Oleh: A Mundzir*
Ketika akademisi tunduk pada kuasa, gelar bukan lagi simbol intelektualitas, melainkan sekadar alat legitimasi kekuasaan.
Universitas Indonesia (UI) kembali tercoreng oleh skandal akademik yang melibatkan pejabat tinggi. Kali ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjadi sorotan setelah disertasinya dinyatakan perlu diperbaiki.
Keputusan ini seharusnya menegaskan standar akademik UI. Namun, polemiknya justru menunjukkan gejala lain: betapa gelar akademik di negeri ini semakin kehilangan makna.
UI, yang selama ini mengklaim sebagai kampus terbaik, justru dipermalukan oleh kasus ini. Jika seorang pejabat bisa melenggang meraih gelar tanpa kualitas ilmiah yang memadai, maka UI memang layak disebut mengalami downgrade.
Bahlil mungkin hanya satu individu. Tapi kasusnya mencoreng seluruh institusi. UI menyandang nama Indonesia. Skandal ini bukan sekadar masalah kampus, melainkan juga reputasi bangsa.
Apa yang dunia pikirkan ketika melihat UI begitu mudah memberikan gelar kepada pejabat? Seakan-akan, standar akademik Indonesia serendah itu. Atau lebih buruk lagi, jangan-jangan memang kualitas akademik di negeri ini benar-benar seperti UI dan Bahlil?
Fenomena ini mengonfirmasi masalah lama: banyak pejabat haus gelar akademik, tetapi minim kontribusi intelektual. Gelar doktor yang seharusnya lahir dari riset mendalam kini berubah menjadi aksesori politik.
Ketika seorang menteri yang sibuk mengurus negara bisa tetap menjalani program doktoral, publik pantas bertanya: kapan ia benar-benar melakukan penelitian? Ataukah ini hanya formalitas yang sudah dikondisikan sejak awal?
Kasus ini juga membuktikan bahwa UI bukan lagi benteng keilmuan yang independen. Jika benar UI masih menjunjung tinggi integritas akademik, mengapa kasus seperti ini terus berulang?
Keputusan UI untuk meminta perbaikan disertasi seharusnya menjadi langkah akademik yang tegas. Namun, publik tahu bahwa dalam banyak kasus, perbaikan hanyalah formalitas. Perubahan minor bisa dilakukan, kemudian gelar tetap diberikan.
Jika UI benar-benar serius menjaga marwah akademiknya, mereka harus lebih dari sekadar meminta perbaikan. Harus ada audit transparan terhadap standar penelitian di kampus ini, terutama bagi pejabat yang kuliah sambil berkuasa.
Kasus ini juga harus menjadi alarm bagi kampus-kampus lain. Jika UI saja bisa tunduk pada kepentingan politik, bagaimana dengan universitas lain yang sumber dayanya lebih terbatas?
Jika gelar akademik terus dipermainkan seperti ini, maka dunia pendidikan tinggi Indonesia akan semakin kehilangan kredibilitasnya. UI mungkin masih bertahan di peringkat internasional, tapi tanpa integritas akademik, peringkat itu hanyalah angka kosong.
UI dan seluruh institusi akademik harus kembali ke prinsip dasar: bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh tunduk pada kekuasaan. Gelar akademik adalah hasil perjuangan intelektual, bukan hadiah bagi mereka yang punya jabatan.
Jika tidak ada reformasi serius, jangan heran jika nantinya publik tak lagi percaya pada gelar akademik. Dan UI, yang selama ini menjadi simbol pendidikan tinggi Indonesia, akan terus merosot karena kehilangan integritasnya sendiri.
*Jurnalis, Wakil Ketua DPD PJS Jabar.
Discussion about this post