Kautamaan Istri
“Pok pek, prak…” Tiba-tiba saja saya teringat nasehat Dewi Sartika ketika bersua kawan pedagang buku, di jalan Kautamaan Istri, pada Rabu 28 September 2022. Seperti pikiran stoikisme, ingatan yang menguar dari kepala saya tentang nasehat Dewi Sartika, bukanlah suatu kebetulan; dalam stoikisme disebut dengan inteconnectedness. Menurut Henry Manampiring itu disebut dengan keterkaitan. Ketika memandang segala sesuatu di alam semesta ini, ada keterkaitan bak jaring-jaring raksasa, termasuk semua peristiwa di dalam hidup sehari-hari. (Manampiring Henry: halaman 39).
Mengamini stoikisme, dan membuktikannya mudah saja. Umpamanya mari kita mencarinya lewat penelusuran sekilas pada google. Nama yang muncul dan berpagutan dengan Kautamaan istri pasti Dewi Sartika? Ya iya dong! Sebab ialah perintis pertama sekolah perempuan pada masanya. Bandung menjadi tempat berdirinya. Ia beri nama sekolahnya itu sakola kautamaan istri, yang di proyeksikan sebagai pendidikan alternatif: pendidikan bagi perempuan pribumi. Hal itu merupakan sebuah ide/gagasan pencerahan dan usaha yang besar serta berani pada zamannya! Oleh sebab itu pula, nama Kautamaaan Istri menjadi inspirasi nama jalan, dan tak salah bukan? Ketika pikiran saya teringat Dewi Sartika?!
Kautamaan istri terletak di jantung kota, 450 m dari alun-alun, dihimpit mal-mal, berdekatan dengan rumah makan Ampera dan Ma Imas, serta SMA Pasundan Bandung. Namun, entah hanya saya atau warga yang lainnya juga merasainya, sepanjang jalan Kautamaan Istri itu, jalannya sunyi, sesunyi Dewi Sartika, seolah gang-gang/jalan-jalannya mati, semati semangat pembebasan: seolah itu sebuah metafor dan simbol bahwa semangat didaktis Dewi Sartika telah mati! Namun, itu hanya kekhawatiran naif saya saja, sebab jalan-jalan kautamaan istri memang tidak begitu lebar, hanya muat satu mobil saja untuk melaluinya. Itu berarti, wajar apabila sunyi-senyap.
Di gigir jalannya, pohon-pohon besar ajeg berdiri, dan apabila angin yang ribut dan sedang tiba, gugurlah gugur daun kering dan hijau satu per satu memenuhi jalan raya dan mendarat pula di atas mobil-mobil yang parkir di sisi jalannya.
Di Kautamaan Istri itulah beberapa kios buku berjejer, termasuk toko buku teman saya yang berhadap-hadapan dengan SMPN 43 Bandung.
Buku dan ceritanya
Sembari terus melaju dalam laju 20 km/jam, ada yang beda dan amat ganjil, ketika saya tengok kanan-kiri sepanjang jalan Kautamaan Istri. Perasaan sedih secara tetiba muncul serupa jelangkung ketika beberapa kios buku sebagian ada yang tutup. Pun berganti wajah menjadi kios makanan dan minuman, termasuk kios buku teman saya yang beralih fungsi menjadi kios minuman.
Hep. Motorpun berhenti. Saya parkirkan motor di pinggir jalan, melepas helm, dan menghampiri kios buku teman saya dan langsung mengajukan pertanyaan kepadanya.
“Tidak akan dagang buku lagi, Mang?” Tanya saya karena melihat di kiosnya terjajal minuman yang dijual.
“Libur dulu. Ini mah kiosnya sedang direnovasi. Masa buku udah kiri mentok, udah bagus, kok kiosnya jelek, jadi kudu direnovasi dong! Nah, karena kios di renovasi, dan istilahnya sambil mendayung tiga pulau terlampaui ya kios dimanfaatkan sama adik untuk jual minuman,” Jawab Erwin (46), pedagang buku siang itu di kiosnya.
Saya lega, karena beliau tidak punya niatan untuk tutup usaha dari buku.
“Mang coba ceritain deh, kenapa gitu ya bisa bergelut dan dagang buku?”
“Wanjir! Siap, ” jawabnya, “Sekalipun saya tidak begitu tinggi pendidikannya, dulu di sela istirahat bekerja menjadi calo angkot saya akan menghabiskan waktu tersebut dengan membaca. Simpelnya awal mulanya, karena saya suka baca: Saya kurang ingat betul, yang jelas pada tahun 2005 itu saya merintis usaha ini, dengan main di majalah serupa Femina, Kartini dll. Pada tahun 2010 saya nyoba main di komik. Wah anjir! ternyata bangkar dong! Karena di komik saling adu harga! Dari sana saya rehat dulu. Terus dilanjut lagi usaha buku dengan main di buku-buku umum. Nah, harapan dan optimsme saya naik lagi pada buku-buku umum, karena semenjak itu pula relasi saya makin banyak. Dari mulai dosen, guru, dan mahasiswa. Aya jadi dekat-akrab dengan kalanga terpelajar. Pengaruh relasi tersebut, berinbas pada buku di kios-kios saya yang berbeda dengan di kios lain: Kiri mentok!” Kata Erwin di akhiri gelak.
Ketika itu tak ada matahari di langit. Hanya, sebuah keteduhan saja. Tidak telalu mendung, tidak telalu terik. Tetapi, tenggorokan saya tetap kemarau, dan mememesanlah saya minuman ke adik Erwin, lalu menyalakan sebatang rokok.
“Udud dulu, Mang!” Pinta saya kepada erwin. Erwin mengambil satu batang garpit, dan menyulutnza, lalu busss: asap pun keluar.
“Tapi Mang, dagang pula di media sosial?”
” Pasti atuh! Sekarang itu, kan eranya serba digital, ya. Maka dagang pun mesti ngikut ke era itu. Mau tak mau mesti begitu. ” Jawabnya.
Suasana obrolan makin seru, seseru apa yang nampak di hadapan saya, di mana anak-anak sekolah mulai pada bubar. Adik Erwin mengasingkan minuman dingin itu. Sebuah minuman berwarna biru langit. Dan menurut saya agak aneh rasanya, tapi untuk tenggorokan yang sedang kemarau lega rasanya.
” Dominasi peminat buku dari kalangan dan generasi mana, Mang?”
“Peminat buku masih orang-orang 90-an ke bawah, generasi milenial tidak teralu, bahkan buku yang mereka sukai cenderung yang viualnya bagus. Komik yang kayak gitulah! Kalu yang datang ke aku begitu. Entah ke kios lain, atau ke Gramedia.”
“Terakhir. Gimana nih masa depan buku, Mang?”
“Hanya buku antik dan langkalah yang masih akan kuat bertahan, sementara buku-buku baru kan sekarang bisa di pdf-kan. Buku akan beralih ke dunia digita, sementara dunia buku yang konvesional, akan perlahan tinggalkan?”
“Terus, gimana dong, Mang usaha ke depan, untuk bayar sewa kios, misalnya?”
“Nggak. Kios mah Ini kebiakan hati camat. Jadi gak sewa. Tapi kita bangun sendiri. Ya, emang udah tugasnya kitu pemerintah, mengayomi rakyatnya. Mereka kan pelayan rakyat, ya!” Katanya diakhiri dengan tertawa.
Awalnya saya menduga memang ia akan berganti profesi dan mengucapkan selamat tinggal pada buku! Ternyata itu hanya untuk waktu yang sementara saja, entah tahun-tahun mendatang.
Setelah dari kios mang Erwin, saya berjalan menuju kios yang lain. Dan, seolah bagian dari inteconneted, diantara pedagang dan pembeli buku yang sedang mengobrol ada salah seorang dosen UNPAS dan aktivis AMS (Angkatan muda Siliwangi) Dr. Nusa. Hum. Ia nampak asyik-masyuk bertukar pendapat.
“Membaca itu kan memahami. Teks itukan semesta tafsir, dan dari dulu kita selalu bertengkar karena tafsir,” kata Pengajar UNPAS tersebut di kios buku milik Pak Dian.
Di kalangan kios-kios buku, di jalan kautamaan istri, ia dikenal sekali. Karena setiap hari ia pasti akan membeli buku. Ia adalah juragan buku bagi kios-kios cilik di jalan kautamaan istri.
“Buku itu, apapun mediumnya kelak; pdf atau kertas, akan tetap dibutuhkan, karena dia selain jadi sumber pengetahuan, wawasan, akan membimbing kita pada sesuatu dan menjadi sesuatu.” Pungkasnya.
Pembicaraan makin ke sana kemari, kami semua seolah sepakat untuk membunuh waktu bersama-sama.
Discussion about this post