Oleh: Doddi Ahmad Fauji*
Saya menerima berita lewat koran Pesbuk dari Kyai Diro Aritonang yang nge-mention nama saya, tentang batalnya pertunjukan Teater Payung Hitam (TPH) pimpinan Rahman Sabur, yang semestinya melangsungkan pertunjukan berjuluk Wawancara dengan Moelyono, di Studio Teater ISBI Bandung, dalam rangka memperingati milad ke-43 TPH, yang direncanakan pada 15 – 16 Februari 2025 ini. Kesan pertama yang saya tangkap dari paparan Kyai Diro itu, adalah adanya ketakutan pimpinan ISBI bahwa pertunjukan indikatif politis itu, bisa melahirkan polemik dan perdebatan yang menyeret ISBI terlibat dalam politik paraktis.
Di era sosmed ini, godaan untuk mereaksi apapun secara seketika, spontan, menderu-deras amat besar. Saya mantan jurnalis industri, semestinya melakukan verifikasi dan cover both side dalam tiap konflik. Namun di malam yang sudah larut, tetek-bengek jurnalistik itu amat merepotkan, dan saya pun turunkan semi-berita dengan juluk REPOTNYA JIKA PIMPINAN KAMPUS JADI PENAKUT. Saya bandingkan bagaimana dulu Pak Karna Yudibarata yang juga pendiri ASTI (asal-usul ISBI) membela kegiatan di kampus, sehingga siap berurusan dengan aparat, sementara di ISBI kini, ko pimpinan kampus takut.
Dalam tulisan semi-berita itu, tidak ada kata ‘pelarangan’, melainkan ketakutan pimpinan ISBI karena ada diksi Moelyono. Coba judul pertunjukan diganti ‘Wawancara dengan Malaikat Izrail’, kayaknya akan dipersilakan itu pertunjukan, sebab siapapun bisa takut toh bila didatangi Izrail dalam keadaan tidak siap.

Tulisan saya rupanya dikomentari oleh alumni ISBI, Kyai Arie Batubara, dan mengatakan tidak terjadi pelarangan dalam kasus tersebut, dan jangan ditarik ke mana-mana. Tidak ada apa-apa, itu hanya masalah internal, biarkan mereka menyelesaikan sendiri.
Namun saya mengatakan, tetap ada apa-apa, dan ditarik dengan kondisi aktivitas seni budaya di Kota Bandung, yang tidak ada aktivitas berskala nasional atau bahkan internasional, yang berwibawa, yang meskipun banyak yang alergi, namun dapat menjadi barometer untuk melihat pencapaian aktivitas seni budaya di Kota Bandung. Katakanlah, tidak ada festival sastra, teater, musik, biennal, dll. yang tawadhu, istiqomah, didukung penuh oleh pemerintah. Yang ada adalah, dua walikota Bandung terjerat korupsi.
Eh besoknya beredar siaran sosmed dari ISBI yang dari diksi-diksinya amat jelas dan tegas, terjadi pelarangan dan konflik internal. Pernyataan Kyai Arie itu pun disebut hoax oleh Panembahan Perbu Godi Suwarna, Panatagama.
Asli dong daku ketawa, dapat hiburan.
Akhirnya Kyai Arie menelepon saya sampai dua jam. Menjelaskan duduk perkara versi yang ditanyai Arie dari pimpinan ISBI dan eksponen alumni ISBI. Jika saya masih bekerja sebagai jurnalis industri, mestinya saya melakukan konfirmasi kepada Almukarom Kyai Rahman Sabur. Tapi ini malam sudah larut, dan tak ada nomor kontaknya ternyata, maka ya sudah, secara spontan saja kutuliskan apa yang kudengar dan apa yang bisa kuanalisis. Beginilah kondisinya menjadi jurnalis ronin, tulisan dimuat dengan nebeng ke teman-teman yang mengelola laman resmi surat kabar macam suaramerdeka.jakarta, dan tulisan dimuatkan di koran Pesbuk yang sering kali tidak mengindahkan kode etik jurnalistik. Keun weh, yang penting niatnya baik.
Dari siaran sosmed ISBI dan paparan Kyai Arie, sangat jelas terjadi disharmoni di kampus. Sebenarnya disharmoni bukan hanya terjadi di ISBI, bisa jadi di setiap kampus terjadi peristiwa itu. Namun, ada sivitas akademik (mahasiswa, dosen, karyawan, dan alumni) yang mampu mengelolanya dengan baik sehingga kerancuan di rumah tangga tidak menguar ke permukaan, tapi ada pimpinan yang kurang atau tidak punya pengalaman, sehingga membaca siaran sosmed-nya saja, membuat saya mengurut dada, dan para komentator dari siaran sosmed ISBI itu bernuansa kritik bukan saja dari alumni ISBI, termasuk juga dari luar ISBI. Namun saya maknai, semua komentar pedas atau lunak itu, adalah sebentuk perhatian kepada kampus agar menjadi kampus yang lurus, jujur, adil, yang menjalankan Pancasila lahir dan batin.
Saya menyebut sebaran dari ISBI itu sebagai siaran sosmed, karena memang disampaikan melalui sosmed, meskipun Rektor ISBI yang menandaranganinya, mengatakan itu siaran pers. Mestinya kan yang menyiarkan itu instituti pers, bukan lorong sosmed yang mudah memancing aneka reaksi.
Mestinya, menurut saya, ISBI menggelar konferensi pers, dan wartawan sebagai wakil publik, mendapatkan kesempatan untuk melakukan konfirmasi dan mengorek hal-hal yang belum terungkap. Biarlah wartawan yang mengabarkan kepada publik, dan bukannya koran sosmed macam IG, FB, dll.
Blunderlah itu siaran sosmed ISBI, menikam dirinya sendiri. Memperlihatkan ketakutannya terhadap anasir politik, sekaligus memaparkan konflik internal yang mestinya ditutup rapat-rapat: Buruk-buruk papan jati. Ini malah diuar ke permukaan, dan hendak mengabarkan Kyai almukarom Rahman Sabur tidak kompromistis, bengal, dan sulit diberi masukan. Salah satu masukannya, menurut Kyai Arie, adalah menyarankan TPH menggelar pertunjukan tersebut dilangsungkan di ruang publik yang terbuka seperti di Gedung Kesenian Rumentangsiang, dan nanti pimpinan ISBI akan membantu membuatkan surat rekomendasi agar TPH tidak menyewa Rumenang, hanya dikenakan biaya kebersihan, listrik, dll.
Problem seperti di ISBI, adanya alumni yang sekaligus dosen di dalamnya, bukan hanya terjadi di ISBI. Di UPI misalnya, pimpinan kampus pernah mengeluhkan eksistensi KABUMI yang seolah wakil IKIP, yang didirikan oleh mantan Rektor Nu’man Somantri. KABUMI ini menggunakan fasilitas IKIP Bandung untuk banyak hal, malah bila dana dari sponsor kurang, beberapa tombokan Kabumi untuk lawatannya ke berbagai negara, sebagian ditutup oleh anggaran IKIP. Mereka menggunakan kawasan Lembur Bitung sebagai markas, padahal Lembur Bitung didirikan untuk fasilitas jurusan tari dan musik. Konflik ini tidak mengemuka ke luar dan menjadi konsumsi publik. Namun setelah reformasi, Kabumi bisa diatur, dan ditempatkan menjadi unit kegiatan mahasiswa yang setera dengan UKM-UKM lainnya.
Tampaknya, berdasarkan tuturan Kyai Arie, di ISBI juga ada beberapa kelompok teater yang didirikan oleh dosen dan atau alumni ISBI, yang turut menyusu pada fasilitas ISBI, walau hanya untuk biaya listrik selama latihan, seperti yang terjadi pada TPH itu. Ada Teater Piktorial yang didirikan oleh Kyai Irwan Jamal, yang dosen ISBI, ada teater Respublika yang didirikan Om Benjon yang juga dosen ISBI, ada Teater Alibi yang didirikan Kyai Irwan Guntari, yang sekarang ketua Ikatan Alumni ISBI, dll. Di antara sekian teater itu, menurut Arie, TPH inilah yang paling getol menyusu, dan sementara itu Babeh Rahman sudah pensiun terhitung sejak 2023. Dulu, samasa aktif jadi dosen, masalah menyusu ini tak begitu dipermasalahkan secara mencuat, namun setelah pensiun, perhitungan jadi lain.
Problem seperti ini, berdasarkan intuisi saya, terjadi di banyak kampus, dan memang harus tertemukan win-win solution. Sudah saatnya pemerintah turun tangan tentu dengan tujuan baik, disebabkan kampus negeri itu mestinya menjadi rumah milik rakyat, bukan ‘rumah kami’ yang hanya dihuni para sivitas akademik. Kata ‘studi’ dan mahasiswa, harus dipertegas. Bila ada aktivitas di kampus yang dari luar kampus meskipun didirikan oleh orang kampus, perlu ditinjau dan ditakar dengan acuan studi dan mahasiswanya itu. Seberapa urgen sih aktivitas tersebut bagi kelangsungan studi dan pembelajaran bagi mahasiswa?
Pemerintah harus turun tangan, memberi ruang dan memfasilitasi terhadap grup-grup kesenian, apakah itu sanggar seni, komunitas seni, kelompok teater, dll. agar dapat melangsungkan aktivitasnya. Untuk kelompok teater yang sudah 40 tahun istiqomah seperti TPH, sudah waktunya pemerintah memberikan challenge, mampukah menjadi duta budaya Indonesia? Bila mampu, ya kemudian didaftarkan oleh pemerintah untuk ikut festival kesenian bergengsi di luar negeri.
Di wilayah sastra, upaya untuk menghargai para sastrawan yang sudah berkarya dan dianggap mengabdi selama 30 tahun dan 40 tahun, melalui Badan Bahasa, diberikan bantuan literasi antara 25 juta (30 tahun) dan 50 juta (40 tahun). Alhamdulillah 340-an sastrawan/komunitas literasi, sudah menikmatinya, misalnya Saut Poltak Tambunan (40 tahun berkarya), Eka Budianta (30 tahun berkarya). Semoga makin banyak yang dapat menikmatinya.
Di teater, seni rupa, seni tari, dll. bantuan pemerintah seperti pada sastra, juga mestinya terjadi. Semoga dengan berdirinya Kementerian Kebudayaan, hal ini sudah terpikirkan oleh mereka, dan tinggal pelaksanaannya. Sungguh Indah bila TPH, dan teater lain, dapat diberangkatkan pada festival-festival bergengsi di luar negeri. Atau seniman perorangan seperti Kyai Tisna Sanjaya, dapat diberangkatkan ke dalam biennal-biennal penting. Saya pernah ikut membantu mengetuk Dirjen NBSF, saat tiga seniman mau ikut biennal Venezia tahun 2003 di Eropa sana. Kyai Allohuyarham Made Wianta Intan Kirana, Ibu Kyai Arahmaiani Feisal, dan Kyai Tisna Sanjaya hendak mengikuti biennal tersebut, namun kurang uang. Romo Wianta mengontak saya, dan menanyakan, bisakah membantu memintakan uang untuk kekurangan dana dari pemerintah?
Tak tahu kenapa, mungkin ini sihir wartawan industri kala itu, Dirjen NBSF Kyai Sri Hastanto memberikan bantuan Rp 300 juta, dan berangkatlah tiga perupa dari Indonesia.
Alangkah elok jika kita belajar mengambil hikmah dari asidensi TPH di ISBI itu, kemudian Kementerian Kebudayaan menjadi fasilitator untuk para seniman bisa ‘ngalalana ka nusa-nusa jauh’, dijalankan secara konsisten, dan merupakan duta budaya Indonesia, yang diseleksi secara ketat. Ditjen NBSF di era Ahmansah, peenah memberangkatkan Kyai Acep Zamzam Noor dan Kyai Godi Suwarna ke Festival Sastra berbahasa daerah di Guinea, itu bagus, tapi tak berlanjut.
Saya akan senang bila Lurah Wanayasa Ayi Kurnia Sukmasarakan dibimbing Panembahan Herry Dim, bisa konser puisi dan musik, kajeun meunang Suno gé, yang penting konseptual, estetik, panceg dan nanjeur!
Harus diseleksi tentu, berdasarkan portopolio dan karya mutakhir. Jangan seperti duta angklung Kabumi di IKIP dulu, yang bisa berangkat duluan pelesir ke luar negiri banyak dari anak-anak dosen.
Akhir kata, becermin dari siaran sosmed ISBI, semoga blunder ini tidak terjadi lagi, juga di kampus-kampus lain sebagai rumah rakyat untuk belajar.
Wabillahi taufik wal hidayah, kun fayakun!
*Ketua Khusus Partey Penulis Puisi (orang lain mah staf khusus euy).
#Almukarom Kyai_Fadli_Zon, #Fadli_Zon
Discussion about this post