Oleh: Farid Gaban
Jika konsepnya tepat, program makan siang bergizi gratis bisa banyak manfaatnya, lebih dari sekadar kesehatan anak-anak.
Dan bisa lebih murah, tanpa harus ngemis utang ke China dan Amrik.
Caranya?
Bantu dan berdayakan pertanian keluarga; bikin community farming (kebun dan kandang ayam/kambing perah bersama); dorong community kitchen (gotong royong masak bersama).
Itu akan lebih jauh memperkuat kerjasama dan solidaritas, termasuk belajar bersama-sama tentang gizi dan cara masak yang sehat.
Banyak program pemerintah bisa lebih murah dari lebih efektif jika disandarkan pada penguatan komunitas (community-based dan model koperasi).
Program itu tidak hanya memperoleh manfaat dari partisipasi warga, tapi juga mendorong solidaritas dan kerjasama antar-warga. Bukan program yang mendorong cari untung (rent seeking) di kalangan pelakunya.
Sayangnya, banyak program pemerintah justru terus-menerus memperlemah komunitas dan kerjasama antar-warga.
Model BLT dan bagi-bagi bansos cenderung menghilangkan tradisi gotong-royong dan sebaliknya kadang justru memicu konflik.
Proyek besar model PSN juga lebih jauh merusak solidaritas di desa-desa. Warga dibelah “politik belah bambu” untuk mendukung proyek pemerintah. Memicu konflik antar warga, bahkan antar anggota keluarga; makin sulit mereka menjalin kerjasama.
Kita bisa belajar dari kasus Wadas. Ketika Covid menggila, warga desa yang kelebihan panen mengirim hasil tani cuma-cuma ke kota-kota. Solidaritas mereka melampaui kerjasama sesama warga desa.
Proyek PSN tambang batu andesit di situ tak hanya merusak alam desa yang subur, tapi juga merobek jalinan sosial warga. Konflik antar tetangga, antara ayah dan anak, antara adik dan kakak.
Bahkan jika PSN bisa membawa pertumbuhan ekonomi, itu harus dibayar mahal oleh kerusakan alam dan sosial, yang pada gilirannya akan mempersullit pemerintah sendiri.
* Farid Gaban: Wartawan Senior
Discussion about this post