil, tapi awal dari semuanya.
- Koperasi Merah Putih – Infrastruktur Sosial Anti-Cukong
Di banyak desa penghasil mangga Gedong Gincu, cerita tentang tengkulak seperti kisah lama yang terus berulang. Seorang petani menanam selama sembilan bulan, merawat batang dan daun, menyiram pagi dan sore, menunggu buah matang dalam sabar. Tapi ketika panen datang, yang pertama hadir bukan pembeli adil, melainkan cukong yang menawar rendah dengan janji cepat cair. Inilah realitas pahit dari sistem distribusi yang timpang: petani tidak memiliki akses pasar, dan pasar tidak pernah benar-benar mendengar suara petani.
Masalah ini bukan hanya urusan harga, tapi urusan struktur kekuasaan dalam ekonomi lokal. Tengkulak bukan sekadar pedagang perantara; mereka adalah sistem bayangan yang mengatur harga, ritme panen, dan bahkan pola pikir petani. Di sinilah ide tentang Koperasi Merah Putih menjadi sangat relevan. Bukan sebagai institusi administratif semata, melainkan sebagai infrastruktur sosial yang bisa membalikkan logika pasar: dari keterpaksaan menjadi kesadaran.
Presiden Prabowo dalam beberapa pidatonya menyebut koperasi sebagai model ekonomi yang harus diperkuat. Bukan hal baru, tentu. Sejak era Soekarno, koperasi selalu dipromosikan sebagai “soko guru perekonomian.” Namun dalam praktiknya, banyak koperasi mati suri—lembaga yang hidup hanya di atas kertas, tanpa aktivitas, tanpa kepercayaan. Maka tantangan hari ini bukan mendirikan koperasi baru, tetapi menghidupkan koperasi sebagai ruang kolaborasi, bukan sekadar iuran.
Di kawasan Rebana, ide penguatan Koperasi Merah Putih dapat dimulai dari desa-desa penghasil mangga. Koperasi ini bisa menjadi rumah bersama bagi petani, di mana mereka tidak hanya menjual hasil, tetapi juga belajar administrasi, manajemen stok, logistik, dan pemasaran. Koperasi bisa bekerja sama dengan startup logistik untuk pengiriman langsung ke konsumen akhir. Bisa juga menggandeng mahasiswa untuk mendigitalisasi pencatatan, dan media lokal untuk membuat kampanye promosi rasa.
Salah satu contoh yang inspiratif datang dari Desa Ciborelang di Subang, di mana sekelompok anak muda petani membentuk koperasi informal yang berbasis pada prinsip kepercayaan. Mereka menghapus sistem ijon, dan mulai membentuk grup WhatsApp lintas desa. Petani memotret buah, menyebut berat, dan menjual ke konsumen di kota yang menjadi pelanggan tetap. Keuntungan tidak hanya naik, tapi juga berlipat dalam bentuk martabat: mereka tidak lagi menjadi objek dalam rantai pasok, melainkan subjek yang menentukan arah dan harga.
Koperasi juga punya fungsi edukatif. Banyak petani yang tidak pernah diajarkan tentang cara menyimpan buah agar awet, atau bagaimana menghitung margin keuntungan dari satu kilogram buah segar dibanding buah olahan. Koperasi bisa menggelar pelatihan sederhana: cara membuat jus mangga tahan lama, membuat dodol dengan kemasan standar ekspor, atau mengembangkan manisan mangga untuk jemaah haji. Bahkan urusan sekecil desain stiker pada kemasan bisa menjadi perbedaan besar antara ditolak dan diterima oleh pembeli.
Namun koperasi tidak akan berjalan tanpa kepercayaan. Banyak yang gagal bukan karena kurang modal, tapi karena dominasi satu orang, atau karena dijadikan alat politik. Maka Koperasi Merah Putih harus dibangun dengan prinsip transparansi, rotasi kepemimpinan, dan pelibatan anak muda. Justru anak muda—yang terbiasa dengan teknologi, media sosial, dan logika storytelling—bisa menjadi garda depan koperasi baru ini.
Pemerintah bisa hadir dalam bentuk dukungan non-intervensif: menyediakan pelatihan, membuka akses modal tanpa tekanan bunga tinggi, dan menyediakan platform digital untuk jejaring antar koperasi. Bahkan dalam jangka panjang, koperasi bisa mengelola distribusi bibit, alat pertanian, dan sistem pascapanen seperti cold storage dan mesin sortasi buah.
Bayangkan jika di setiap desa di Rebana ada satu koperasi aktif yang terhubung ke koperasi pusat skala kabupaten. Mereka bukan hanya menyerap hasil, tetapi juga mengelola sistem pemasaran, festival lokal, dan promosi ekspor. Maka Gedong Gincu tidak lagi menunggu tengkulak datang, tetapi dikirim dengan bangga oleh koperasi yang namanya dikenal di pasar internasional.
Dan pada saat itu, harga bukan lagi ditentukan oleh kelangkaan, tapi oleh cerita yang menyertainya. Sebab koperasi bukan hanya alat dagang, tapi panggung narasi rasa yang dibangun dari solidaritas. Dari sana, emas yang menggantung tak lagi jatuh ke tangan perantara, tapi jatuh tepat ke tangan yang menanamnya.
- Wisata Edu-Heritage dan Gastronomi – Mangga, Gunung, dan Gairah Rasa
Jika kebun adalah tempat kerja, maka wisata adalah cara kerja itu dibagikan. Dan jika buah Gedong Gincu punya cerita, maka wisata adalah panggungnya. Di kawasan Rebana, di mana mangga tumbuh di kaki gunung purba, peluang untuk menjadikan pertanian sebagai pengalaman edukatif dan gastronomik terbuka sangat luas. Yang diperlukan adalah imajinasi, kemauan kolaborasi, dan satu gagasan kuat: mengubah pohon menjadi narasi hidup.
Konsep wisata edu-heritage bukan hal baru di dunia. Di Prancis, wisata kebun anggur (wine tourism) telah menjadi jantung ekonomi pedesaan. Di Italia dan Jepang, wisata teh dan kopi berkembang seiring dengan revitalisasi kampung-kampung tua. Indonesia pun memiliki potensi serupa, hanya saja belum digarap serius. Gedong Gincu, dengan rasa khas, sejarah tanah vulkanik, dan hubungan spiritual masyarakatnya dengan Gunung Ciremai, adalah paket wisata rasa yang lengkap—jika kita tahu bagaimana membingkainya.
Langkah awal yang bisa dilakukan adalah membangun jejaring destinasi wisata berbasis kebun. Bukan sekadar ‘tempat selfie di kebun mangga,’ melainkan pengalaman mendalam tentang asal-usul rasa. Pengunjung tidak hanya datang untuk memetik, tapi untuk memahami. Bahwa buah ini tumbuh dari tanah yang pernah dilelehkan lava, dari gunung yang disucikan dalam mitos lokal, dan dari tangan petani yang menyebut pohonnya sebagai “simbaheun”—kakek tua yang memberi hidup.
Kebun bisa dibuka untuk tur edukatif: menjelaskan proses tanam, pemilihan bibit, hingga ritual petik perdana. Di beberapa titik, bisa dibangun rumah kaca kecil, warung rasa, dan pusat informasi vulkanologi mini yang menjelaskan bagaimana karakter tanah mempengaruhi rasa buah. Di sinilah konsep edu-heritage menemukan bentuknya—wisata yang memberi tahu pengunjung bahwa makan mangga di sini bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal sejarah geologi, agrikultur, dan spiritualitas lokal.
Gunung Ciremai sebagai latar bukan sekadar pemandangan. Ia bisa diangkat sebagai ‘penutur diam’ dalam seluruh pengalaman. Misalnya, dalam jalur tur bisa disisipkan sesi ‘meditasi aroma’ di bawah pohon mangga tertua. Atau ritual kecil mencicipi buah pertama sambil mendengarkan dongeng tentang letusan purba yang membuat tanah ini subur. Narasi ini bisa ditulis dalam brosur, diperankan oleh pemandu wisata lokal, atau dihidupkan melalui pertunjukan teater rakyat saat festival panen.
Gastronomi menjadi pintu masuk lain yang menjanjikan. Potensi kuliner berbasis mangga di Rebana sangat besar, dari yang tradisional hingga modern. Di Majalengka, sudah mulai muncul produk seperti sirup Gedong Gincu, dodol mangga, hingga jus botolan dengan label lokal. Namun kekuatan sesungguhnya terletak pada storytelling: kisah di balik resep, orang yang meraciknya, dan dari pohon mana buahnya berasal.
Restoran lokal dapat dikembangkan dengan menu tematik: “Menu Panen Gedong”, “Sarapan Rasa Rebana”, atau “Cita Rasa Ciremai.” Dalam satu piring, pengunjung bisa merasakan irisan mangga segar, nasi uduk pandan dengan sambal mangga, dan minuman sari buah hasil fermentasi ringan. Bahkan hotel-hotel bisa diberi sertifikasi “Mitra Mangga” jika menyajikan sarapan dengan produk lokal. Wisatawan internasional mencari keunikan, bukan standar. Dan keunikan itu kita miliki: dalam rasa, dalam cerita, dan dalam lanskap.
Revitalisasi kawasan wisata alam juga harus berjalan paralel. Air terjun di kaki Ciremai, hutan-hutan yang masih asri, serta jalur trekking yang bersinggungan dengan kebun mangga, dapat menjadi bagian dari satu paket tur yang menggabungkan petualangan, rasa, dan pembelajaran. Komunitas lokal dilibatkan sebagai pemandu, petani sebagai narator, dan UMKM sebagai penyedia konsumsi. Ini bukan hanya menaikkan pendapatan, tapi juga kebanggaan: bahwa tanah mereka dilihat, didengar, dan dihargai.
Keterlibatan pelaku wisata digital juga penting. Agen perjalanan, travel blogger, food vlogger, dan jurnalis rasa bisa diajak dalam program Jalan Mangga Experience. Mereka menginap di rumah petani, mengikuti panen, dan membuat konten yang membagikan pengalaman tersebut ke dunia luar. Narasi digital ini mampu menembus batas geografis dan memantik rasa ingin tahu audiens global—sebuah langkah awal menuju diplomasi rasa.
Untuk mewujudkan ini semua, dibutuhkan koordinasi antar sektor. Dinas pertanian dan pariwisata harus merumuskan strategi terpadu. Dana desa bisa diarahkan untuk membangun infrastruktur wisata kecil. Universitas dapat mengirim mahasiswa KKN tematik yang fokus pada branding desa wisata mangga. Media lokal membuat rubrik khusus tentang resep, tempat makan, atau kisah petani. Semua pihak memegang satu sisi dari cerita besar yang ingin kita sampaikan: bahwa Gedong Gincu bukan sekadar buah, tapi warisan hidup yang bisa dirasakan.
Dan ketika seorang wisatawan menggigit irisan mangga di teras bambu, dengan Ciremai di kejauhan dan angin membawa aroma manis dari dapur, ia mungkin tidak tahu persis sejarah tanah itu. Tapi ia akan tahu satu hal: rasa ini tidak bisa ditemukan di tempat lain.
- Tuan Rumah – “Someah Hade Ka Semah”
Di balik setiap destinasi yang sukses, selalu ada satu hal yang tak bisa dibangun dengan uang: keramahan. Di tanah Sunda, nilai itu memiliki namanya sendiri—“someah hade ka semah,” yang berarti menyambut tamu dengan tulus dan bersahaja. Ia bukan sekadar sopan santun, tetapi fondasi budaya yang menjadikan tuan rumah bukan hanya pengantar, tapi penjaga kesan. Di kawasan Rebana yang hendak meniti Jalan Mangga sebagai jalur wisata dan ekspor rasa, karakter tuan rumah adalah modal sosial yang tidak boleh diabaikan.
Wisata berbasis pertanian dan budaya menuntut pengalaman yang lebih dari sekadar servis. Pengunjung ingin merasa diterima, bukan hanya dilayani. Mereka mencari autentisitas, bukan kemewahan. Di sinilah kekuatan masyarakat lokal menjadi penentu: bagaimana mereka membuka pintu rumahnya, menyuguhkan teh tanpa diminta, menjawab pertanyaan dengan antusias, dan bercerita bukan karena dilatih, tapi karena merasa dihargai.
Namun, keramahan bukanlah sesuatu yang otomatis hadir tanpa disadari. Di tengah pergeseran nilai akibat modernisasi, perubahan gaya hidup, serta tekanan ekonomi, banyak generasi muda di desa mulai meninggalkan karakter dasar ini. Beberapa bahkan merasa rendah diri saat berhadapan dengan wisatawan dari kota atau luar negeri. “Saya takut salah ngomong,” kata Rini, seorang gadis remaja dari Argapura, yang sebenarnya ingin sekali jadi pemandu wisata di kebun ayahnya.
Maka, pendidikan karakter tuan rumah harus menjadi bagian integral dari strategi Jalan Mangga. Bukan sekadar pelatihan hospitality ala hotel berbintang, tapi penguatan identitas lokal yang membuat warga percaya diri bahwa mereka memiliki sesuatu yang berharga. Pelatihan bisa berbentuk sederhana: dialog lintas usia, workshop public speaking dengan bahasa ibu, kursus bahasa Inggris dasar dengan konteks lokal (“Ini pohon mangga yang ditanam kakek saya”), hingga pelatihan membuat cerita pendek tentang kampung mereka.
Sekolah juga bisa dilibatkan. Program ekstrakurikuler bertema “duta rasa” atau “pemandu kampung” dapat mendorong anak-anak sejak dini untuk bangga dengan tanah kelahirannya. Mereka bisa belajar mengenali nama-nama varietas mangga, sejarah lokal, hingga sopan santun khas Sunda dalam menyambut tamu. Alih-alih hanya pelajaran teori, sekolah menjadi ruang awal untuk membentuk mentalitas tuan rumah.
Di level desa, bisa dibentuk rumah rasa—semacam pusat informasi wisata sekaligus tempat pelatihan informal. Di sini, ibu-ibu bisa belajar menyambut tamu luar negeri dengan cara mereka sendiri, tanpa harus menjadi waitress. Anak muda bisa belajar menjadi storyteller, bukan hanya tour guide. Petani bisa belajar bagaimana menjelaskan proses tanam dan panen dengan bahasa yang mudah dipahami, tanpa kehilangan kesahajaan.
Karakter tuan rumah juga erat kaitannya dengan kepercayaan diri budaya. Banyak desa di Rebana memiliki tradisi seni, musik, dan kuliner yang jarang dipentaskan karena dianggap “tidak laku.” Padahal, justru itulah yang dicari oleh wisatawan yang lelah dengan budaya pop global. Seni calung, tembang Sunda, atau cerita rakyat tentang Ciremai bisa menjadi suguhan malam di homestay, bukan hanya acara seremonial yang dipaksakan. Ketika warga merasa dihargai karena menjadi diri sendiri, karakter tuan rumah tumbuh secara alami.
Dalam konteks ekspor pun, nilai “someah” tetap penting. Ketika sebuah kemasan Gedong Gincu sampai ke Jepang atau Jerman, ada baiknya ia menyampaikan lebih dari sekadar data nutrisi. Sertakan kartu kecil bertuliskan “buah ini dipetik dengan doa oleh keluarga kami.” Bisa juga dicetak kutipan bahasa Sunda yang menjelaskan bahwa rasa yang baik datang dari tangan yang sabar. Ini bukan gimmick, melainkan bagian dari membangun koneksi emosional antara produsen dan konsumen—antara rasa dan nilai.
Beberapa pelaku industri wisata menyarankan membentuk Duta Tuan Rumah di setiap desa. Mereka bukan pejabat, tapi warga yang dipilih karena komitmen dan karismanya dalam menyambut tamu. Tugas mereka bukan hanya memandu, tetapi juga menjadi penghubung antara desa dan wisatawan. Mereka bisa didukung oleh pemerintah daerah, dilatih secara berkala, dan diberi insentif berbasis dampak (jumlah tamu, rating pengalaman, dsb).
Pada akhirnya, wisata tidak hanya menjual pemandangan dan produk. Ia menjual perasaan: rasa diterima, rasa nyaman, rasa ingin kembali. Di sinilah kekuatan someah hade ka semah menemukan panggungnya. Ia tidak perlu dilatih dengan kurikulum, cukup dirawat lewat ruang pertemuan, cerita-cerita, dan kepercayaan bahwa keramahan bukan berarti rendah diri—justru sebaliknya, ia adalah kekuatan budaya yang paling membekas.
Dan ketika seorang wisatawan pulang dengan satu kalimat sederhana, “Saya merasa seperti di rumah,” maka Jalan Mangga telah menemukan jalurnya yang paling kuat: rasa diterima oleh rasa yang ditanam.
- Inovasi Kuliner dan Packaging – Rasa Tak Cukup Tanpa Bungkus
Setiap mangga Gedong Gincu yang matang di pohon membawa keunggulan rasa yang tak banyak ditandingi: dagingnya padat namun lembut, aromanya tajam, dan warnanya menggoda. Tapi di pasar modern—baik lokal maupun internasional—rasa saja tidak cukup. Di dunia yang dipenuhi pilihan dan dibentuk oleh tampilan, rasa yang hebat harus ditemani oleh bungkus yang memikat. Di sinilah inovasi kuliner dan packaging memainkan peran sentral dalam mengangkat Gedong Gincu dari sekadar buah lokal menjadi ikon rasa global.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan kuliner, tetapi sering kali gagal menjadikan keunggulan itu sebagai produk bernilai tinggi. Banyak buah unggulan hanya berakhir di pasar tradisional, tanpa pengolahan, tanpa cerita, dan tanpa kemasan yang layak. Ini juga terjadi pada Gedong Gincu. Padahal potensi diversifikasi produk dari mangga sangat besar: jus, dodol, sirup, manisan, selai, bahkan produk kecantikan berbasis ekstrak buah.
Di Majalengka, beberapa rumah produksi kecil telah memulai eksperimen ini. Mereka membuat sari buah mangga yang dikemas dalam botol kaca minimalis, lengkap dengan label bergaya Jepang: bersih, elegan, dan informatif. Produk ini laris di toko oleh-oleh premium dan mulai menarik minat reseller dari luar daerah. Yang menarik, label pada botol itu tidak hanya mencantumkan kandungan gizi, tapi juga menampilkan narasi singkat tentang pohon asal buah tersebut dan nama petaninya. Sebuah pendekatan storytelling yang membedakan produk ini dari pesaing biasa.
Langkah-langkah seperti inilah yang perlu didorong dan direplikasi. Pemerintah daerah dapat memberikan insentif untuk UMKM yang mengembangkan olahan mangga dengan pendekatan kreatif. Inkubator bisnis bisa dibuat di kampus-kampus lokal untuk menampung ide mahasiswa tentang makanan ringan, minuman fermentasi, bahkan olahan vegan dari mangga. Pelatihan tentang keamanan pangan, pengawetan alami, dan sertifikasi halal juga menjadi penting untuk memperluas pasar.
Packaging tidak boleh dipandang sebagai tambahan, melainkan sebagai jembatan antara produk dan konsumen. Di era digital, kemasan adalah media komunikasi pertama yang menyapa mata calon pembeli. Ia harus mampu menceritakan kualitas isi tanpa perlu kata berlebihan. Untuk pasar ekspor, kemasan Gedong Gincu harus menyesuaikan dengan selera visual negara tujuan. Jepang, misalnya, menyukai kemasan rapi, minimalis, dan informatif. Timur Tengah lebih menyukai desain elegan dan menunjukkan nilai-nilai spiritual. Sementara pasar Eropa cenderung tertarik pada konsep ekologis, daur ulang, dan keberlanjutan.
Salah satu ide yang dapat dikembangkan adalah membuat “Paket Oleh-Oleh Jemaah Haji.” Paket ini berisi manisan mangga, dodol mangga, dan sirup mangga dalam kemasan kecil eksklusif, yang bisa dibagikan sebagai tanda terima kasih kepada tetangga dan keluarga. Mengingat besarnya jumlah jemaah haji Indonesia setiap tahun, pasar ini sangat menjanjikan. Dengan branding yang kuat, produk Gedong Gincu bisa menjadi simbol rasa kampung halaman yang dibawa ke tanah suci.
Aspek keberlanjutan juga harus menjadi bagian dari inovasi packaging. Gunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan: karton daur ulang, plastik nabati, atau wadah bambu yang diproses secara higienis. Kemasan seperti ini tidak hanya menarik perhatian konsumen urban yang peduli lingkungan, tapi juga menambah nilai ekspor ke negara-negara yang telah menerapkan standar lingkungan ketat.
Lebih jauh, pengembangan identitas visual produk mangga bisa menjadi ruang kolaborasi antara petani, seniman, dan desainer. Bayangkan label mangga dengan ilustrasi gunung Ciremai, potret petani lokal, dan kutipan bahasa Sunda tentang kesabaran. Ini bukan hanya soal penjualan, tapi juga soal kebudayaan. Di balik rasa, ada cerita. Di balik cerita, ada nilai.
Agar inovasi kuliner dan kemasan bisa tumbuh, pemerintah perlu memfasilitasi jejaring antar pelaku. Festival kuliner mangga bisa digelar tiap tahun, menghadirkan kompetisi inovasi produk, pameran desain kemasan, hingga demo masak oleh chef ternama. Kegiatan ini bisa menjadi ruang promosi sekaligus edukasi, bahwa mangga bukan hanya buah, tapi bahan baku kreativitas.
Dengan pendekatan semacam ini, Gedong Gincu bisa naik kelas tanpa kehilangan akarnya. Rasa yang lahir dari pohon-pohon tua di kaki gunung, kini dikemas dalam botol, kotak, atau stik camilan yang bisa dibawa pulang ke mana saja. Dan yang paling penting: rasa itu tetap jujur, karena ia tidak dipoles, hanya dibungkus dengan hormat.
- Wisata Edukasi Spiritual dan Tata Kelola Sampah – Bersih Lahir, Bersih Batin
Dalam upaya membesarkan industri berbasis rasa seperti Gedong Gincu, aspek kebersihan bukan hanya soal estetika, tetapi juga spiritualitas. Di tengah kecenderungan wisata modern yang makin menuntut kenyamanan, kebersihan, dan kesadaran lingkungan, Rebana memiliki peluang besar untuk menawarkan konsep wisata yang tak hanya menyegarkan tubuh, tetapi juga membersihkan jiwa. Inilah gagasan tentang Wisata Edukasi Spiritual dan Tata Kelola Sampah—perpaduan antara akhlak lingkungan dan rasa syukur atas ciptaan Tuhan.
Indonesia, dengan mayoritas penduduk Muslim, memiliki potensi besar dalam pengembangan wisata spiritual. Namun sejauh ini, wisata semacam itu sering terjebak dalam bentuk-bentuk seremonial yang kering dan terpisah dari isu aktual. Padahal, dalam Islam maupun kearifan lokal Sunda, kebersihan bukan hanya soal fisik, melainkan bagian dari iman, tata krama, dan tanggung jawab sosial. Maka, mengelola sampah di kawasan wisata mangga bukanlah tugas teknis belaka, tetapi ekspresi spiritual: bagian dari menghormati bumi yang memberi rasa.
Gagasan wisata edukasi spiritual dan tata kelola sampah ini bukan teori kosong. Di Kabupaten Cianjur, tengah dirancang masterplan untuk mengembangkan destinasi percontohan yang menggabungkan edukasi pengelolaan sampah, refleksi spiritual, dan pariwisata berbasis komunitas. Konsep ini bisa direplikasi di kawasan Rebana, khususnya di desa-desa sekitar kaki Gunung Ciremai, tempat pohon-pohon Gedong Gincu tumbuh di antara jalur air, jalan setapak, dan pekarangan warga.
Bayangkan sebuah kebun mangga yang bukan hanya tempat panen, tetapi juga ruang kontemplasi. Di sana, pengunjung tak hanya memetik buah, tetapi juga diajak berkeliling untuk melihat bagaimana sisa buah yang tidak layak jual diolah menjadi kompos, bagaimana plastik dibedakan dari organik, dan bagaimana semua itu disampaikan bukan dengan nada menyalahkan, tapi mengajak. Petani menjadi pemandu, anak-anak sekolah menjadi duta kebersihan, dan masjid atau mushala di tengah desa menjadi titik akhir perjalanan, tempat merenung dan bersyukur.
Konsep ini bisa diperkuat dengan membangun Rumah Edu Sampah, pusat pembelajaran kecil yang menampung praktik pemilahan, daur ulang kreatif, dan produk kerajinan dari bahan bekas. Di sinilah pengunjung belajar bahwa limbah bisa menjadi nilai tambah, dan bahwa menghormati rasa juga berarti menjaga ruangnya tetap bersih. Setiap kemasan Gedong Gincu yang dijual bisa menyisipkan pesan ini: “Kami tidak hanya menjaga rasa, kami juga menjaga bumi.”
Selain infrastruktur, edukasi berperan penting. Sekolah-sekolah dasar di kawasan wisata bisa menyisipkan kurikulum lingkungan yang terintegrasi dengan budaya lokal. Misalnya, proyek kelas di mana siswa menanam mangga, mengelola sampah sekolah, lalu mendongeng tentang siklus hidup buah. Mereka tidak hanya belajar IPA, tetapi juga etika ekologis. Orang tua pun bisa dilibatkan, sehingga program ini menjadi gerakan sosial, bukan hanya agenda guru.
Bersih juga menyangkut cara kita memperlakukan sesama. Di desa-desa yang siap menjadi tuan rumah wisata, tata krama sosial perlu dikuatkan. Bukan sekadar menyambut tamu dengan senyum, tetapi juga menyediakan toilet bersih, tempat cuci tangan, dan jalur yang mudah dilalui lansia atau difabel. Bersih fisik ini memperkuat kesan spiritualitas yang nyata: bahwa kebun bukan tempat eksotis, melainkan ruang suci yang layak dikunjungi dan dihormati.
Pemerintah daerah dan kementerian terkait bisa memberikan dukungan nyata. Misalnya, program padat karya untuk membangun toilet dan tempat sampah komunal di area wisata. Atau pelatihan kader lingkungan berbasis pesantren dan madrasah yang fokus pada isu lingkungan. Ini bukan hanya investasi infrastruktur, tapi investasi akhlak kolektif.
Lebih jauh, kampanye publik bisa dijalankan dalam semangat kolaboratif. Slogan seperti “Bersih Lahir, Bersih Batin di Jalan Mangga” bisa menjadi tema festival, lomba mural, lomba konten kreatif, hingga badge digital untuk pelaku wisata yang berhasil mempertahankan kebersihan. Dengan cara ini, pariwisata tidak hanya menghasilkan keuntungan ekonomi, tetapi juga menciptakan perubahan perilaku yang dalam.
Wisata edukasi spiritual dan tata kelola sampah ini mengandung dimensi jangka panjang. Ia melatih masyarakat untuk berpikir holistik: bahwa ekonomi harus sejalan dengan etika, bahwa rasa yang lezat akan kehilangan makna jika lahir dari tempat yang kotor dan tak dihormati. Justru di sini, Jalan Mangga bisa menjadi narasi utuh tentang kehidupan: tentang rasa yang jujur, ruang yang bersih, dan manusia yang sadar akan perannya sebagai khalifah di bumi.
Dan pada akhirnya, seorang wisatawan yang datang untuk mencicipi Gedong Gincu mungkin akan pulang dengan lebih dari sekadar oleh-oleh. Ia pulang dengan rasa baru—bahwa menikmati buah adalah juga bagian dari menjaga pohon, tanah, dan segala yang menghidupinya.
- Festival Jalan Mangga – Merayakan, Mengarsipkan, Menyebarkan
Di banyak tempat di dunia, sebuah festival bisa mengubah wajah sebuah kota. Bukan hanya sebagai perayaan tahunan, tapi sebagai panggung narasi, jejaring ekonomi, dan arena afirmasi budaya. Rebana, sebagai tanah Gedong Gincu, memiliki potensi yang sama: menghadirkan Festival Jalan Mangga, sebuah perayaan rasa, kolaborasi, dan identitas. Festival ini bukan sekadar pasar buah atau ajang promosi pariwisata, tetapi momentum untuk merayakan apa yang telah tumbuh, mengarsipkan apa yang ingin diingat, dan menyebarkan ke dunia tentang buah yang lahir dari doa dan lava.
Bayangkan festival tahunan yang diadakan bergilir di enam kabupaten dan 1 kota Rebana: Majalengka, Sumedang, Subang, Cirebon (kota/kabupaten), Indramayu, dan Kuningan. Setiap titik menghadirkan tema lokal, namun tetap dalam satu nafas besar: Jalan Mangga. Di Majalengka, festival bisa difokuskan pada panggung pertanian dan riset. Di Sumedang, festival Gedong Gincu dan kisah Sumedanglarang. Di Subang, eksplorasi kuliner dan inovasi produk. Di Cirebon, pementasan budaya dan diplomasi rasa. Di Indramayu, parade masyarakat dan cerita rakyat. Di Kuningan, spiritualitas dan edukasi ekologi. Setiap lokasi adalah simpul dalam jejaring rasa yang luas dan hidup.
Festival ini bisa dirancang sebagai ruang kolaboratif pentahelik. Pemerintah daerah menyediakan infrastruktur dan dukungan logistik. Akademisi memfasilitasi sesi diskusi, riset terbuka, dan workshop ilmiah. Pelaku usaha menggelar bazar produk olahan dan investasi. Komunitas menghadirkan seni rakyat, kuliner kampung, dan kisah-kisah dari kebun. Media bertugas mendokumentasikan, mengangkat, dan menyebarkan narasi. Semua bergerak dalam satu panggung yang menghidupkan rasa sebagai ekosistem.
Konten festival pun bisa diperkaya dengan berbagai bentuk interaktif. Lomba cipta puisi mangga, lomba konten media sosial, lomba historiografi gunung dan pohon, kompetisi kemasan produk terbaik, hingga debat pelajar tentang masa depan agraria. Di panggung utama, pertunjukan seni bisa menampilkan paduan musik tradisional dengan visual mapping pohon mangga yang menari. Bahkan bisa dibuat “Museum Sementara Gedong Gincu”—ruang arsip yang menyajikan sejarah, peta, foto, dan testimoni petani dari masa ke masa.
Yang tak kalah penting adalah menghadirkan tamu dari luar daerah dan luar negeri. Duta besar, buyer, influencer, hingga jurnalis internasional bisa diundang. Di sinilah Gedong Gincu bukan hanya dipamerkan, tapi diceritakan: tentang rasanya yang datang dari tanah vulkanik, tentang petani yang memetiknya sambil menyebut nama anaknya, tentang kampung yang memilih bersih sebagai bentuk ibadah. Maka festival ini juga menjadi ajang diplomasi rasa—bahwa buah bukan hanya hasil pertanian, tapi artefak budaya dan pesan peradaban.
Festival Jalan Mangga juga menjadi alat dokumentasi yang penting. Setiap tahun bisa disusun Buku Tahunan Rasa Rebana, yang memuat catatan kegiatan, wawancara, data produksi, capaian ekspor, hingga kisah inspiratif dari lapangan. Buku ini bukan sekadar laporan, tapi catatan sejarah hidup tentang bagaimana satu wilayah menjaga satu buah dan menjadikannya sumber hidup. Versi digital bisa disebarkan ke jaringan diaspora Indonesia di luar negeri, memperkuat koneksi emosional antara tanah air dan perantau.
Di tengah zaman yang cepat, festival ini juga menjadi ruang jeda. Ia mengingatkan bahwa rasa tidak bisa dipercepat, bahwa panen bukan hanya soal jadwal, tapi tentang cuaca dan doa. Festival ini mengajarkan kepada generasi muda bahwa tanah mereka tidak hanya bisa ditinggalkan, tapi bisa dibanggakan. Bahwa bekerja di kebun bukan sekadar bertahan hidup, tetapi menumbuhkan rasa.
Agar keberlanjutan terjaga, festival ini harus dikelola oleh badan bersama lintas sektor. Bisa berupa Dewan Rasa Rebana, yang berisi perwakilan dari tujuh kabupaten/kota, komunitas petani, akademisi, pelaku bisnis, dan tokoh adat. Badan ini berfungsi sebagai kurator, pengelola dana, dan penjaga visi. Dana festival bisa bersumber dari APBD, CSR perusahaan, dana desa, bahkan kolaborasi internasional melalui program pertukaran budaya atau penguatan ekonomi lokal.
Dan ketika pada satu sore festival, anak-anak menari dengan mengenakan kostum berbentuk mangga, ketika di dapur umum ibu-ibu memasak nasi kuning dengan sambal Gedong Gincu, ketika petani tua naik ke panggung untuk membacakan puisi, maka kita tahu: ini bukan sekadar perayaan. Ini adalah pernyataan. Bahwa rasa yang jujur, ketika dirawat bersama, bisa menjadi sumber harapan yang tak pernah selesai diceritakan.
Festival Jalan Mangga akan menjadi warisan baru. Ia bukan hanya peristiwa, tapi sistem sosial yang merayakan kehidupan. Dan dari panggung itu, dari kebun itu, dari rasa itu, kita mengirimkan pesan ke dunia: bahwa dari gunung tua yang hamil lava, dari pohon yang dipeluk doa, dari tanah yang sabar, Indonesia sedang tumbuh dengan cara yang paling manis.
Jalan Mangga sebagai Strategi Pembangunan Kolaboratif
Pada akhirnya, yang kita upayakan lewat Jalan Mangga bukan hanya ekspor buah. Bukan hanya mendongkrak tonase dan nilai jual Gedong Gincu. Tapi lebih dalam dari itu: kita sedang mencoba membangun model pembangunan yang berakar pada rasa, dipandu oleh kolaborasi, dan dijaga oleh kesadaran akan asal-usul. Di tengah dunia yang kian tergesa, Rebana justru menawarkan jalan yang lambat tapi pasti—jalan yang menghormati tanah, mendengar gunung, dan memuliakan petani.
Tujuh rekomendasi yang telah dipetakan dalam esai ini hanyalah pintu awal. Di baliknya ada ribuan pintu lain yang harus dibuka bersama. Jalan Mangga adalah metafora, ya, tapi ia juga bisa menjadi program nyata: dari gerakan penanaman pohon masif, penguatan koperasi petani, pembangunan wisata edukatif dan spiritual, hingga festival lintas daerah yang menyatukan tujuh kabupaten/kota dalam satu visi: bahwa rasa yang tumbuh dari tanah sendiri, jika dijaga, bisa memberi makan negeri dan membanggakan dunia.
Model kolaborasi pentahelik—pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media—bukan hanya jargon seminar. Dalam narasi Gedong Gincu, ia menemukan bentuknya yang konkret. Pemerintah menyediakan regulasi dan infrastruktur. Akademisi menguji tanah dan merumuskan strategi. Pelaku usaha membawa produk ke pasar dan merancang packaging. Komunitas menjaga akar nilai lokal dan merawat budaya. Media menceritakan semuanya, membagikannya ke khalayak, menumbuhkan kesadaran kolektif.
Tapi ada satu aktor lagi yang tak boleh dilupakan: petani. Mereka adalah fondasi dari seluruh skema ini. Mereka yang tahu kapan tanah butuh istirahat. Mereka yang bisa membaca cuaca dari arah angin dan menduga rasa dari bentuk daun. Mereka yang mencicipi buah pertama dan tahu apakah panen tahun ini berkah atau sekadar selamat. Maka dalam setiap kebijakan, dalam setiap rapat, petani harus hadir sebagai subjek, bukan objek.
Kita hidup di masa ketika pembangunan sering dipersempit menjadi beton, tol, dan kawasan industri. Itu penting, tentu. Tapi pembangunan juga bisa berbentuk rasa yang tak terlihat, tapi dirasakan. Seperti saat anak muda memilih pulang untuk menanam pohon warisan. Seperti ketika koperasi kecil bisa menjual langsung ke Jepang. Seperti saat wisatawan menitikkan air mata karena teringat ibunya saat mencicipi irisan Gedong Gincu. Ini semua adalah bentuk pembangunan yang tidak bisa dihitung dalam kilometer atau angka GDP. Tapi dampaknya jauh lebih panjang: membentuk karakter masyarakat dan hubungan yang sehat dengan tanah.
Jalan Mangga juga menjadi cara untuk menulis ulang sejarah. Bahwa kita tidak harus menolak masa lalu kolonial dengan membuang semuanya. Kita bisa mengambil yang berguna: sistem kebun, jaringan distribusi, dan narasi produk. Tapi kita beri makna baru: bukan dengan kerja rodi, tapi dengan kesadaran. Bukan untuk kepentingan luar negeri semata, tapi untuk kedaulatan lokal. Bukan demi cukong, tapi demi petani dan tanah yang mereka rawat dengan doa.
Dan jika satu saat nanti, anak-anak sekolah di Rebana diajak berjalan menyusuri kebun mangga sambil membawa buku kecil berjudul “Sejarah Jalan Mangga”, mereka akan tahu bahwa pembangunan tidak harus dimulai dari pabrik besar. Ia bisa dimulai dari satu pohon yang ditanam dengan sabar, satu koperasi yang jujur, satu kemasan yang bercerita, satu pasar yang adil, dan satu festival yang memuliakan semua.
Kita tidak sedang membangun revolusi. Kita hanya sedang mengingatkan kembali: bahwa tanah yang dipeluk gunung, yang disiram hujan, dan yang diinjak dengan niat baik, akan selalu tumbuhkan rasa. Dan rasa, jika dirawat bersama, bisa menjadi jalan yang menuntun kita pulang ke diri sendiri—dalam hormat, dalam syukur, dalam rasa manis yang tak berlebihan.
Inilah Jalan Mangga. Jalan yang tidak menindas, tapi mengundang. Jalan yang tidak hanya membangun ekonomi, tapi juga membentuk akhlak. Jalan yang tak seragam, tapi seirama. Jalan yang bisa ditempuh siapa pun, selama mereka mau berjalan dengan hati yang bersih, tangan yang sabar, dan mulut yang tahu rasa syukur.
Dan di ujung jalan itu, pohon-pohon tua akan terus berbuah. Tidak hanya buah mangga. Tapi juga buah harapan.
*
Bandung, Juni 2025
Doddi Ahmad Fauji penyair, esayis, riseter tata kelola sampah dan ternak maggot.
Discussion about this post