Kamis malam, 9 Juni 2022, Langgeng Prima Anggradinata, Dosen Sastra Indonesia FISIB Universitas Pakuan, menghubungi saya via WhatsApp. “Zul, tanggal 18 aya acara teu? Ikut gw ke Ciasmara yak!”
Belakangan, hp saya sering rusak. Panampakan layarnya kerap ujug-ujug gelap atau bergaris, bikin mata kehilangan minat buat memelototinya. Pada saat bersamaan, suasana kebatinan diri saya juga sedang tidak baik-baik saja. Karena alasan yang sangat personal (apa dan kenapanya tak perlulah saya sampaikan di sini), saya sering dilanda kecemasan dan mudah tidak genah hati sehingga tiap sebentar gampang minder dan overthinking, tak terkecuali saat sedang main hp.
Malam itu, saat tengah mencari charger buat mengisi ulang daya (baterai drop adalah masalah hp saya berikutnya), penampakan layar mendadak normal sehingga pesan dari Pak Langgeng dapat segera direspon—beda nasib dengan 192 pesan lain yang kala itu belum saya buka.
“Ayooo. Siap, Geng.”
“Jadi pelatih untuk nulis feature perjalanan.”
Mulanya, saya berencana pergi ke Bogor pada Jumat pagi, sehari sebelum acara di Ciasmara. Lantaran pagi 17 Juni itu saya kadung bikin janji dengan orang pintar yang mau meruqyah saya di Kampung Cihejo, Cibunigeulis, Tasikmalaya dan siangnya ada jadwal ketemu dokter di RS TMC, keberangkatan pun digeser ke malam hari menggunakan layanan kereta api.
Lewat isya, dari rumah di Singaparna saya naik ojek online (ojol) ke Stasiun Tasikmalaya, kurang lebih 17 kilometer. Belum lima menit perjalanan, saya mesti minta tukang ojek putar arah karena merasa ada sesuatu yang ketinggalan di rumah.
“Obatmu sudah dimasukkan ke tas plastik,” ujar ibu, saat saya krasak-krusuk di ruang tengah.
Sekarang, saya minta tukang ojek tancap gas: jadwal keberangkatan tinggal 20 menit lagi. “Kang, ini mah kalau keburu, syukur, kalau nggak ya nggak apa-apa, salah saya juga pergi ke stasiun mepet begini.”
Dua puluh menit kemudian, dengan napas terengah-engah, pantat saya pun mendarat di kursi 21D gerbong Ekonomi 1 KA Serayu, beberapa detik sebelum kereta melaju. Semalaman itu, saya masih sulit memejamkan mata. Bahkan setelah diruqyah sekalipun, kecemasan saya tak kunjung reda. Pikiran-pikiran berlebihan terus memenuhi kepala, seperti lanskap demi lanskap di tengah kegelapan yang terus berganti sepanjang saya menatap ke luar jendela, dari Tasik hingga ke Pasar Senen, Jakarta.
Sengaja saya menceritakan latar belakang di atas bukan untuk meminta simpati, berbagi nasib, atau mengeluh, tapi untuk menjelaskan betapa leganya hati dan pikiran saya sesampainya kelak di Ciasmara.
Menuju Ciasmara
Setelah sarapan kepagian dengan nasi rendang seharga 40 ribu rupiah di samping musola stasiun Pasar Senen, disusul naik ojol ke Gondangdia demi mengejar commuterline pertama yang menuju Bogor, berpapasan dengan kawanku Anri Rachman dan keluarganya di jembatan penyeberangan, mendatangi (bukan didatangi) ojol di belakang Taman Topi, saya pun sampai di kediaman Langgeng di bilangan Yasmin.
Tanpa ba-bi-bu, Langgeng segera meminta saya meninggalkan tas gembolan cukup besar dan menggantinya dengan tas punggung ramping Alpina kepunyaannya. Tak hanya itu, ia juga keukeuh meminta saya mencopot sepatu kats keluaran Brodo dan sebagai gantinya mengulurkan sepasang sepatu gunung pabrikan Adidas. “Nanti kita bakal main ke curug. Jalanan yang dilewati cukup curam. Tanahnya becek. Kalau pakai sepatu kayak gitu, repot. Bahaya.”
Saya dibonceng Langgeng di atas motor bebek tua Honda Astrea Prima. Sebelum melepas kami, Laila, istri Langgeng, merebut botol air kemasan dari tangan saya dan menukarnya begitu saja dengan botol air kemasan yang tutupnya masih disegel. “Mending bawa yang ini,” katanya.
Kami pergi menuju Dramaga. Langgeng dan mahasiswanya di Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Pakuan (FISIB Unpak) sepakat memilih gerbang utama kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai titik kumpul.
Kira-kira pukul 08.30, setelah setengah jam menunggu—saya dan Langgeng datang lebih dulu ketimbang mahasiswa—barulah kami berangkat. “Sebelum Leuwiliang, ada pertigaan menuju Pamijahan. Patokannya, di sisi kanan ada deretan ruko dan klinik dokter 24 jam. Dari situ kita belok kiri, kemudian lurus terus,” ujar Langgeng kepada anggota rombongannya.
Jalur Bogor-Leuwiliang, jalur yang juga menghubungkan provinsi Jawa Barat dengan Provinsi Banten (berujung di Rangkasbitung), dikenal sebagai salah satu jalur merah di Indonesia. Maksud saya, kapan pun Anda melihat status jalur tersebut via aplikasi, mudah dipastikan bahwa keterangannya merah melulu. Di jalan yang banyak kelokan itu, angkot dan kendaraan pribadi, truk dan bus lintas provinsi, juga ratusan (bahkan mungkin ribuan) motor merayap berjubelan setiap hari.
“Selain itu, di sini juga banyak sekali pertigaan,” ungkap Langgeng.
Menurut Google Maps, jarak dari IPB Dramaga ke Ciasmara 49,9 kilometer, sedangkan jarak dari rumah Langgeng ke titik kumpul 7,8 kilometer. Sebagai pembanding, jika Anda orang Bandung, jarak yang kami tempuh pada Sabtu pagi itu setara dengan rute Ledeng-Nagreg; dari ujung ke ujung, tapi dengan kontur jalanan yang lebih memacu adrenalin.
Betapa tidak, selepas meninggalkan Jalan Raya Bogor-Leuwiliang dan masuk ke Jalan Moh. Non Nur, jalanan terus menanjak. Sekalinya menurun, sebelum kemudian menanjak lagi, kendaraan dan tubuh Anda bakal berguncang. “Hati-hati, Pak Lurah. Jalanannya berlubang”. “Anggota DPR, Pak Bupati, selamat menikmati wisata jalan rusak”. Begitulah bunyi beberapa papan peringatan yang saya baca, bukti bahwa masyarakat punya selera humor saat menyampaikan kritik sekaligus kemarahan kepada penguasa.
Tidak mengherankan jika jalan menuju Ciasmara penuh tanjakan. Lokasi Ciasmara berada di kaki Gunung Salak, bahkan beberapa bagian sudah masuk kawasan Taman Nasional Salak Halimun. Ketinggianya di rentang 700-800 mdpl, tiga kali lebih tinggi ketimbang Kota Bogor (265 mdpl).
“Lokasi yang akan kita datangi nanti merupakan salah satu kampung terujung di Kecamatan Pamijahan,” ungkap Langgeng.
Langgeng menerangkan, para mahasiswa sengaja diajak ke Ciasmara buat praktik menulis feature. Lima tahun lalu, tak lama setelah saya kena PHK oleh portal berita hukum dan politik Gresnews.com, Langgeng juga mengajak saya untuk sharing di depan mahasiswanya terkait mata kuliah jurnalistik. Bedanya, kala itu kegiatan digelar setengah hari di kawasan Pecinan Bogor, sedangkan sekarang dilakukan dua hari satu malam di Ciasmara.
“Kegiatan ini sifatnya sukarela, jadi tidak semua mahasiswa ikut. Hanya 13 orang.”
Ditanya tentang sabab nuzul hubungannya dengan Ciasmara, Langgeng bilang semuanya terjadi berkat Unpak. Sejak 2017, Unpak menjalin kemitraan dengan Desa Ciasmara dalam upaya mengembangkan sektor pariwisata. Pada 2021, saat dunia dilanda pandemi, hubungan kemitraan itu kian erat. Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris (Himsi) FISIB Unpak mendapat Program Hibah Pembinaan dan Pendampingan Masyarakat Desa (PHP2D) yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Langgeng menjadi dosen pendampingnya.
“Banyak hal yang kami lakukan di Ciasmara, salah satunya bikin website. Nah, itu juga Unpak yang bikin,” kata Langgeng, menunjuk plang bertuliskan “Wisata Desa Ciasmara”.
Sebelum sampai di gerbang, perjalanan melelahkan selama hampir satu jam dari Jalan Raya Bogor-Leuwiliang itu terbayar dengan pemandangan menakjubkan berupa sawah berundak yang ujungnya dipagari barisan bukit di bawah keanggunan Gunung Salak. Fatahilah Haris, blogger yang pernah berkunjung ke Ciasmara, menyebut kampung di kaki gunung itu tak ubahnya seperti Ubud. Ubud versi Bogor.
Desa Wisata
Beberapa tahun belakangan, kemunculan desa wisata telah menjadi tren sekaligus fenomena tersendiri di Indonesia. Orang-orang di desa mencari dan menggali berbagai potensi wisata di wilayahnya—curug, sungai, hutan, makam keramat, makanan khas, kesenian tradisional, dan seterusnya—dengan harapan dapat menyajikannya kepada orang-orang luar wilayah, terutama mereka yang tinggal di perkotaan.
Dalam ajang Anugerah Desa Wisata (ADEWI) 2021 yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), 1.831 desa wisata dari 34 provinsi tercatat sebagai peserta, melampaui target awal 700 peserta. Sebagaimana tujuan pengembangan kepariwisataan di mana pun, aktivitas desa wisata diharapkan dapat memberi berbagai keuntungan. Mulai dari mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa, sarana melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya, hingga memajukan kebudayaan.
Di atas kertas, semua itu terlihat keren, bahkan mungkin fantastis. Tapi faktanya, sebagaimana banyak hal mikroskopis yang kerap luput dari wacana mengenai program-program sensasional, pelaksanannya tidaklah mudah dan potensi konfliknya pun tidak sedikit. Apalagi jika sudah melibatkan duit.
“Lha, kok sekarang bayar? Kemarin saya ke sini gak ada karcis-karcis begini,” ujar seorang perempuan yang lewat di depan penginapan kami di Ciasmara, saat dirinya dicegat petugas sebelum memasuki kawasan pemandian kolam air panas Karang. Setelah diberi penjelasan, barulah ia mengerti, sekalipun raut mukanya tetap menunjukkan ketidakpuasan.
Setiap pengunjung yang masuk Ciasmara akan dikenai karcis sebesar 10 ribu rupiah, mencakup uang retribusi dan asuransi. Ciasmara, sebagaimana saya katakan di awal, sudah masuk kawasan Taman Nasional Salak Halimun. Uang sebesar itu tentu saja tidak masuk ke kantong pengelola semata, tapi juga mengalir ke kas negara.
Meski sudah membayar uang 10 ribu rupiah, wisatawan akan diminta membayar 10 ribu rupiah lagi jika memasuki setiap atraksi wisata di Ciasmara: curug, kolam air panas, campsite. Untuk 10 ribu rupiah berikutnya, pembagiannya lebih lokal: pengelola masing-masing atraksi dan pemerintah desa. Tanpa tata kelola dan sinergi yang tepat, persoalan ini juga rentan memicu konflik horizontal.
“Kami kan sudah setor ke desa, lewat Bumdes. Tapi apa timbal baliknya?” ungkap Aruk, lelaki pertengahan umur 30-an, pengelola Curug Saderi, salah satu atraksi unggulan di Ciasmara.
Memang, terang Aruk, akses menuju Curug Saderi sudah diperbaiki. Jalan yang tadinya tanah merah kini sudah dilapisi batu. Jembatan dari kayu berganti jembatan semen, permanen. Sebuah bak bilas dibangun tak jauh dari curug. Tapi semua itu dirasa Aruk masih jauh dari cukup.
Sebagai salah seorang penggerak desa wisata, Aruk berharap manfaat sekaligus kegiatan kepariwisataan di Ciasmara bisa dirasakan dan dilakukan bersama, tidak oleh segelintir orang belaka. Karenanya ia menginginkan masyarakat punya kesadaran yang merata tentang desa wisata, dan sebab itu butuh dukungan dari aparat desa.
“Laki-laki di sini kan umumnya bekerja sebagai petani, menggarap lahan di hutan atau menjadi penambang emas di Leuwiliang. Saya sih berharap pemerintah desa melakukan sesuatu sehingga kita bisa sama-sama menjadi pengelola Desa Wisata Ciasmara,” sambung Aruk.
Apa yang disampaikan Aruk adalah contoh kecil betapa program desa wisata yang belakangan digembor-gemborkan banyak pihak pada tingkatan yang lebih konkret ternyata kerap berjalan bagai api jauh dari panggangan. Maksudnya begini, fakatnya begitu. Tentu saja membangun desa wisata butuh intensitas dan kerja-kerja yang tidak sedikit—kerja-kerja yang rawan menimbulkan konflik. Dan luaran mulia yang diharapkan pemerintah dari aktivitas desa wisata tidak bakal terwujud dalam semalam. Sekalipun grafik trennya sedang menanjak.
“Saking banyaknya program dan lomba mengenai desa wisata, tugas pengurus desa menjadi terbagi. Apalagi menjelang kegiatan semacam ADEWI. Pengurus lebih banyak disibukkan oleh urusan administrasi—ada ratusan berkas yang mesti di-submit buat mengikuti ADEWI—sehingga kewajiban melayani masyarakat sedikit terabaikan,” ujar Dadang Destriyana, Ketua Bumdes Selasari, Pangandaran, yang saya temui pada bulan Ramadan kemarin.
Tracking, Curug Saderi, dan Pemandian Air Panas
Pertemuan dengan Aruk berlangsung di teras rumahnya. Kami baru selesai tracking menyusuri Curug Saderi dan area hutan pinus yang dijadikan campsite. Sepanjang perjalanan, mahasiswa yang sudah dibagi tugas untuk menuliskan potensi-potensi wisata di Ciasmara—termasuk celempung, seni tradisi—melakukan wawancara dengan sejumlah narasumber, terutama pengunjung dan pengelola wisata.
Menjelang hujan, kami berteduh di teras rumah Aruk. Aruk bercerita tentang awal mula “penemuan” Curug Saderi. Warsa 2017, ia dan sejumlah masyarakat desa lainnya merambah semak belukar, mencari hulu sungai. Pencarian itu tidak mudah sebab jalurnya tidak ada: semak-semak dan pepohonan belaka.
Saderi, sambung Aruk, adalah nama salah seorang leluhur orang Ciasmara. Dulu, yang empunya nama pergi memancing ke arah hulu sungai. Sesampainya di curug dan mendapati semacam goa, Saderi memasukinya. Berjam-jam kemudian, saat menyadari Saderi hilang, warga desa mencari jejaknya dan hanya menemukan mayatnya mengambang.
Lepas dari kisah tragis Ki Saderi, Curug Saderi memberi kedamaian tersendiri bagi siapa pun yang mendatanginya, paling tidak saya sendiri. Sepanjang jalan, pohonan rindang dan cericit burung-burung mengiringi langkah kami, ditingkahi ricik air sungai yang jernih dan segar. Saya mengisi botol minum pemberian Laila dengan air sungai, menenggaknya sepuas mungkin, mengisinya lagi dan lagi, dan tak mengalami sakit perut hingga sekarang. Aneka batu di dasar sungai menampakkan punggungnya yang warna-warni—seperti wallpaper iPhone—menggoda saya untuk mencelupkan kaki ke arusnya. Sepasang muda-mudi yang duduk dan foto-foto di atas batu tampak kikuk ketika kami tiba-tiba ada di sekitar mereka.
Di atas Curug Saderi masih ada Curug Hordeng. Di sisi lain ada Curug Tebing, Curug Gleweran, Curug Emas, Curug Pelangi, dan lain-lain. Air dari Gunung Salak mengalir menjadi sungai-sungai lewat sekian banyak curug di Ciasmara.
“Selain curug air dingin, ada pula curug air panas,” terang Pak RT, sosok yang penginapannya kami tempati.
Hari kedua di Ciasmara, pagi-pagi sekali, serombongan wisatawan domestik mengajak saya bergabung ikut tracking ke Curug Pelangi. Sekalian main air panas. Saya menolaknya bukan sebab tidak penasaran dengan curug air panas dan kolam air panasnya yang alami. Saya kadung punya rencana mendatangi pemandian air panas Karang, puluhan meter saja dari penginapan.
Mumpung masih pagi dan belum ada pengunjung, saya pikir nikmat betul kalau merendam diri di situ. Sebuah kemewahan. Saya berjalan mendatangi pemandian air panas, melewati petak-petak kolam pembibitan ikan mas yang airnya deras dan ikan-ikannya lincah, melewati surau yang jendelanya terbuka—nikmat betul sembahyang di situ—sebelum disambut empat ekor anjing kampung yang terus menggonggong mengerubungi saya.
“Aing rek mandi, anjing. Lain rek maling. Kalem. Kalem.” Demikian cara saya menenangkan diri sendiri.
Di kolam air panas, Minggu pagi itu saya berenang seorang diri saja. Pohon-pohon besar di belakang, kaki-kaki gunung Salak, betul-betul membuat tenteram. Yang sedikit mengecewakan: airnya hangat-hangat kuku. Nanggung. Untunglah saat hendak membersihkan diri, pengelola kolam bilang kalau di kamar mandi ada juga bak air panasnya—selain air yang dingin dan segar. Nah, bak air panas ini, yang airnya benar-benar panas, sungguh ampuh meluruhkan kekecewaan dan keruwetan pikiran yang saya bawa ke Ciasmara. Saya senang dan lega diajak diajak Langgeng ke Ciasmara.
Kalau suatu saat ada teman mengajak camping, jalan-jalan atau sekadang healing-healing begitu, insya Allah, saya tidak bakalan ragu untuk merekomendasikan Ciasmara. Tidur di hutan pinus, ayo. Menginap di penginapan yang disediakan warga ya ayo juga. Singkat kata, pilihan atraksi dan akomodasi wisata di Ciasmara begitu beragam. Dan seperti tulisan ini, waktu sehari-dua tentu kurang cukup untuk mengeskplor semuanya.
Discussion about this post