Bagian 1. Untuk Apa Kuliah (di IKIP Bandung) ?
Oleh Sutanandika, M.Pd[1]
Tahun 1997 setahun sebelum api reformasi bertiup di Republik Indonesia, saya diterima kuliah di IKIP Bandung, Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah (Sunda). Sebuah pemilihan kampus yang didasarkan ikatan emosional dan pemikiran random sebenarnya. Sebab perspektif pribadi kuliah hanyalah menambah beban keluarga. Argumen yang tidak jauh berbeda dengan pembuat konten yang ditawari beasiswa oleh Pak Menkeraf Sandiaga Uno. Bapak bekerja sebagai PNS Guru SD yang sebelumnya sudah dan sedang mengkuliahkan empat Kakak, mungkin sebaiknya mencari pekerjaan, kebetulan waktu itu ditawari untuk bekerja di negeri ginseng Korea. Pilihan bekerja adalah satu-satunya hal yang diyakini sebagai tindakan paling heroic saat itu.
Argumen heroic tersebut, akhirna dipatahkan oleh sesosok Ibu. “Ema dan Apa hanya ingin kalian mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal Pendidikan minimal sampai S1 bagi semua anak tanpa kecuali, tidak ada yang dianaktirikan, sebab warisan harta hanya akan menimbulkan perselisihan. Pendidikan akan mengubah derajat seseorang, bahkan jika menjadi guru, kami berkesempatan mengubah derajat seseorang bahkan keluarganya”. Begitu ucapan Beliau yang membuat terjaga semalaman. Ibu terlahir dari keluarga pemuka agama dan hanya mengecap Pendidikan formal sampai SD. Kegiatan beliau yang saya ingat selain menjadi Ibu Rumah Tangga, beliau mengelola aset kekayaan keluarga untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya Pendidikan. Bapak biasanya akan meminjam ke Koperasi Guru atau Bank apabila ada pembiayaan yang cukup besar.
Angkeuhan (argument heroic, Sunda) itu patah dan berangkatlah ke Bandung dengan berbekal hasil pengumuman PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) diterima di IKIP Bandung. Mungkin itu sejak pertama saya menyadari kebiasaan memilih jalur berbeda (untuk tidak disebut aneh) bahwa ketika semua kawan rangking berbondong ke IPB, saya malah ke Bandung. “Maneh arek jadi Guru” Pak Yayat (Almarhum) setengah tidak percaya. Ada banyak cerita “bahagia” di SMU Negeri Ciawi Bogor, kemudian mematik salah satu guru terbaik itu terkaget-kaget, anak didiknya ini memilih mendaftar ke IKIP Bandung.
Universitas Pendidikan Indonesia didirikan pada tanggal 20 Oktober 1954 di Bandung, diresmikan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran Mr. Muhammad Yamin. Semula bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), didirikan dengan latar belakang sejarah pertumbuhan bangsa, yang menyadari bahwa upaya mendidik dan mencerdaskan bangsa merupakan bagian penting dalam mengisi kemerdekaan. Beberapa alasan didirikannya PTPG antara lain: Pertama, setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, bangsa Indonesia sangat haus pendidikan. Kedua, perlunya disiapkan guru yang bermutu dan bertaraf universitas untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang akan merintis terwujudnya masyarakat yang sejahtera. [2]
Villa Isola (sekarang Bumi Siliwangi) adalah sebuah bangunan art-deco di bagian utara Bandung, ibu kota provinsi Jawa Barat, Indonesia. Menghadap ke lembah dengan pemandangan kota, Villa Isola selesai dibangun pada tahun 1933 oleh arsitek Belanda Wolff Schoemaker untuk taipan media Belanda Dominique Willem Berretty, pendiri agen pers Aneta di Hindia Belanda.[3]
Tahun 1997, Jurusan Pendidikan Bahasa Sunda / Daerah yang saat itu sedang berada dipusaran konflik penyatuan jurusan dengan Pendidikan Bahasa Indonesia. Si Anak kampung ini menjejak di Ibukota Provinsi Jawa Barat dan mendaftar di sana. Kami khususon jalur PMDK wajib registrasi terlebih dahulu dibandingkan mahasiswa yang jalur Sipenmaru. Impresi pertama adalah duduk di kursi kayu jati yang bertahun 1967 setelah berjam-jam duduk di kursi bus antara Baranangsiang Bogor dan Leuwi Panjang Bandung, tentulah tidak positif.
Impresi bangku kayu jati yang berumur tersebut mematik kritik pertama terhadap dunia Pendidikan Indonesia. Pasca OSPEK dan LDKM dengan para pemateri senior yang memukau tentang peran mahasiswa sebagai Agent of Change terdengar merdu dibandingkan dengan istilah Agen Perubahan. Pertamanya iseng mencetak narasi “Ganti Bangkunya sudah 30 tahun” di sebuah printer dotmatrix milik jurusan yang pitanya baru diakali dengan tinta mesin Stensile Duplikator. Kertas tersebut dibawa ke kelas dan tertinggal di Ruang 16 FPBS. Menyulut kemarahan dosen dan para senior. Sidang digelar tanpa pengacara, yang ada hanyalah para jaksa dan hakim. “Hileud Himpunan Mahasiswa” entah karena ada saudara yang pengajar dan mahasiswa senior juga sehingga kasus ini diredam. Apakah hal ini meninggalkan trauma? Mungkin ya. Namun sejak itu pergaulan, jabatan, kepercayaan hanya diperoleh dengan kemauan belajar, kemampuan, dan komitmen. Satu hal yang pasti pergaulan saya tidak semata dengan mahasiswa satu jurusan. Kemudian hari barulah saya “eungeuh” bagaimana kalau “32 tahun ganti kursi ke Presiden” mungkin akan mengantar saya menjadi alumni berpengaruh. Hehehe, Jin Iklan rokok akan berkata “ngimpi”.
Dimulai dengan selalu berdiskusi berdasar buku-buku dan makalah yang dipinjam dari para senior, koleksi kakak, dan sebagainya. Lambat laun masuk ke pemikiran kritis bagaimana Pendidikan di Indonesia seharusnya. Orang boleh menuduh kampus IKIP Bandung adalah kampus paling kolot dan feodal namun pergerakan di tahun 1998 yang paling massif. Tercatat bahwa mahasiswa IKIP Bandung sudah memenuhi lapangan Gasibu dalam hal sesunggguhnya untuk menyerukan tuntutan dan kemudian pulang dengan tertib karena koordinasi yang baik dengan Kepolisian dan Damri. Kemudian sebuah aksi yang kemudian bentrok besar yang terjadi di Gegerkalong. Endingnya bisa ditebak, selain aksi-aksi mahasiswa Bandung semakin menguat, beberapa kawan wanita setelah terluka malah berjodoh dengan para Perwira Secapa, bahkah Dosen Militer. Jikalau ada Produser dan Sutradara mau memfilmkan ini, mungkin kita bisa termehek-mehek setara dengan efek serial Korea.
Saat kuliah di Jurusan Sunda / Daerah. Kami mahasiswa Sunda berkesempatan mengadu ide dan argumen bagaimana seharusnya Pendidikan di Indonesia seharusnya berakar kebudayaan Daerah. Bahkan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa pemersatu berakar dari bahasa daerah, Bahasa daerah yang berjumlah 718 bahasa, setidaknya itu yang tercatat di Wikipedia. Sedangkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mencatat jumlah bahasa daerah yang terpetakan dan terdeskripsikan di Indonesia yaitu sebanyak 652. Jumlah itu dikategorikan lagi ke dalam asal bahasa daerahnya, yakni sebanyak 650 merupakan bahasa daerah, lalu dua (2) sisanya berasal dari bahasa imigran yang terbagi dalam bahasa Mandarin DKI Jakarta serta bahasa Mandarin Ampenan.
Argumentasi tersebutlah yang mengakat kebanggaan, bahwa kami setara dengan mahasiswa Jur. Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, Bahasa Jerman, Bahasa Prancis, Bahasa Arab, Seni Rupa, Seni Tari dan Seni Musik. Perasaan setara inilah yang membuat nyaman bekerjasama dalam kepengurusan Lembaga kemahasiswaan baik ditingkat jurusan, fakultas, bahkan Universitas. Berkolaburasi dalam kegiatan minat dan bakat, pementasan seni, sampai dengan sikap kritis terhadap kebijakan Kampus dan Negara terhadap Pendidikan. Salah satu yang selalu kami selipkan adalah Anggaran Pendidikan 20% sebagai wujud komitmen dan tanggungjawab negara terhadap warna negaranya.
Sampai di titik ini, kegelisahan menjadi beban orang tua dan negara terhapus. Saya atau sebaiknya kami sebagai mahasiswa memiliki tanggungjawab menjadi barisan dengan kemewahan strata tertinggi yaitu idealisme. Idealisme yang akan menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari apapun penyakit AGHT yang timbul dalam perjalanan bernegaranya.
IKIP Bandung atau sekarang disebut Universitas Pendidikan Indonesia tidaklah melahirkan guru-guru penerus sikap feudal terhadap dunia Pendidikan, sebagian besar para Dosen dan Mahasiswanya menjaga tradisi kritis dan komitmen kebangsaan yang tinggi. Sehingga para lulusannya adalah para guru dan praktisi Pendidikan yang kritis dan berkomitmen tinggi. Sebaiknya saya bahas di tulisan yang kedua. Sampurasun, Cag.
[1] Guru dan Inisiator Gerakan Cisadane Resik
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Pendidikan_Indonesia
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Villa_Isola
Discussion about this post